Suatu ketika, perjalanan Brussels – Rotterdam membuat saya sering berdecak kagum. Kereta cepat melewati lahan pertanian yang sangat luas dengan jejeran turbin-turbin angin nan menakjubkan.
Pantas saja disebut negeri kincir angin karena di sana memang banyak turbin angin dan lagi karakter iklimnya berbeda. Angin di Belanda memang selalu kencang apalagi di musim gugur. Bahkan, di laut-laut mereka telah mulai dipasang turbin angin dengan memanfaatkan angin laut.
Turbin angin di Belanda tahun 2012 (maaf blur karena keretanya cepat sekali :D jadi ngga ada stok foto turbin yang jelas) |
Sepuluh tahun lalu, meskipun bagi warga negara mereka hal itu adalah hal biasa. Bagi saya, itu sangat menakjubkan. Maklum, negara kita memang cukup tertinggal dengan teknologi yang ada di negara maju di Eropa. Saya hanya membatin, kapan negara Indonesia punya turbin angin yang bisa mengaliri listrik ke daerah-daerah?
Dan ternyata 2018, pertanyaan saya terjawab. Indonesia memiliki turbin angin atau kincir angin seperti yang saya lihat di Eropa sepuluh tahun silam. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap mengandalkan tenaga angin untuk memutar turbin angin yang akhirnya akan menghasilkan listrik. Listrik ini yang digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari.
Saya pun tahu PLTB Sidrap ini ketika saya mengikuti online blogger gathering bersama Eco Blogger Squad, Traction Energy dan Blogger Perempuan tanggal 18 Oktober 2022.
#EcoBloggerSquad adalah komunitas blogger yang fokus pada masalah lingkungan. Sementara Traction Energy Asia adalah lembaga riset independen yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih dan terbarukan. Blogger Perempuan Network adalah komunitas blogger yang didominasi perempuan di Indonesia. Traction Energy Asia ini diwakili oleh Kak Fariz Panghegar, seorang Manager Riset Traction Energy Asia.
Beliau menjelaskan banyak sekali tentang transisi energi dan alasannya kenapa harus transisi energi.
Apa itu Transisi Energi?
Kalian mungkin bertanya-tanya, apa sih transisi energi? Transisi energi adalah upaya mengurangi energi fosil dengan energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca.
Sebagai contoh, listrik dari energi fosil berasal dari pembangkit yang menggunakan batu bara sebagai sumber pembangkit. Sedangkan batu bara terbentuk dari fosil tanaman, hewan ribuan tahun yang telah menjadi batu. Untuk menghasilkan energi ini, batuan sedimen tersebut dibakar hingga terbentuk batu bara.
Pembakaran tersebut yang akhirnya mengeluarkan emisi CO2 yang bisa meningkatkan efek gas rumah kaca di atmosfer. Dan efek gas rumah kaca ini dapat menyebabkan kenaikan suhu bumi atau pemanasan global yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, kekeringan, dan bencana alam dari faktor iklim.
Begitu juga minyak bumi yang ada di dalam tanah. Minyak bumi yang masih mentah ini diambil dari dalam tanah dan dibawa ke kilang minyak untuk dilakukan pembakaran. Hasil pembakaran inilah yang bisa menyumbang gas CO2 ke atmosfer dan bisa menyebabkan pemanasan global.
Dan dua sumber pembangkit listrik tersebut yang masih dominan digunakan orang di Indonesia untuk menghasilkan listrik, selain tenaga air. Sementara di luar negeri sudah membangun sumber energi lain untuk memasok listrik, seperti turbin angin, geotermal, tenaga surya, nuklir.
Dan tidak semua sumber energi listrik tersebut ramah terhadap lingkungan. Batu bara bisa disebut sebagai ‘energi kotor’ karena menghasilkan CO2 yang memenuhi atmosfer. Lagipula, bahan bakar fosil ini bahan bakar yang akan cepat habis dalam waktu beberapa tahun ke depan, karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui dalam jangkan waktu beberapa tahun.
Alasan Transisi Energi?
Penggunaan bahan bakar fosil dapat menyebabkan timbulnya gas efek rumah kaca (GRK) yang menyelimuti bumi. Dampak buruk dari Gas Rumah Kaca adalah:
- Naiknya kumpulan polusi yang menyelimuti bumi.
- Meningkatkan suhu permukaan bumi dan menyebabkan perubahan cuaca sangat luas dalam jangka waktu yang panjang.
- Perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana alam seperti mencair es di kutub, kenaikan muka air laut, banjir, terjadi wabah penyakit, kebakaran hutan, tanah longsor, tabut asap, kekeringan, krisis air bersih, rusaknya terumbu karang makhluk hidup karena tidak tahan dengan suhu yang naik.
Semakin meningkatnya perubahan iklim, maka transisi energi diperlukan untuk mengikis selimut polusi di atmosfer untuk mencegah timbulnya bencana alam akibat pemanasan global.
Sukses di Hilir, Rusak di Hulu: Apakah Indonesia Mampu Melakukan Transisi Energi?
Dari sebab itulah, kenapa pentingnya transisi energi ‘kotor’ menjadi energi ‘bersih’ di Indonesia. Pertanyaannya, apakah mungkin Indonesia mampu melakukan transisi energi di sektor transportasi dan kelistrikan?
Transisi Energi di Sektor Transportasi di Indonesia dengan Penggunaan Biodiesel dan bioavtur
Salah satu cara untuk mengurangi efek Gas Rumah Kaca yaitu mensubtitusi bahan bakar minyak di bidang transportasi dengan menggunakan biodiesel dan bioavtur yang sebagian prosentasenya berasal dari nabati atau lemak hewani.
Bahan bakar yang berhasil diterapkan di Indonesia untuk sektor transportasi adalah sumber energi biodiesel yang berhasil dijalankan oleh pemerintah dengan Program Biodiesel 20% sejak tahun 2016 dan biodiesel 30% atau B30 di mana pencampuran 30% biodiesel dan 70 % solar sejak tahun 2020. Selanjutnya ditargetkan B40 hingga B100.
“Indonesia menjadi pionir dalam pencampuran biodiesel sebesar 30% dalam minyak solar, yang pertama dan terbesar di dunia untuk semua sektor pada pengguna bahan bakar minyak jenis solar. Arah peningkatan penggunaan biodiesel kedepannya adalah menuju B40 atau akan ditingkatkan lagi.” (Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo dalam seminar virtual bertajuk Pengaruh B30 menuju B100 terhadap Industri Sawit dan kesejahteraan Masyarakat dengan Optimalisasi peran Milenial dan Society 5.0)
Saat ini, Biodiesel yang dihasilkan masih berasal dari kelapa sawit. Dan pembukaan lahan kelapa sawit ini sebenarnya ada juga yang menjadi masalah kerusakan lingkungan juga di beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera. Karena kebanyakan lahan sawit tersebut ditanam di lahan gambut yang banyak mengandung CO2 sehingga ketika lahan dibakar untuk pembukaan lahan sawit maka partikel C02 yang ada di bawah lahan gambut akan terbang le atmosfer. Dan itu menyebabkan peningkatan efek gas rumah kaca.
Untuk menuju B100 maka yang perlu menjadi perhatian adalah penyediaan kelapa sawit yang tidak merusak lingkunhan. Harapannya, akan ada bahan bakar nabati (BBN) pengganti kelapa sawit.
“Indonesia menjadi pionir dalam pencampuran biodiesel sebesar 30% dalam minyak solar, yang pertama dan terbesar di dunia untuk semua sektor pada pengguna bahan bakar minyak jenis solar.”
Tak hanya biodiesel saja, pengembangan bahan bakar transportasi untuk pesawat terbang juga sudah menggunakan bioavtur di mana mencampurkan bahan bakar avtur dengan bahan bakar nabati 2,4 persen.
Sebenarnya biodiesel ini tidak hanya berasal dari kelapa sawit, dari minyak jelantah pun bisa. Karena dasarnya sebenarnya sama-sama dari kelapa sawit. Beberapa industri kecil sudah memproduksi biodiesel dari minyak jelantah seperti CV. Gen Oil di Makassar, PT. Bali Hijau, BumDes Panggung Lestari Bantul.
Biodiesel dari Minyak Jelantah (Sumber: Materi Blogger Gathering Fariz Pangeghar) |
Transisi Energi di Sektor Kelistrikan di Indonesia
Transisi energi di sektor kelistrikan ini tidak hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga saja tetapi juga yang sedang booming dikembangkan saat ini yaitu di sektor transportasi.
Transisi energi di bidang rumah tangga memang sudah sebagian kecil yang telah berjalan seperti penggunaan biogas, tenaga angin, tenaga surya, panas bumi, nuklir dan tenaga gas dan uap. Sementara sebagian besar pasokan listrik masih berasal dari batu bara. Dan ini menjadi tantangan untuk transisi energi kelistrikan di bidang transportasi.
Mungkin bisa saja hemat di hilir tapi rusak di hulu karena masih menggunakan batu bara di hulu yang bisa merusak lingkungan. Sementara mobil listrik pun masih perlu pembenahan mengingat harga mobil dan spare partnya masih sangat mahal.
Di beberapa daerah memang sudah menerapkan energi terbarukan (energi non fosil) untuk pemenuhan kebutuhan kelistrikan seperti:
Penggunaan Biogas
Biogas ini berasal limbah ternak atau sampah yang mengandung metana dan diolah dalam instalasi biogas dan hasilnya disalurkan ke pipa-pipa rumah tangga, seperti di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) Supit Urang Malang, Di TPA Manggar Balikpapan, TPA Gampong Jawa Aceh, TPA Puuwatu Kendari, PLTBg Sei Mangkei dan beberapa tempat lainnya.
Meskipun penggunaan energi biogas tersebut masih terbatas hingga puluhan KK saja, belum memenuhi seluruh penduduk di kota tersebut untuk listrik rumah tangga dan untuk memasak. Bagi saya, ini sebenarnya sudah baik karena langkah ini sebagai wujud mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang tidak dapat diperbaharui.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau angin (PLTB)
Setelah saya mengikuti webinar, saya terkesima pembangkit listrik tenaga angin yang ada di Sulawesi Selatan. Pemandangan turbin-turbin angin di atas perbukitan yang dikelilingi oleh perkebunan begitu menawan. Ditambah sapi-sapi yang mencari makan di bawahnya. Saya pun baru tahu ternyata PLTB Sidrap (Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan) ini adalah PLTB terbesar di Asia Tenggara ini.
PLTB Sidrap (kompas.com/PT UPC Sidrap Bayu Energi) |
Sejak tahun 2018, PLTB ini telah beroperasi dan dapat memasok listrik untuk daerah-daerah di sekitarnya. Dulunya, daerah tersebut tidak dialiri listrik. Sekarang, mereka bisa menikmatinya. Memang sebenarnya pintar-pintarnya kita bagaimana memanfaatkan alam untuk pemenuhan kebutuhan listrik.
PLTB Tolo, Jeneponto, dengan kapasitas 72 MW telah memasok listrik di wilayah selatan Sulawesi. Sedangkan PLTB Sidrap memiliki kapasitas 75 MW.
PLTB Tolo (Sumber : Merdeka.com/Andi Imran Fajar) |
Dan, adanya PLTB ini tidak sampai mengalami konflik penggusuran lahan atau perubahan penggunaan lahan. Jadi lahan di sekitar PLTB masih bisa dimanfaatkan warga untuk pertanian dan perkebunan. Sedangkan lahan tempat berdirinya turbin-turbin angin itu memang dialihkan penggunaannya. Sehingga dampak ekonomi masyarakat tidak begitu berpengaruh.
Beda lagi jika suatu lahan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air dan surya yang lahannya harus dialihkan kepemilikannya.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Bersyukurlah kita tinggal di negara yang selalu mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Harusnya kita memanfaatkan energi terbesar ini untuk menghasilkan listrik. Meskipun masih ada kekurangannya, toh PLTS bisa menjadi energi alternatif non fosil yang bisa membantu mengurangi emisi. Tinggal bagaimana teknologi bisa mengatasi kekurangan tersebut agar tetap bisa maksimal digunakan saat malam hari.
PLTS di Indonesia (Sumber: Pertamina) |
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terbesar di Indonesia ada di Likupang, Sulawesi Utara, yang mampu memasok listrik wilayah Sulawesi Utara-Gorontalo dengan kapasitas maksimal 21 MW. Selain itu PLTS Badak, PLTS Cilacap, PLTS PTPR, PLTS Sei Mangkei.
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)
Tak hanya itu saja, kita juga punya pembangkit listrik tenaga gas dan uap yang sudah beroperasi di beberapa tempat, seperti PLTGU Karawang dan PLTGU Tanjung Batu. Tentu PLTGU ini memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding PLTU dan PLTG karena tidak banyak energi yang tidak dimanfaatkan tersebut terbuang.
Hasil penelitian Sinuhaji (2007) menunjukkan bahwa kinerja PLTG dari segi lingkungan jauh lebih baik daripada PLTU, hal ini ditunjukkan oleh emisi gas hasil pembakaran pada PLTG yang jauh lebih bersih daripada emisi gas buang PLTU batubara. Tetapi dari segi lingkungan biaya investasi dan pengoperasian PLTG lebih besar dari PLTU.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Indonesia juga punya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) seperti di PLTP Geo Dipa Unit Dieng, PLTP Gunung Salak, PLTP Kamojang, PLTP Wayang Windu. Potensi PLTP ini sebenarnya bagus karena di Indonesia banyak sekali gunung berapi yang menghasilkan panas bumi. Jadi harusnya bisa menjadi sumber energi alternatif non fosil.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
Kita semua sudah tahu bahwa banyak sekali bangunan PLTA di seluruh Indonesia untuk menghasilkan listrik karena memang di jaman Pak Harto PLTA ini dibangun besar-besaran.
Kesimpulan
Bahwa sampai saat ini pengembangan sumber energi listrik dari bahan bakar nabati termasuk juga pembangkit listrik sudah sangat bagus untuk mengurangi efek gas rumah kaca yang berakibat buruk pada pemanasan global. Meskipun bagian hilir sudah cukup berkembang dengan baik, namun masih perlu perhatian di sisi hulu. Jangan sampai sukses di sisi hilir namun rusak di sisi hulu. Seperti penyediaan lahan kelapa sawit yang bisa merusak lingkungan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati di bagian hilir.
Begitu pun dengan penyediaan pasokan listrik untuk mobil listrik yang masih mengandalkan batu bara.
Perlu diingat bahwa semakin besar kebutuhan listrik maka semakin besar pula kebutuhan di hulu, seperti batu bara dan sawit. Kalau tidak dipikirkan transisi energi dari sumber fosil ke non fosil, maka ketika sumber di hulu habis, maka di hilir tidak akan jalan. Yang ada semua akan mangkrak. Mobilnya, spare part dan tempat pengisian ulang baterainya.
Jadi sebenarnya Indonesia itu kaya sekali dengan energi non fosil yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik. Hanya tinggal bagaimana membuat energi terbarukan itu tetap bisa digunakan dengan mengatasi kekurangan-kekurangan yang muncul saat operasional.
Tak ada kebijakan yang sempurna. Semua ada efek sampingnya, hanya saja kita mencari efek samping pada kerusakan lingkungan dan dampak negatif sosial yang sedikit. Setidaknya, selimut polusi bisa berkurang dengan adanya penggunaan energi terbarukan.
Sekarang terasa banget loh selimut polusi membuat kita sering merasakan gangguan pernafasan seperti batuk dan pilek. Banjir dimana-mana. Itulah kenapa penting banget mulai dari sekarang, pembangkit listrik ini minim emisi gas rumah kaca sehingga selimut polusi berkurang.
Referensi
https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Teknologi%20Ramah%20Lingkungan%20SMP/topik3.html
https://dlh.semarangkota.go.id/8-dampak-pemanasan-global-bagi-kehidupan/
https://ebtke.esdm.go.id/post/2021/02/18/2797/inovasi.produksi.biodiesel.berbasis.tanaman.jarak.pagar
https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/03/24/3127/pengembangan.biodiesel.di.indonesia.beri.manfaat.nyata
https://finance.detik.com/industri/d-3276789/benarkah-pembukaan-kebun-kelapa-sawit-di-lahan-gambut-merusak-lingkungan
https://pertaminapower.com/pembangkit-listrik-tenaga-surya
https://www.99.co/blog/indonesia/pembangkit-listrik-di-indonesia/
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/36314
Astaga, ternyata biodiesel tuh dari sawit? Aku kira dari pohon jarak. Ruwet juga ya. Jelantah juga dari minyak goreng sawit tapi setidaknya mengurangi pembuangan sembarangan deh. Memang kompleks banget urusan energi nih
BalasHapusBenar mbak, seharusnya transisi energi harus seimbang antara hilir dan hulu sehingga tidak timbul kerusakan yang lebih besar di satu sisi karena lebih memperhatikan salah satu sisi saja. btw kincir anginnya keren yaa, serasa di luar negeri
BalasHapusKeren banget ya ternyata angin bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Semoga Indonesia bisa menyusul negara2 di eropa memanfaatkan sumber daya alam selain batu bara dan minyak bumi.
BalasHapustransisi energi merupakan hal mutlak yang kudu kita mulai dari sekarang. Indonesia kala akan sumber terbarukan seperti aliran air , angin dan matahari yang bisa dimanfaatkan. Apalagi ini semua hampair ada sepanjang tahun dan bisa dimanfaatkan
BalasHapusYuk bisa yuk pemanfaatan energi yang lain agar SDA yang tidak dapat diperbaharui tidak tergerus terus. Apalagi juga kan bisa sekaligus pengurangan dampak polusi juga
BalasHapusKalau dipikirkan lagi benar juga ya. Perkebunan kelapa sawit dibuat untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati. Tapi kita lupa, bahwa membuka perkebunan mungkin juga mengurangi luasan hutan. dan itu malah nggak baik.
BalasHapusWah saya penasaran nih dengan PLTB yang ada di Sulawesi. Itu pembangunannya berapa lama dan syaratnya gimana ya, mbak?
BalasHapusTransisi energi perlu digalakkan nih. Biar lingkungan makin terjaga ekosistemnya secara merata.
BalasHapusPLTB perlu diperluas nih. Apalagi angin di negara kita cukup besar dan sering terjadi.
Ayooo dukung transisi energi. Angin dan surya adalah sumber energi yg gak akan habis selama bumi masih ada
BalasHapusBener banget terasa sekarang polusi bikin mudah flu batuk pilek habis itu menularnya kek piala bergilir apalagi anak2 pd sekolah offline. Semoga Indonesia bisa segera maju infrastrukturnya spt eropa ya (gusti yeni)
BalasHapustransisi energi memang sangat perlu diperhatikan dalam pengolahan sumber dayanya, jadi tidak sampai berpotensi merusak lingkungan juga
BalasHapuswah keren yaa sekarang memang tren dunia tuh transisi energi fosil menjadi energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, semoga bs diterapkan secara global dgn harga yg terjangkau juga
BalasHapussetelah membaca ini semakin tahu banyak soal transisi energi ini, dan kita sebagai generasi berikutnya wajib banget peduli dengan bumi kita. agar cadangan energi di bumi tetap terjaga dengan baik, mungkin salah satunya dengan menghemat energi listrik dan menggunakan seperlunya bahkan menggunakan sumber daya alam lain seperti angin atau matahari untuk diubah jadi energi seperti negara maju
BalasHapussetuju nih, mulainya transisi energi memang harus seimbang ya antara hilir dan hulu, jadi tidak ada yang dirusak atau dirugikan oleh dampaknya
BalasHapusAku bayangin angin musim gugur di Belanda kayaknya dingin banget ya hahaha btw memang soal transiai energi ini memang perlu pemerataan ya, takutnya ada ketimoanagan jadinya malah nggak maksimal
BalasHapusduh setuju banget. tapi bisa dibilang di hilir juga belum sukses2 amat lho kak.. masih jalan2 pelan dan belum mencapai target, ini kalau bicara upaya pemerintah ya
BalasHapusBenar mbak. Gak ada kebijakan yang sempurna. Tapi jika dilakukan perbaikan terus menerus, InsyaAllah akan didapat hasil yang diinginkan. Jangan kalah sama Belanda lagi dong
BalasHapus