Kalimat yang diucapkan oleh Obaja Kalami, seorang pemandu wisata ekowisata burung surga di Malagufuk, Papua, dalam film pendek dari EcoNusa yang berjudul Malagufuk atau Hutan Kami Hidup Kami, cukup membuka mata saya.
Tak hanya keindahan dan kekayaan Papua yang sudah terkenal seluruh nusantara bahkan dunia, tetapi juga usaha masyarakat yang besar dalam upaya menjaga
“ibu” a.k.a hutan untuk menghidupi manusia di dunia. Betapa seharusnya saya
berterima kasih pada mereka.
Ya. Menjaga “Ibu” untuk menghidupi masyarakat di dunia. Kalimat
itu membuat saya tersadar setelah mengikuti Virtual Blogger Gathering via Zoom
tanggal 7 Agustus 2020 silam.
Hutan adalah "nafas" mereka dan "nafas"
kita. Sebuah kiasan yang menunjukkan betapa besar peran hutan dalam
kelangsungan hidup makhluk hidup. Tak hanya masyarakat lokal dan penduduk dunia
tapi juga flora dan fauna yang tumbuh di dalamnya.
Beruntung Obaja Kalami dan masyarakat suku Moi lainnya menjaga dan melestarikan hutan sehingga banyak satwa langka yang masih hidup, seperti Burung Cenderawasih atau bird-of-paradise. Hingga akhirnya hutan tempat tinggalnya tersebut dikembangkan menjadi ekowisata. Banyak wisatawan yang datang ke Malagufuk untuk melihat satwa langka Cenderawasih (birdwatching). Dampaknya, masyarakat lokal dapat melangsungkan hidup berkat pengembangan ekowisata.
Bayangkan apa yang terjadi jika hutan-hutan tersebut ditebang dan satwa langka punah? Selain penyumbang efek rumah kaca dan menyebabkan pemanasan global, kelangsungan hidup masyarakat suku juga akan menghilang.
Menurut Pak Bustar Maitar, seorang CEO EcoNusa dalam Virtual
Blogger Gathering tersebut, Papua itu unik. Tak hanya flora dan faunanya yang
langka, tetapi juga budayanya. Di hutan Papua tidak memiliki hewan besar
(Gajah, Harimau, Orang Utan) seperti di Sumatera dan Kalimantan. Di hutan
Papua, fauna khas adalah jenis burung Cenderawasih dan Kasuari.
Pak Bustar menyampaikan materi tentang Papua Destinasi Hijau |
Alasan Papua Menjadi Destinasi Hijau
Saat ini permasalahan hutan-hutan di Indonesia adalah sudah mulai mengalami degradasi hutan. Banyak hutan yang sudah dialihfungsi menjadi perkebunan sawit, dan guna lahan lainnya. Dan ini mengancam kehidupan flora dan fauna di dalamnya. Jangan sampai hutan Papua sebagai The Last Frontier mengalami hal serupa. Hutan hilang, flora fauna hilang dan mengancam kehidupan masyarakat suku yang hidupnya sangat tergantung dengan alam.
Itulah mengapa Papua didorong menjadi destinasi hijau sebagai bentuk pengembangan ekowisata. Makna Papua destinasi hijau ini hanyalah sebuah kiasan. Selain memang berbasis pada alam, destinasi hijau ini dikelola oleh masyarakat adat sendiri dengan cara yang ramah lingkungan. Adat dan budaya masyarakat Papua juga masih kental.
"Orang Papua menganggap tanah, hutan, alam, laut adalah
ibu." Hutan Papua tidak saja memberi makan bagi masyarakatnya, tapi juga
memberikan udara segar bagi orang lokal dan pengunjung. Oleh karena itu, jika
dirusak maka sama saja merusak hidup orang Papua.
Baca Juga : "The Lost Paradise" Tanah Papua
Ekowisata Papua Yang Recommended Untuk Dikunjungi
Jika ada rezeki berwisata ke Papua, Pak Bustar menyarankan
untuk mengunjungi SEMUA tempat di Papua! Wow. Saking indahnya dan setiap tempat
punya ciri khas yang berbeda ya. Pasti mau dong bisa keliling Papua. Namun,
jika tidak sempat mengunjungi semua tempat ekowisata di Papua, ada nih tempat
ekowisata yang direkomendasikan untuk dikunjungi di Papua yang saya rangkum
dari narasumbet adalah:
1. Danau Sentani
Danau ini sangat indah. Jika naik pesawat dari Jakarta berangkat malam hari, maka akan tiba di Papua pagi hari. Saat itulah kesempatan untuk melihat Danau Sentani dari ketinggian.
Danau Sentani dari dalam pesawat (www.mytrip.co) |
2. Tempat melihat Burung Cenderawasih tidak jauh dari kota Sorong
Sayangnya wilayah tersebut overlap dengan rencana
pembangunan perkebunan kelapa sawit dimana tempat itu adalah tempat tinggal
burung Cendrawasih. Saya membayangkan kalau burung Cenderawasih dan endemik
khas Papua lainnya hilang dari tanah Papua.
Apa lagi flora dan fauna yang menjadi kekhasan Papua? Papua
tidak akan punya kekhasan itu?
Apa kata anak cucu saat menanyakan, "apa hewan khas
Papua?"
Kita mau jawab apa?
"Hmm... Burung Cenderawasih, tapi itu dulu sebelum hutan ditebang dan dijadikan ini dan
itu."
Apa kita masih mengatakan itu dengan bangga?
The-Bird-of-Paradise atau Burung Cenderawasih |
3. Pegunungan Arfak yang memiliki banyak satwa endemik Papua.
Wisatawan bisa melihat aktivitas The Bird of Ballerina atau burung Cenderawasih. Kenapa Burung Cenderawasih? Karena burung ini sangat pintar dan memiliki suara yang merdu. Kok bisa pintat? Ya. Karena burung ini pandai membuat "rumah". Jika sudah berhasil membuat sarang yang indah, dia akan menari untuk mengundang jantan datang ke rumahnya. Keren ya!
4. Raja Ampat yang ada di Papua Barat ini paling seksi ekowisatanya.
Siapa yang tidak kenal dengan keindahan Raja Ampat ini. Deretan pulau karang yang menyebar dengan gradasi warna biru laut dan hijau tosca menambah cantiknya pulau ini.
Keindahan Raja Ampat di Papua Barat (Dok. Agoda) |
5. Teluk Cenderawasih di Kabupaten Teluk Wondama
Keindahan dan kekayaan alam Teluk Cenderawasih membuat tempat ini menjadi obyek wisata yang layak dikunjungi. Banyak hal yang bisa dilakukan di Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini seperti Diving, Ski air, memancing, menikmati pantai, sumber air panas, surfing, pengamatan burung dan rusa, dan lain sebagainya.
Keindahan Pulau di Teluk Cenderawasih |
6. Ekowisata di Kabupaten Tambrauw
Kabupaten Tambrauw juga memiliki banyak sekali tempat ekowisata yang bisa dikunjungi seperti pantai, air terjun, birdwatching, keindahan padang hijau di bukit, dan pemandian air panas.
7. Air Terjun di Fakfak
Perilaku Pengunjung Yang Memperhatikan Kelestarian Lingkungan
Pengunjung atau wisatawan yang datang ke Papua dan ingin
menikmati destinasi hijau harus mempertimbangkan perilaku-perilaku yang ramah
lingkungan. Mereka harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian
lingkungan bersama masyarakat adat yang ada di dalamnya. Jadi, destinasi hijau
ini tidak hanya hijau saja obyek wisatanya tetapi juga perilakunya.
Beberapa perilaku pengunjung yang ramah lingkungan menurut
beberapa narasumber dalm Virtual Blogger Gathering bersama EcoNusa,
1. traveler harus jaga kebersihan. Jangan bawa sampah dari
luar agar Raja Ampat tetap indah.
2. pengunjung tidak menginjak karang sehingga karang tetap
terjaga.
3. Tidak berperilaku yang menakuti burung di kampung Arfak
sehingga burung tetap menari.
4. Adanya Covid-19 memaksakan pengunjung pada hal-hal baru yang harus diikuti, seperti mematuhi persyaratan kesehatan yang ditetapkan.
Dengan perilaku tersebut, jika hutan tetap terjaga,
destinasi hijau ini bisa dinikmati semua orang di Indonesia juga dunia tanpa
melupakan kelestarian alam, flora dan faunanya. Tentunya, jika destinasi hijau
dalam pengembangan ekowisata ini terus berjalan seiring dengan kelestarian
alam, maka dapat membantu peningkatan ekonomi masyarakat lokal.
Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh pengunjung untuk mengembangkan ekonomi masyarakat lokal adalah memilih homestay yang didirikan masyarakat lokal sebagai tempat penginapan. Beberapa masyarakat suku di Papua memilih membuka usaha dengan membangun homestay bagi wisatawan.
Kenapa homestay?
1. Homestay yang dibangun ramah lingkungan seperti yang
dikatakan oleh Pak Christian, seorang kepala asosiasi Homestay Papua. Bahan
yang digunakan tidak samai merusak lingkungan.
2. pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat suku Papua.
3. Pengunjung dapat merasakan makanan khas yang dibuat
langsung oleh orang lokal.
4. Pengunjung dapat merasa lebih dekat dengan suasana alam
Papua.
Sampai saat ini, wisatawan yang datang ke Papua, termasuk Papua Barat sudah ada yang memanfaatkan Homestay sebagai tempat menginap. Meskipun begitu, pengembangan homestay bagi masyarakat lokal tak terlepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pemilik homestay.
Tantangan Mengembangkan Homestay
Menurut Pak Christian, tantangan pengelolaan homestay di
Papua, khususnya Raja Ampat, Papua Barat, adalah :
1. Kurangnya pemahaman bahasa inggris bagi masyarakat lokal
Seperti dalam video yang saya tonton dalam Youtube Econusa, beberapa penduduk mengatakan jika mereka tidak bisa bahasa Inggris, mereka harus menyewa Guide yang akan mengeluarkan uang banyak. Jadi, sebagian kecil mengikuti les bahasa inggris sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan pengunjung mancanegara. Dengan begitu pengeluaran akan terbatas.
Menurut saya, pemerintah daerah harusnya bisa menjadi pihak yang dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa inggris para pengelola homestay, misalnya
dengan mengadakan pelatihan bahasa inggris khusus pengelola homestay yang
dibiayai dari APBN atau APBD.
2. Bersaing dengan banyak resort yang harganya selalu turun
Bayangkan homestay yang sudah murah masih harus bersaing dengan resort yang
juga menurunkan harganya. Otomatis, pengunjung akan memilih resort dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Padahal resort punya kelas tersendiri, harga dan
fasilitas tersendiri. Pelayanannya pun tidak sama karena sesuai dengan
harganya. Kalau sudah begitu, ekonomi masyarakat lokal akan menurun.
Pendapat saya tentang poin ini adalah seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah daerah sebagai
penentu kebijakan dalam menentukan batas minimal harga dan fasilitas yang harus
ditetapkan pada resort sehingga secara tidak langsung melindungi kehidupan
masyarakat lokal yang memiliki usaha homestay.
3. Kurangnya fasilitas dive center dan alat snorkeling yang berpengaruh pada wisatawan yang akan datang
Biasanya homestay yang memiliki
dive center akan banyak didatangi oleh wisatawan. Namun, tidak semua homestay
memiliki dive center karena tidak banyak orang yang memiliki pemahaman tentang
dive center.
Lagi-lagi ini adalah saran saya bahwa pemerintah daerah harus menjadi kail yang
menangkap umpan karena memang Pemerintah Daerah ikut bertanggung jawab dalam
pengembangan ekowisata ini. Kebijakan yang dilakukan bisa dengan mengadakan
pelatihan dive center bagi pengelola homestay atau masyarakat lokal yang berada
dekat di homestay, dan menyediakan sarada penunjang dasar untuk kegiatan
diving. Memang, pada akhirnya pemerintah daerah harus mengajukan anggaran ke
pusat. Namun, memang begitulah upaya dalam pengembangan destinasi hijau
berbasis ekowisata dan pengembangan masyarakat lokal Papua.
Harapannya, dengan memfasilitasi masyarakat lokal untuk
pengembangan homestay, maka banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang
datang berkunjung. Dampaknya, kesejahteraan masyarakat meningkat, pengembangan
ekowisata juga berkembang bahkan terkenal di dunia, dan pastinya pendapatan
daerah (PDB) juga akan meningkat.
Bagaimana agar pengembangan ekowisata Papua bisa mendunia?
Menurut Kak Alfa Ahoren, seorang anak muda Papua, mengatakan
cara yang dilakukan agar Papua tetap hijau dan mendunia adalah :
1. Menjaga ekosistem keanekaragaman hayati agar tetap ada
sampai anak cucu bisa melihat cendrawasih, anggrek, dan ekosistem endemic.
2. Menjaga tanah papua agar tetap lestari. Papua sangat kaya
dengan flora dan fauna. Hutan papua sebagai rumah bagi flora dan fauna. Kalau
hutan ditebang maka kita tidak melihat hutan yang indah, ekosistem flora dan
fauna yang khas di mata dunia. Tak hanya flora dan fauna, tapi juga orang
Papua. Orang papua hidup berdampingan dengan alam. Apa yang dilakukan
masyarakat Papua sangat tergantung dengan alam. Jika alam hancur, maka penduduk
juga akan 'hilang'. Tempat tinggalnya juga akan hilang.
3. Tidak menebang pohon sembarangan
4. Mencintai keanekaragaman hayati
5. Tidak merusak lingkungan saat berkunjung. Pengunjung
harus menghargai tradisi budaya setempat dan ekosistemnya. Misalnya saat ke
pgunungan Arfak, bagaimana kehadiran pengunjung tidak mengusik burung
cenderawasih.
6. Mulai dari diri sendiri untuk menunjukkan empati pada
lingkungan.
Dan paling penting dan paling menentukan adalah kebijakan
pemerintah daerah dan nasional untuk tetap menjaga kawasan hutan Papua dan
tidak memenuhi kepentingan tertentu yang mengkonversi hutan menjadi perkebunan
seperti mengubah tempat tinggal burung Cenderawasih menjadi kepala sawit.
Jika hutan terus berkurang maka tak mungkin Papua menjadi destinasi hijau yang mendunia.
****
Betapa senangnya karena saya mendapat kesempatan mengikuti
virtual blogger gathering bersama EcoNusa dan Blogger Perempuan Network tanggal
7 Agustus 2020 lalu. Gathering ini diisi oleh narasumber :
1. Bustar Maitar, CEO EcoNusa.
2. Christian Sauyai, Ketua Asosiasi Homestay Raja Ampat
3. Alfa Ahoren, perwakilan anak muda Papua.
Acara ini dipandu oleh Mbak Jeni Karay, seorang Papua influencer Social Media.
Dari virtual blogger gathering tersebut, saya memperoleh
banyak sekali pengetahuan tentang Papua Destinasi Hijau, Ekowisata di Papua,
keunikan hewan endemik Papua dan perilaku wisatawan saat berkunjung ke Papua
yang menjaga kelestarian lingkungan.
Tak hanya itu, saya mendapat hampers berisi totebag,
notebook dan kopi Wamena.
Kalian tahu tidak dengan kopi Wamena? Kopi wamena tumbuh di
ketinggian 1600 dpl, bisa tumbuh subur tanpa menggunakan bubuk kimia atau kopi
organic. Proses penanaman kopi Wamena dengan menggunakan alat tradisional tanpa
alat modern. Rasanya pun berbeda dan digemari masyarakat. Di Papua, daerah
penghasil kopi terbaik adalah di Nabire dan Wamena.
Saya juga dapat resep untuk mengolah kopi tersebut. Saya
mencoba membuat Oatmeal Latte karena dasarnya saya memang suka susu dan
oatmeal. Jadi perpaduan ini cocok bagi kalian yang tidak begitu menyukai kopi
bercita rasa kopi kental tapi suka dengan susu dan oatmeal.
Yuk, dapatkan informasi sangat menarik mengenai Papua
melalui media sosialnya!
Instagram EcoNusa :
Youtube EcoNusa :
Website EcoNusa :
Facebook EcoNusa : https://www.facebook.com/econusa.id/