“Ketika bangsa bergantung pada pangan impor, maka bagaimana mengatasi kelaparan yang mungkin datang akibat force majeure.”
Apakah kalian mengkonsumsi sereal sebagai makanan pokok kalian? Tepung-tepungan? Atau mie?
Kalau iya, mungkin kalian harus berhemat untuk sementara waktu. Karena saat ini, harga komoditas gandum di pasar global melonjak hingga 46 persen dibanding tahun sebelumnya.
Yap. Sereal yang kalian makan, tepung-tepung-an dan juga mie yang sebagian besar terbuat dari gandum diimpor dari kedua negara yang sedang berperang.
Aktivitas perdagangan dari dua negara tersebut akan berimbas pada negara kita. Ukraina merupakan negara utama yang mengekspor gandum ke negara kita. Menurut Tempo.co, sepertiga impor gandum Indonesia berasal dari negara Ukraina.
Berdasarkan data BPS, di tahun 2020, negara Ukraina adalah negara yang mengekspor gandum dan meslin paling besar ke Indonesia selama kurun waktu 2018-2020.
Sementara Federasi Rusia berada di posisi keenam atau ketujuh sebagai negara pengekspor gandum terbesar ke Indonesia di tahun 2019-2020.
Negara lain seperti Kanada yang menjadi pengekspor gandum terbesar ke Indonesia selama kurun waktu 2010-2017 telah mengalami penurunan jumlah ekspor gandum ke Indonesia.
Jika dijumlahkan, tahun 2020, jumlah gandum yang diimpor Indonesia dari seluruh negara sebanyak 10,29 juta ton gandum.
Stok gandum Indonesia yang dimiliki saat ini hanya bisa bertahan hingga April 2022. Setelah itu? Kemungkinan harga sereal (oat), tepung-tepungan dan juga mie akan melonjak dan kemungkinan akan terjadi kelangkaan.
Dampaknya sangat terasa bagi kalian yang sekarang memiliki usaha roti, kue, dan mie yang berbahan gandum atau sereal. Atau bagi kalian yang sudah mengganti nasi dengan sereal sebagai makanan pokok.
Meskipun saya bukan konsumen sereal secara reguler, tapi saya sedih karena saya biasa konsumsi roti sebagai cemilan yang bahan dasarnya terbuat dari gandum.
Negara Agraris Impor Beras ?
Saya masih bersyukur jika beras yang saya konsumsi sebagai makanan pokok tidak terpengaruh oleh peperangan dua negara tersebut. Ya jelas karena beras yang diimpor Indonesia bukan dari negara tersebut tapi negara lain. Beras yang menjadi bahan pangan pokok Indonesia mengimpor dari negara lain seperti Vietnam, Thailand, Tiongkok, dan Myanmar.
Eh, kenapa beras harus impor? Padahal negara kita dikenal sebagai negara agraris. Julukan itu tak menjamin kalau negara kita tidak impor beras. Padahal kalau saya pulang ke Sragen, saya melihat hamparan sawah yang begitu luas. Ketika saya melewati jalan tol, di kanan dan kiri jalan tol begitu luasnya sawah terbentang.
Kenapa kita impor beras? Mari kita baca data berikut.
Luas panen padi pada 2021 diperkirakan sebesar 10,52 juta hektar mengalami penurunan sebanyak 141,95 ribu hektar atau 1,33 persen dibandingkan luas panen padi di 2020 yang sebesar 10,66 juta hektar.
Produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sebesar 31,69 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 351,71 ribu ton atau 1,12 persen dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebesar 31,33 juta ton.
Meskipun mengalami kenaikan, pemerintah ingin antisipasi persediaan beras agar stok di Bulog tidak menipis dan juga disebabkan karena adanya daerah yang defisit beras. Meskipun produksi dalam negeri diproyeksi tinggi, ternyata pemerintah tetap memerlukan cadangan beras untuk mengantisipasi risiko terburuk.
Swasembada Beras Mungkinkah?
Selama ini kita memang tak sadar menikmati segala pangan tanpa merasa kesulitan. Yah, meski kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat Indonesia sempat kebingungan. Tapi kita masih bersyukur karena kita masih bisa memenuhi makanan pokok kita seperti beras.
Kita tak pernah membayangkan jika sumber pangan kita yang diimpor terjadi kelangkaan akibat force majeure di negara pengekspor.
Bayangkan jika negara-negara pengekspor beras tersebut mengalami force majeure seperti bencana alam atau peperangan (naudzubillahi min dzalika)?
Negara kita dulu pernah sukses dengan swasembada pangan di tahun 1984.
Namun, apakah bisa?
Sementara lahan pertanian semakin lama semakin berkurang dan semakin berganti dengan lahan terbangun. Belum lagi, semakin banyak masyarakat muda yang tidak ingin menjadi petani dan lebih memilih pekerjaan di perkotaan yang terlihat lebih prestige.
Apakah kita bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk negara kita sendiri?
Negara kita pernah mengimpor beras besar-besaran. Paling banyak sebesar enam juta ton beras diimpor ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998.
Setelah itu, Indonesia selalu impor meski jumlahnya tak sebesar ketika terjadi gejolak politik tahun 1998.
Kemudian di tahun 2018, Indonesia kembali mengimpor beras cukup besar hingga 2,25 juta ton beras. Saat itu pemerintah menganggap bahwa stok beras yang tersedia untuk cadangan masih kurang sehingga harus impor meskipum produksi padi sejak tahun 2014-2018 terus mengalami peningkatan.
Setelah dirasa mencukupi, Indonesia tidak lagi mengimpor beras untuk konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hanya sekitar 300-450 ribu ton beras. Sepanjang 2019 hingga 2020, Indonesia hanya impor beras jenis tertentu dan tidak dalam jumlah besar.
Beras yang diimpor adalah jenis khusus yang tidak bisa ditanam di Indonesia dan untuk disediakan di restoran, kafe, hotel atau untuk warga asing yang tinggal di Indonesia seperti beras Basmati, Japonica, Hom Mali, beras penderita diabetes dan lainnya. Sementara untuk beras yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia tidak lagi diimpor dari negara-negara lain. Bahkan di tahun 2021, Indonesia tidak lagi impor beras untuk konsumsi umum.
Jika swasembada pangan beras dianggap berhasil dengan tidak impor beras, berarti tahun 2021 negara kita berhasil swasembada pangan beras.
Jadi sebenarnya negara kita itu sudah bisa melakukan swasembada beras untuk konsumsi umum. Nggak perlu ketergantungan dengan negara lain. Hanya saja untuk gandum ini kita memang masih ketergantungan karena pembuatan tepung dan mie sebagian besar masih menggunakan gandum.
Apakah semua orang Indonesia makan nasi?
Saya teringat ketika membaca artikel tentang orang-orang di Papua (saya lupa tepatnya dimana) yang biasa mengkonsumsi sagu. Kemudian datanglah bantuan beras dari pemerintah dan membuat mereka ketergantungan dengan beras padahal di Papua sendiri padi tidak bisa tumbuh dengan baik dibandingkan dengan tanaman padi di Jawa. Ketika bantuan beras terlambat datang, mereka mengalami kelaparan padahal mereka punya kearifan lokal pada pangan lokal mereka. Dan akhirnya malah mengkonsumsi mie instan dibandingkan mengkonsumsi pangan lokal yang tumbuh di lokasi mereka dan jelas lebih bergizi.
Begitu pun dengan beras. Penduduk kita sebenarnya terbiasa makan nasi yang menjadi pangan lokal kita. Ketika kita harus makan produk-produk gandum seperti sereal, secara tidak langsung kita harus ketergantungan dengan negara luar yang memproduksi gandum. Kondisi iklim dan tanah di negara kita tidak cocok ditanami gandum.
Kenapa kita tidak memanfaatkan pangan lokal saja untuk makanan pokok kita dibanding harus ambil dari luar daerah. Jika terjadi force majeure di daerah tersebut, kita tetap bisa makan dengan produk pangan lokal. Tidak perlulah memaksa suatu daerah tertentu harus makan nasi jika memang di daerah tersebut bukan daerah produsen beras.
Negara kita itu kaya dengan biodiversitas. Keanekaragaman hayatinya sangat besar. Harusnya kita manfaatkan sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia untuk diolah menjadi pangan lokal. Tidak tergantung lagi dengan impor beras dan gandum.
Pangan lokal pengganti beras
Kalaupun beras diganti dengan makanan pokok lain, apakah makanan pengganti nasi itu? Jika kita tidak ingin bergantung dengan pangan dari negara lain, sebenarnya kita bisa memanfaatkan pangan lokal yang bisa tumbuh di kondisi tanah dan iklim negara tropis Indonesia.
|
Selat Solo, kuliner lokal pengganti nasi |
Beberapa pangan lokal pengganti nasi adalah :
1. Umbi-umbian
Umbi-umbian ini bisa meliputi singkong, ubi, kentang, dan lain-lain. Umbi-umbian ini juga mengandung karbohidrat pengganti nasi. Jika kita memakan satu porsi nasi sama dengan dua buah kentang. Makan umbi-umbian ini memang cocok untuk orang yang ingin menurunkan berat badan tapi bagi yang tidak mau menurunkan berat badan bisa mengkonsumsi umbi-umbian dua kali dari porsi.
2. Sagu
Sagu adalah makanan pokok Indonesia bagian timur. Jadi memang jika tidak memiliki beras untuk dimakan, maka masyarakat bisa memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok. Justru gizinya lebih baik kan daripada harus makan mie instan. Satu porsi nasi sama dengan delapan sendok tepung sagu. Kandungan karbohidrat pada sagu ini lebih tinggi dibanding nasi sehingga bagus untuk pemulihan energi.
Di Papua sendiri banyak tanaman sagu dibanding tanaman padi.
3. Jagung
Salah satu pangan lokal sumber karbohidrat lainnya adalah jagung. Bahkan kalori dan karbohidrat jagung lebih besar daripada kalori kentang. Jadi bisa saja mengganti nasi dengan jagung.
4. Sorgum
Di Nusa Tenggara, Sorgum merupakan salah satu makanan pengganti nasi di wilayah Nusa Tenggara. Sorgum ini biasa untuk pangan ternak, bahan dasar energi biodiesel, dan bahan pangan. Jika kalian menghindari gluten, maka sorgum ini jawabannya karena sorgum tidak memiliki gluten dan mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi.
Potensi Pemanfaatan Pangan Lokal Yang Besar
Saya diingatkan kembali mengenai betapa kayanya negara kita dengan keanekaragaman hayatinya saat saya mengikuti Blogger Online Gathering bersama #EcoBloggerSquad bersama Bu Rika Anggraini dari Yayasan Kehati dan Blogger Perempuan Network.
Dari situ saya pun tahu bahwa negara kita banyak sekali bahan pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan seperti 77 jenis tanaman pangan, 26 jenis kacang, dan banyak lagi.
Contohnya yang lain lagi, jumlah pisang yang ternyata banyak sekali jenisnya. Kalian tinggal pilih mana yang menjadi favorit kalian.
Ancaman hilangnya keanekaragaman hayati
Permasalahan utama dari sumber pangan lokal adalah adanya ancaman hilangnya lahan ataupun keanekaragaman hayati khususnya keanekaragaman pangan yang bisa menurunkan produksi pangan lokal.
Beberapa pemicu hilangnya keanekaragaman hayati adalah :
1. Pembangunan yang tidak berkelanjutan
Negara kita memang dijuluki negara agraris tapi negara kita juga terus melakukan invasi pembangunan. Di wilayah pinggiran perkotaan, banyak sekali lahan-lahan pertanian yang sudah berubah menjadi lahan terbangun dan perumahan.
Daerah kabupaten yang banyak sekali lahan pertanian pun juga mulai dijamah oleh pembangunan. Pembangunan yang tidak berkelanjutan terus saja dilakukan. Dan itu membuat lahan pangan kita semakin berkurang. Tak hanya lahan pertanian saja yang menjadi korban.
Hutan yang penuh dengan keanekaragaman hayati pun juga berganti menjadi lahan monokultur padahal lahan monokultur (pertanian dengan satu jenis tanaman) tidak memiliki banyak keanekaragaman hayati.
Di hutan, lahan dikonversi menjadi lahan tambang juga perkebunan monokultur atau pembangunan massiv lainnya sehingga menghilangkan habitat makhluk hidup.
2. Varietas yang dibudidayakan sedikit
Semakin seringnya kita mengimpor makanan dari luar maka kita mungkin tidak berusaha untuk membudidayakan berbagai macam varietas. Kita menjadi terbiasa untuk memilih varietas yang ada tanpa mengembangkan berbagai macam varietas. Contohnya ayam kampung dan ayam negeri.
Mungkin lama-lama ayam kampung akan hilang karena tidak banyak orang yang memilih ayam kampung karena mahal. Orang hanya akan memilih ayam negeri yang dikembangkanbiakkan dengan berbagai macam cara misalnya dengan pemberian obat agar cepat besar padahal konsumsi ayam yang penuh dengan obat tidak baik buat kesehatan.
Misalnya pisang yang beraneka ragam pun lama-lama akan hilang karena tidak mengembangkan banyak varietas. Padahal pisang lokal yang beraneka ragam itu pun pasti memiliki kandungan gizi yang banyak.
3. Terjadi erosi genetik
Sama seperti penjelasan di atas, pertanian yang menggunakan input tinggi seperti pupuk, pestisida, dan berbagai macam pakan menyebabkan terjadinya erosi genetik atau hilangnya variasi genetik dari suatu plasma nutfah yang sering diperbesar atau dipercepat oleh aktivitas manusia.
Erosi genetik ini diakibatkan oleh kebakaran hutan, bencana alam dan lain-lain. Plasma nutfah ini menjadi varietas lokal yang memiliki sifat unggul untuk keanekaragaman hayati. Jadi ketika terjadi erosi genetik maka keanekaragaman hayati juga terancam punah.
4. Populasi manusia
Meledaknya populasi manusia membuat pembangunan dilanjutkan demi memenuhi kebutuhan manusia akan lahan. Dan itu membuat keanekaragaman hayati berangsur-angsur punah karena tidak dapat bereproduksi kembali akibat tidak mampu bertahan dengan kondisi yang ada.
5. Perubahan iklim
Perubahan iklim menyebabkan penurunan produksi di beberapa sentra. Jika musim hujan bergeser maka masa panen tanaman juga bergeser sehingga membuat perhitungan produksi juga bergeser. Petani sangat tergantung sekali dengan musim hujan untuk menentukan masa tanam dan panen.
Di beberapa daerah jumlah lahan yang mengalami kekeringan semakin meningkat, seperti yang terjadi di Lampung dan Jawa Timur. Kekeringan yang terjadi menyebabkan keanekaragaman hayati punah.
Apa yang bisa dilakukan untuk Kelestarian Keanekaragaman Hayati dan Ketahanan Pangan Lokal?
Sebenarnya banyak sekali hal yang bisa dilakukan untuk kelestarian keanekaragaman dan ketahanan pangan lokal. Namun, saya hanya ambil beberapa saja ya seperti:
1. Perlunya edukasi dan kesadaran akan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati
Masih banyak yang meremehkan keanekaragaman hayati di negara kita. Kita hanya tahu negara kita memang kaya akan keanekaragaman hayati tapi kita tidak aware terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Makanya penting sekali untuk memberikan awareness kepada masyarakat mengenai salah satu pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan lokal kita ketika negara pengekspor pangan kita mengalami force majeure.
2. Menjadi konsumen hijau
Konsumen hijau ini merupakan perilaku konsumen yang menggunakan produk dengan memikirkan kelestarian lingkungan, misalnya bagaimana produk diperoleh, bagaimana dampak atas penggunaan produk tersebut terhadap lingkungan.
Apakah penggunaan produk tersebut bisa menimbulkan masalah bagi lingkungan atau tidak. Saya sendiri pun belum benar-benar menjadi konsumen hijau karena saya sendiri masih sangat ketergantungan dengan minyak kelapa sawit. Hiks.
Namun, setidaknya saya mencoba mengurangi penggunaan minyak kelapa sawit dan mengkonsumsi bahan pangan lokal adalah salah satu cara saya menjadi konsumen hijau.
3. Memilih sumber pangan lokal
Coba teman-teman perhatikan dengan makanan yang dimakan saat ini, apakah makanan yang kita beli dan kita makan itu tidak ada satu pun yang merupakan makanan lokal? Apalagi kalau ternyata makanan yang kita konsumsi adalah makanan impor.
Nah, alangkah lebih baiknya jika kita mulai memilih sumber pangan lokal atau setidaknya mengurangi sumber pangan impor agar tidak ketergantungan dengan sumber pangan impor.
4. Mengubah mindset
Kalian mungkin akan berpikir, mengkonsumsi pangan lokal selain beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu dan lain-lain dianggap sebagai kebiasaan “orang miskin” atau tidak ada ketertarikan untuk mengkonsumsi.
Makanan itu dinilai juga dari kenampakan produk dari olahan pangan lokal masih kurang menarik padahal banyak sekali kreasi masakan dari bahan pangan lokal yang bisa dilakukan agar tetap menarik untuk dimakan. Dan sekarang harusnya generasi milenial bisa lebih kreatif untuk membuat kreasi masakan dari pangan lokal.
Sampai saat ini kita tidak pernah tahu gejolak politik yang ada di negara pengekspor bahan pangan. Sebelum terjadi apa-apa dengan negara tersebut memang lebih baik kita mulai mengurangi ketergantungan kita akan bahan pangan impor dan mulai mengkonsumsi bahan pangan lokal. Kita manfaatkan keanekaragaman hayati yang seharusnya bisa mengatasi ancaman krisis pangan di Indonesia.
Selain itu, perilaku kita yang bisa berkontribusi pada perubahan iklim juga harus dikurangi ya. Karena akhirnya nanti akan berpengaruh pada masa panen pertanian yang menjadi bahan pangan pokok kita.
Dari penjelasan Bu Rika, saya mendapat banyak sekali insight tentang pangan lokal dan keanekaragaman hayati. Memang harusnya kita sudah mulai memikirkan ketahanan pangan kita sendiri ya agar terjauh dari ancaman krisis pangan.
Kalau kata Pramoedya Ananta Toer..
"Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri."
Pemanfaatan pangan lokal juga termasuk keberanian menantang kelaparan.
Referensi:
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1043/impor-beras-menurut-negara-asal-utama-2000-2020.html
https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/03/103000365/5-dampak-perang-rusia-ukraina-bagi-indonesia-apa-saja
https://bisnis.tempo.co/amp/1567882/gandum-meroket-akibat-perang-rusia-ukraina-harga-mi-instan-dan-roti-ikut-naik
https://bisnis.com/amp/read/20211201/12/1472435/jokowi-sebut-tak-ada-impor-beras-sepanjang-2021-begini-datanya
https://food.detik.com/info-kuliner/d-3367532/mau-ganti-nasi-putih-dengan-ubi-dan-singkong-ini-aturan-porsi-yang-benar-menurut-ahli-nutrisi/amp
https://www.viva.co.id/amp/gaya-hidup/kesehatan-intim/1143105-lebih-sehat-mana-nasi-atau-sagu
https://hellosehat.com/nutrisi/fakta-gizi/jagung-kentang-pengganti-nasi/%3famp=1
https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=5156
https://www.kompasiana.com/amp/muzaa/menjadi-konsumen-hijau-yang-cerdas-mengapa-tidak_5634899852f9fd480911fda7
https://news.detik.com/kolom/d-4436251/kalau-sudah-kelebihan-stok-kenapa-harus-impor
https://m.republika.co.id/amp/qqk6n5440