Kalian yang jadi juru masak keluarga kerasa nggak kalau selama pandemi gas tabung hijau cepat habis? Terus listrik juga membengkak.
Sama! Saya juga.
Kok bisa cepet banget ya habisnya. Kok listrik jadi boros banget ya.
Sebenarnya wajar sih ya karena kan anggota keluarga pada di rumah semua. Kegiatan memasak jadi lebih sering.
Suami yang biasa makan di luar saat kerja jadi harus makan di rumah. Porsi memasak jadi lebih besar.
Laptop dan handphone lebih sering disambingkan ke listrik.
Saat memasak, biasanya saya memasak saat pagi dan malam saat suami di rumah. Kalau siang, saya jarang masak karena hanya saya dan anak-anak di rumah jadi makan seadanya.
Nggak hanya memasak makanan utama saja tetapi saya juga memasak untuk cemilan seperti pisang goreng, bakpao kukus, french fries, dan lainnya.
Makanya konsumsi tabung gas jadi meningkat. Tapi sebenarnya di balik itu kita sudah menghabiskan banyak sekali sumber daya yang tak bisa diperbarui.
Sebagai juru masak keluarga, saya harus sering beraktivitas di dapur dan pasar. Dan itu sering membuat saya mengeluh dalam hati atau pun diucapkan seperti ini:
“Duh, masak gini aja sampai gobyos. Keringatan!”
“Waduh! Listrik matiii. Kueku gimanaa?!”
“Ya Allah. Listrik bulan ini kok membengkak?!”
“Panas banget sih hari ini. Beli sayur ke pasar saja bisa sampai wajah gosong.”
Atau...
“Mahal banget sih harga cabe.”
Saya sadar ujung-ujungnya yang saya salahkan adalah alam.
Lah tapi saya pikir-pikir, ngapain juga menyalahkan alam?
Musim panas yang panas banget. Musim hujan yang bikin gagal panen. Musim hujan yang nggak menentu sering bikin listrik mati. Atau nggak kenal musim listrik juga mati.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi ya sebenarnya segala yang saya rasakan adalah bermula dari satu titik. Yaitu perilaku manusia yang mementingkan keinginan tanpa memikirkan alam.
Semua fenomena alam yang terjadi. Banjir yang terjadi, salah satunya, disebabkan oleh konversi lahan hijau menjadi lahan terbangun. Banyaknya lahan terbangun ini membuat panas tidak bisa diserap tanah dan kembali ke atmosfer. Tentunya itu menyebabkan pemanasan global yang pada akhirnya juga menyebabkan es di kutub mencair dan menaikkan muka air laut serta banjir di beberapa kota.
Banjir itulah yang membuat petani mengalami gagal panen. Stok pangan berkurang dan membuat harga melambung tinggi.
Dan yang terakhir itu seringkali membuat juru masak pusing. Kita harus beli bahan pangan dengan harga yang mahal?
Dan salah satu pemicunya adalah pemanasan global.
Ngomong-ngomong tentang pemanasan global, ternyata peningkatan suhu bumi kita memang sudah mendekati ambang batas 1.5°C yaitu sekitar 1.1 °C. Kelihatannya cuma sedikit ya naiknya. Tapi kenaikan suhu itu berdampak pada kehidupan kita.
Jika kita tidak melakukan perubahan, suhu bisa meningkat hingga 2 °C pada tahun 2060 dan 2,7°C di akhir abad ini.
Jika kita tidak melakukan mitigasi perubahan iklim sejak dari sekarang maka pertumbuhan pemanasan global hingga mendekati 4°C di tahun 2100 (high growth). Tapi jika kita melakukan mitigasi perubahan iklim SEJAK DARI SEKARANG, maka emisi CO2 akan konstan atau setidaknya peningkatan emisinya rendah (low growth).
IPCC Scenario |
Apa dampaknya jika suhu global naik 1,5°C? Yang terjadi sudah kita rasakan seperti gelombang panas, suhu dingin ekstrem, curah hujan ekstrem, kekeringan, ketersediaan air berkurang, dsb.
Bayangkan bagaimana jika beberapa tahun lagi mengalami kekurangan air? Padahal air digunakan untuk memasak, mandi, mencuci, dsb.
Jika sudah langka, kita harus beli air dengan harga yang sangat mahal. Semakin meningkat suhu global bumi maka semakin rentan juga kelangkaan air terjadi.
Juru masak makin pusiiinng.
Jika mau menyalahkan manusia? Kira-kira siapa yang patut disalahkan? Manusia yang mampu menguasai hulu dan hilir perekonomian dunia? Atau manusia yang tak punya kuasa apa pun terhadap penguasaan sumber daya alam?
Bukan A juga bukan B. Semua punya potensi sebagai penyumbang perubahan iklim. Sumber daya yang kita konsumsi bisa saja menjadi penyumbang gas rumah kaca.
Makanya jangan menganggap kalau juru masak di rumah saja itu tidak menjadi pendonor jejak karbon ke udara. Siapa bilang? Juru masak bisa menjadi pendonor jejak karbon ke udara.
Penggunaan energi merupakan sumber terbesar dalam emisi gas rumah kaca.
Sebagai juru masak, saya menyadari saya masih kurang bijak dalam penggunaan energi listrik dan gas tabung hijau.
Padahal energi listrik berasal dari batu bara yang ditambang jauh di dalam bumi.
Gara-gara penambangan batu bara yang terus menerus, sebagai sumber pembangkit listrik, negara kita terancam gagal mencapai target dalam Persetujuan Paris atau Paris Agreement.
“Perjanjian Paris adalah perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan, yang dilaksanakan di Paris, Prancis pada tahun 2015.”
Tahu kan kalau penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik bisa melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer?
Bahan bakar fosil seperti batu bara terus dieksploitasi demi kebutuhan manusia dan pengolahannya juga melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Makanya rasanya tak elok jika harus menuduh siapa yang patut disalahkan karena saling menyalahkan tidak jua mampu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dan penggunaan energi di dalam rumah sering disepelekan. Sebagai juru masak keluarga, apa yang bisa saya lakukan?
Seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah dan tak ke mana-mana juga bisa menjadi penyumbang gas rumah kaca, menjadi orang yang berkontribusi dalam perubahan iklim.
Misalnya listrik.
Menurut situs McGinley, untuk menyalakan satu bohlam 100 watt selama setahun akan membutuhkan 325 kg batu bara.
Banyak banget kan!
Pada pembangkit listrik tenaga batu bara, hanya 40% energi panas batu bara yang diubah menjadi listrik. Sisanya menjadi emisi yang menambah gas efek rumah kaca dan membuat bumi semakin panas.
Saya di rumah, sumber listrik yang cukup besar watt-nya adalah oven listrik. Saya cukup sering menggunakan oven listrik untuk memasak kue, ayam atau sekedar memanaskan makanan. Oven listrik ini dayanya besar.
Begitu juga saat menggunakan gas elpiji. Kadang masih saja saya berperilaku boros menggunakannya.
Padahal gas elpiji tersebut berasal dari gas bumi yang dicairkan dengan komponen utama propana dan butana. Semakin boros menggunakan gas elpiji maka semakin banyak gas bumi yang dieksploitasi.
Maka di bulan Oktober ini, untuk memperingati Sumpah Pemuda, saya sebagai #MudaMudiBumi berikrar menjadi juru masak yang berperilaku cerdas dan hemat saat menggunakan oven listrik maupun kompor.
Inilah #TimeforActionIndonesia saya menjadi juru masak yang berperilaku hemat dan cerdas saat memasak :
1. Menggunakan wajan atau panci yang lebar sehingga bisa menyebarkan panas secara efektif. Dengan begitu makanan cepat matang dan penggunaan gas tabung hijau tidak boros.
2. Menggunakan tutup panci saat memasak. Udara panas terperangkap di dalam panci sehingga masakan lebih cepat panas dan matang. Dengan begitu gas elpiji bisa lebih hemat.
3. Menggunakan api kecil. Api yang terlalu besar hingga melewati wajan panci hanya membuat boros gas elpiji. Suami saya pun sering mengingatkan untuk tidak menyalakan api terlalu besar karena boros. Suami mengatakan kalau api yang panas iu api biru. Jadi saat api dibesarkan yang muncul malah api merah yang malah membuat gas cepat habis.
4. Memasak sayur dalam waktu yang singkat. Memasak sayur yang terlalu lama membuat penggunaan gas elpiji lebih boros. Ditambah lagi kandungan gizinya akan ikut hilang.
Biasanya saya memasukkan sayur, seperti bayam, kangkung, daun ketela, saat air sudah mendidih dan menunggunya sekitar maksimal 4 menit kemudian kompor dimatikan.
Eits. Tidak langsung mengangkat sayur yang direbus. Setelah kompor dimatikan, saya membiarkan sayuran di dalam panci untuk proses pematangan lebih lanjut.
5. Masak secukupnya disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga agar tidak banyak makanan yang terbuang baik oven listrik atau kompor gas.
6. Menyiram tanaman dengan air sisa cuci sayur dan beras. Ketika saya mencoba mengumpulkan air bekas cuci sayur dan beras ternyata bisa terkumpul satu panci besar.
Sayang sekali kalau langsung dibuang, jadi saya menyirami tanaman dengan sisa air tersebut.
7. Belanja sayur tanpa meninggalkan jejak karbon seperti bersepeda. Selain hemat, naik sepeda berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim.
8. Menggunakan oven listrik hanya sesekali. Tujuannya agar lebih hemat listrik. Kalau pun harus memakai oven listrik maka harus menggunakan suhu yang sesuai dengan yang dimasak, meletakkan makanan di urutan rak yang benar dan tidak membuka pintu oven saat memasak.
Dengan perilaku sederhana dalam dunia memasak di keluarga saya setidaknya saya akan membantu mengurangi penggunaan energi listrik dan gas bumi yang bersumber dari alam.
Tidak mudah memang berikrar untuk menjadi bagian dalam mitigasi perubahan iklim. Tapi kalau kita tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh maka high growth yang akan terjadi.
Jadi kenapa kita tidak berbuat baik pada bumi kita?
Apa yang saya lakukan itu memang #UntukmuBumiku agar bumi tetap baik seperti yang selalu bumi berikan untuk kita.
Bagaimana dengan kalian?
Referensi:
https://migas.esdm.go.id/post/read/Mengenal-Jenis-jenis-Gas-Bumi
https://www.mcginley.co.uk/news/how-much-of-each-energy-source-does-it-take-to-power-your-home/bp254/
https://www.edie.net/amp-news/11/Boris-Johnson-pledges-action-on--coal--cars--cash-and-trees--at-COP26/
https://www.ipcc.ch/2021/08/09/ar6-wg1-20210809-pr/
https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/24/170200623/5-dampak-perubahan-iklim-jika-suhu-bumi-naik-2-derajat-celsius
https://politicstoday.org/un-climate-change-report-global-warming-red-red-code-for-humanity/
https://www.bbc.com/news/science-environment-58130705.amp
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/05/150528_dunia_india_panas.amp
https://earthobservatory.nasa.gov/features/GlobalWarming/page5.php