Pengalaman Menemani Anak Opname di Rumah Sakit

No Comments

Setelah bolak-balik tes darah yang sudah aku ceritakan di tulisan sebelumnya tetang Bintik Merah dan Trombosit Turun. Sekarang aku mau cerita tentang pengalaman anakku opname di Rumah Sakit Bunda, Waru, sidoarjo, yang terkenal reviewnya yang jelek.


Aku nggak tahu kenapa tetap nekat pergi ke rumah sakit itu. Mungkin karena rumah sakit Bunda lokasinya strategis dan dekat dari rumah, jadi kalau aku perlu apa sama suami, nggak perlu jauh-jauh datang.


Oiya, sebelum Ghalib sakit, sejak dia mulai makan nasi lembut, sekitar usia 10 bulan (sebelumnya makan bubur bayi), dia sudah menunjukkan ketidaktertarikannya dengan makanan apapun kecuali snack. Jadi setiap dia makan nasi cuma tiga suap setelah itu nggak mau sama sekali. Dipaksa pun nggak bisa. Beda sama Masnya meskipun sulit makan, dipaksa kadang masih bisa. Apalagi timbangan Ghalib nggak naik-naik. Grafik berat badan dia sudah mepet kuning soalnya. Aku kira, mungkin karena itulah anakku akhirnya jatuh sakit. 


Sesampainya di IGD rumah sakit Waru, dokter IGD memeriksa hasil tes darah dan widal yang aku berikan. Beliau mengatakan anakku harus diopname. Aku disuruh tanya ke bagian administrasi dulu apakah masih ada kamar atau tidak. Kalau ada, baru daftar sesuai prosedur opname di rumah sakit.


Lobi rumah sakit Bunda, Waru, ramai penuh sesak. Meski Covid belum merebak, aku agak-agak ngeri lihat keramaian di rumah sakit waktu itu. Para adminnya sibuk melayani keluarga pasien yang mau bayar, pasien BPJS, mau daftar, menunggu dokter, dan lain-lain.


Aku menunggu sekitar 3 orang, kemudian giliranku. Aku bertanya apa masih ada kamar? Petugas yang super sibuk tetap bisa bercanda bersama pegawai lain di sela-sela melayani keluarga pasien. Dia menanyakan pasien BPJS atau bukan. Karena aanakku belum punya kartu BPJS, jadi aku mengatakan bukan BPJS.


Dia menyuruhku menunggu. Dan dia masih menyelesaikan pekerjaan lainnya. Tak lama, dia menelepon petugas yang ada di bagian back office. 


Alhamdulillah masih sisa 1 kamar kelas dua. Lega banget. Kemudian dia menjelaskan jumlah biaya opname rumah sakit Bunda yang harus dikeluarkan per malam. Aku lupa tepatnya berapa biayanya. Kalau nggak salah 150.000, diluar obat per hari dan visitasi. Aku iya-iya aja deh. Nggak mikir yang penting anakku segera ditangani.


Akhirnya aku pun mendaftar, membaca ketentuan, prosedur opname di rumah sakit, dan membayar sejumlah uang untuk DP. Jadi nanti total berapa tergantung berapa jumlah hari menginap terus kekurangannya bisa dibayar saat mau keluar dari rumah sakit.


Kira-kira butuh waktu setengah jam aku melakukan pendaftaran apalagi petugasnya memang sering bercanda dengan pegawai lain. Aku perhatikan sih wajar lah mereka begitu, pasti kerjaan mereka bikin kepala puyeng. Yang penting nggak sampai terbengkalai pasien. 


Setelah itu aku kembali ke IGD dan mereka mempersiapkan alat untuk menginfus anakku. Anakku melihat ruangan IGD yang banyak tempat tidur nggak mau sama sekali lepas dariku. Mungkin ia takut karena merasa asing dengan tempatnya itu. Meski sudah kubujuk-bujuk untuk tidur di tempat tidur IGD, dia nggak mau. Okelah, akhirnya aku pangku sambil gendong.


Aku pun sempat bertanya bintik merah pada kulit bayi setelah demam? Mereka menjawab bisa jadi karena panasnya tinggi.


Perawat pun mendatangiku. Semua petugas di IGD pada menanyakanku, "Kemana keluarganya? Ayahnya?"


Aku bilang, "Nggak ada, Pak. Suami saya jaga anak saya yang kena tipes di rumah." Duh, berasa sedih banget ya. Mereka mungkin kasihan sama aku. Karena aku harus tetap wira-wiri untuk ambil obat dan bayar dan siapa yang akan menjaga anakku kalau aku wira-wiri.


Seharusnya sih rumah sakit punya sistem atau aturan yang bisa mengantisipasi masalah itu. Nggak semua pasien punya keluarga terdekat yang bisa dimintai tolong untuk menolong.


Akhirnya, petugas IGD malah membantuku untuk membelikan obat dari resep dokter IGD. Alhamdulillah, Allah beri kemudahan. Aku sangat berterima kasih karena kebaikan beliau. Aku pun membayar sejumlah uang sesuai yang tertera di kwitansi. Beliau pun kembali lagi ke apotek. Menunggu obat jadi, saatnya anakku dikasih infus.


Dan ini adalah momen yang nggak aku lupa. Rasanya pengen nangis saat melihat tangan kecilnya ditusukkan jarum. Anakku menangis, menendang-nendang, dna memukul-mukulkan tangannya. Aku memeluk dan menahan tangannya agar perawat gampang memasukkan infus.


Anakku cuma mengatakan sambil menangis dan mengeluarkan air mata, "Acit, Bu...Acit..." dengan pengucapannya yang belum jelas. Aku cuma bisa bilang, "Sabar, ya.. Sabar... nanti sembuh, kok..." Meskipun aku nggak yakin dia bakal paham arti dari sabar, tapi tetap saja kukatakan begitu.


Perawat IGD cukup kesulitan memasukkan jarum infus ke tangannya karena trombositnya rendah. Masnya cerita kalau trombosit rendah itu biasanya pembuluh darah sulit ditembus atau pecah atau gimana gitu ya. Aku nggak paham. Jadi harus bolak-balik ditusuk lagi dengan jarum. Hiks..


Setelah beberapa menit, akhirnya, jarum infus masuk juga. Tangan anakku sudah dikasih infus beserta penyangga kayunya biar tidak mudah lepas. Ghalib heran melihat tangannya diberi infus dan kayu. Dia melihat-lihat sambil memutar-mutarkan tangannya. Karena itulah, infusnya selalu berdarah. Aku gupuh karena darahnya jadi masuk ke infus. Kata petugasnya kalau bisa posisinya turun ke bawah tangannya.


Setelah kamar siap, akupun diantar dengan naik kursi roda. Ya. Aku naik kursi roda sambil menggendong anakku yang lemas. Tas berisi pakaianku dibawakan sama masnys. Oh, Ya Allah beruntunglah aku karena mereka super baik. Aku pun lewat lift khusus yang hanya bisa diakses dengan ID petugas karena ada barcode nya.


Akhirnya aku sampai juga di kamarku lantai 2. Begitu masuk, aku melihat ada tiga tempat tidur yang disekat-sekat. Dan semua sudah penuh kecuali di pojokan. Aku pun membaringkan anakku di sana. Awalnya dia nggak mau dan takut tapi aku membujuknya. Akhirnya dia mau juga.


Dan mulailah malam itu kami bermalam di sana.


Makan malam selalu diberikan pukul 4 sore, sementara makan pagi pukul 6 pagi, dan makan siang pukul 11. Setiap makan selalu ada sayur, lauk ayam/ikan, tempe/tahu dan cemilan. Anakku juga disuruh minum obat antibiotik 1 hari 2x dengan jeda 6 jam, minum obat diare (kebetulan saat sebelum ke rumah sakit dia diare), dan obat batuk pilek (meski bapil cuma sedikit). 


Drama banget lah saat minumin obat. Aku sempat bingung karena dia pasti lonjak-lonjak sementara tangannya diinfus. Aku takut aja dia lonjak-lonjak terus lepas. Eh, alhamdulillah dia masih bisa dikendalikan meski aku harus menahan badan dan tangannya dengan kakiku kemudian kedua tanganku meminumkan obat. Pfiuh. Alhamdulillah juga dia mau makan nasinya.


Jangan tanyakan aku makan gimana. Aku benar-benar lupa. Ingatku aku masak opor dengan bumbu instan dan aku bawa saat itu. Kalau nggak ya aku makan sisa makan Ghalib. Pengalaman luar biasa. Aku nggak pernah opname, malah anakku yang opname. Hiks.


Saat visitasi pertama di hari kedua sekitar jam 8 malam, dokter datang dan menanyakan keluhan dan kondisi. Aku juga nggak tahu kenapa dokternya baru datang di hari kedua. Orang di sebelahku udah protes kesal karena dokternya visitasi cuma sekali satu hari. Aku sih biasa aja. Aku nggak pernah berurusan dengan rumah sakit, jadi aku nggak bisa membandingkan dengan rumah sakit lainnya. Mungkin bunda-bunda punya pengalaman di rumah sakit berapa kali dokternya visitasi ke pasien?


Pas dokternya datang, Ghalib diperiksa suhu tubuhnya, denyut jantungnya. Terus aku bilang awalnya sempat mencret, nggak mau makan, demam, batuk. Saat visitasi, Ghalib sudah nggak mencret, nggak demam, tapi masih lemes dan nggak mau makan. Setelah itu, dokter akan menentukan apakah masih lanjut dengan obatnya, ditambahi obat, atau berhenti. Karena anakku sudah nggak mencret, jadi obat diarenya disuruh berhenti minum.


Ketika air infus habis, aku menghubungi perawat untuk segera diganti. Eh, kebetulan perawat yang menangani baru pindahan dari rumah sakit lain. Kayaknya lebih muda gitu jadi agak ragu saat akan memutuskan sesuatu tapi sudha cukup mahir untuk mengganti infus.


Dua hari sudah aku di rumah sakit, alhamdulillah anakku di rumah sudah baikan. Untungnya di rumah ada tantenya juga pas weekend ada yang nemenin dan masakin. Tapi pas besoknya, ayahnya harus kerja. Tantenya juga kerja. Jadi terpaksa anakku pertama ikut menunggu di rumah sakit. Aku menyuruhnya pakai masker dan jaket. Begitu juga dengan suamiku. 


Pas Ghalib ngelihat ayahnya dan masnya, ada rasa senang terlihat di wajahnya apalagi dibelikan makanan meski dia masih merasa lemas tidur di tempat tidur. Ayahnya juga sempat menggendong Ghalib. Pas digendong itu, Ghalib malah cerita banyak meski suaranya nggak begitu jelas. Kelihatan banget dia semangat bercerita. Begitu ayahnya pulang, Raceqy yang susah dibujuk karena nggak mau ayahnya pergi. 


Akhirnya tak ajak nonton televisi. Meskipun Raceqy menonton televisi di kamar sambil duduk di pinggir tempat tidur, tapi tetep aja dia nggak betah. Ngelihat anakku yang kedua terbaring di tempat tidur, wajahnya sedikit takut-takut gitu. Mungkin juga ada rasa kasihan. Beberapa kali minta pulang.


Pas dokternya datang visitasi malah ditegur kok ikut ke rumah sakit. Haha. Ya gimana sih. Menjelang maghrib akhirnya suamiku datang dan menjemput anakku. 


Aku lupa berapa kali Raceqy datang menjenguk ke rumah sakit. Ingatku cuma sekali. Total empat hari aku di rumah sakit. Hari keempat, aku sudah boleh pulang oleh dokter. Kondisi anakku sudah nggak begitu lemas. Diminumin obat udah punya tenaga untuk menolak. Aku kewalahan sendiri. Makan juga udah mulai lahap. Mencret udah nggak. 


Pas dokternya visitasi terakhir sebelum aku pulang, aku tanyakan penyakit apa kok trombosit turun tapi bukan DBDn. Soalnya trombosit turun menurut artikel yang aku baca dokternya nggak bilang kena penyakit apa. Beliau cuma bilang paling cuma infeksi. Kan aku bingung. Tapi yaudahlah.


Susahnya menjaga anak sendirian itu, pas aku harus mengurus administrasi, aku harus meminta orang untuk menjaga Ghalib. Kebetulan waktu itu ayahnya lagi nggak ads jadwal ngajar jadi bisa nemaninRaceqy di rumah. Akhirnya aku meminta tolong perawat menjaga anakku yang sedang tidur sementara aku ke lobi.


Oiya, untuk mengurus administrasi kepulangan aku harus menunggu aba-aba dari perawat yang stand by dekat kamar karena mereka yang harus menyelesaikan semua daftar tanggungan yang harus aku bayar. Kira-kira satu jam, baru deh aku disuruh ke lobi.


Aku kira urusan langsung selesai, ternyata aku harus wiwa wiri. Ke apotek dulu, bayar obat dulu, nunggu resep, terus ke lobi, masih nunggu lagi, terus dipanggil. Total biaya opname di rumah sakit Bunda Waru lumayan banget sih 4 hr sekitar 2jt rupiah (di kelas 2). Hiks..Gara-gara nggak pake BPJS. Yaudahlah. Yang penting anakku sehattt.


Sama dokternya, aku masih disuruh cek satu bulan lagi tapi waktu itu pas jadwalnya pas aku nggak bisa. Aku lupa lagi kemana ya. Suami juga bilang yaudahlah anak juga sudah sembuh wkwkwkwk. 


Alhamdulillah, semenjak keluar dari rumah sakit, makannya lahap banget dan banyak. Sampai aku kewalahan. Kalau tengah malam banguh, dia minta makan, bingung nggak ada lauk. Untungnya dia mau nasi kecap doang. Semakin lama, sekitar 1 tahun kemudian, sudah nggak selahap itu. Udah bosan makan nasi kecap juga. Sukanya makan ikan. Masyaallah. Sampai sekarang makannya jadi membaik. Dulu cuma tiga suap sekarang sudah banyak. Cuma ya gitu, kalau nggak mau ya bener-bener nggak mau. Ngemil juga banyak. Dan... badannya tetap kurus. Haha.


Sekian ya cerita pengalaman anakku opname di rumah sakit gara-gara bintik merah di kulit bayi dan trombosit turun disertai demam tapi bukan DBD.

Ketika menemani anak opname di rumah sakit, banyak hikmah yang kudapat seperti:

1. Banyak kondisi anak lain yang lebih parah saat diopname. Ini adalah hal pertama yang harus disyukuri. 


2. Betapapun kuatnya si ibu, tetap saja ia akan lemah melihat anaknya sakit. Itulah kenapa ibu-ibu selalu merasa khawatir saat anaknya sakit tapi tinggal jauh. Yang dekat saja sudah terasa sedihnya, apalagi jauh. 


3. Sesendiri apapun kamu, akan selalu ada Allah menemanimu. Sebaik-baik penolong ya Allah. Minta sama Allah. Orang lain menganggap kamu nggak bisa melakukannya sendiri tapi berkat Allah semua bisa. Entah tiba2 ada saja yang nolongin.


4. Googling tentang penyakit yang diaami anak itu bisa membuat kita tenang atau malah makin kalut. Biar tenang, pergi ke dokter dan berdoa pada Pemilik Kehidupan.


5. Jangan percaya dengan kata orang atau komentar orang tentang pelayanan suatu fasilitas kalau tidak mengalaminya sendiri. Memang harus dicoba dulu baru percaya. Setiap orang punya standar sendiri2. Bisa aja orang bilang baik, kita menganggap biasa aja atau malah bagus.

0 comments

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.

Follower