Hari Kelima UWRF (Selesai)

No Comments
Akhirnya ini adalah hari terakhir di Ubud, ada rasa senang dan haru karena sudah melewati lima hari yang menyenangkan di Ubud. Dan tentunya sedih karena saya belum memaksimalkan semua main session festival. 

Minggu, 27 Oktober 2019

Jalan-jalan mengelilingi Ubud

Setelah mengikuti rangkaian acara UWRF dari Perkenalan Hari Pertama yang Menyenangkan, Hari Kedua yang Mendebarkan, Pengen Salto di Hari Ketiga, hingga Mendapat Pengetahuan Baru di Keempat meski tidak full, saya menyempatkan diri jalan-jalan mengelilingi Ubud bersama keluarga saya. Awalnya kami mau mengunjungi Monkey Forest yang tidak jauh dari hotel kami, tapi setelah cek tiket harganya lumayan mahal yaitu 80rb rupiah per orang. Waduh, akhirnya kami ganti rencana lagi.

Saya meminta suami untuk memotret saya di depan Ubud Palace yang lokasinya berada di persimpangan jalan. Saya suka spot ini karena kelihatan banget ciri khas Bali. Berbeda sekali ketika berjalan di Jalan Suweta dan Jalan Monkey Forest yang terlihat seperti di luar negeri karena banyaknya butik, resto dan Cafe ala luar negeri.



Setelah itu, saya mengajak suami ke Desa adat Nya kuning karena saya tertarik dengan rumah Orang Bali. Meski sempat salah jalan (padahal sudah pakai Google map), akhirnya kami bertemu dengan desa adat itu. Lokasinya tidak besar hanya di sepanjang gang.

Gapura kecil sebagai penanda pintu masuk dengan pagar bata merah ditambah pohon Kamboja di pinggir jalan semakin memperkuat kesan Bali di gang itu. Saya pun menyempatkan diri berfoto di depan salah satu rumah Bali. Lagi-lagi, saya teringat materi kuliah saya dulu.




Setelah selesai, kami pun berjalan-jalan lagi, meski tak tujuan tapi suami mengikuti jalan di depan kami. Tak jauh dari Desa adat itu terdapat banyak resto dan Cafe. Beberapa bule duduk-duduk sambil menikmati sarapan di tempat makan tersebut.
Saat saya lihat google maps, ternyata di ujung jalan itu ada Monkey Forest! Sepertinya jalan buntu tapi suami mengikuti orang yang ada di depannya. Sampailah kami di hutan yang luas dimana banyak monyet - monyet duduk di pagar sambil melihat orang berlalu lalang. Ada yang sedang mencari kutu juga. wkwkwk.

Eh, kok ada yang naik motor menerobos di samping Monkey Forest. Suami pun mengikuti. Ternyata memang ada jalan tembusan menuju Jalan Monkey Forest yang biasa kami lewati. Sepanjang jalan itu banyak sekali monyet-monyet menampakkan diri. Tanpa harus bayar mahal, kami sudah melihat monyet-monyet itu. haha.

Setelah itu kami pergi ke Pasar Ubud, pengennya cari pie susu ternyata hanya satu penjual saja itupun nggak ditaruh dalam kotak duplex tapi hanya plastik biasa. Saya pun membelinya, harganya juga murah 1 bungkus 1000 rupiah.

Pasar Ubud (Dokumen Pribadi)


Kami pun memutuskan kembali ke hotel. Karena waktu dzuhur sudah masuk, saya sholat dulu sebelum saya pergi ke Festival hub. Ada dua sesi yang menarik buat saya hadiri setelah dzuhur yaitu Landfill Life dan story telling

Main Program : Landfill Life

Pada sesi Landfill, ceritanya sangat mengharukan buat saya. Bagaimana tidak, orang-orang yang tinggal dan bekerja di tempat penampungan akhir sampah mengalami penyakit yang cukup serius gara-gara memakan kangkung yang tumbuh dekat deket air leachate. Mbak Resa juga bercerita bahwa mereka biasa menemukan sisa ayam goreng yang kemudian mereka bawa pulang dan mereka goreng lagi (saya mendengarkan ceritanya dalam bahasa inggris dan semoga tidak salah interpretasi karena saya masih tak percaya saja). Pernah juga para pemulung ini mendapat jam merk terkenal di tempat sampah. Ia pun menjualnya kepada mbak Resa, pembicara Landfill Life ini, dengan harga 20.000 saja sedangkan kalau di toko harganya sudah hampir satu juta. Mereka juga pernah menemukan cincin emas yang juga dijual ke Mbak Resa. Lucu juga saat lagi acara itu Mbak Resa memakai aksesoris yang di dapat dari TPA.

Jangan bayangkan mereka yang hidup di sana itu penuh kepedihan dan kesedihan. ketika Mbak resa bertanya, "apakah kalian bahagia tinggal di tempat ini?" (lokasinya di Bantar Gobang). Mereka menjawab, "Iya, saya sangat bahagia karena kalau di Bantar Gobang saya bisa bekerja untuk menghidupi keluarga saya, kadang saya menemukan barang-barang di sampah yang bisa dijual dan bisa untuk menghidupi mereka. sedangkan di kampung saya, saya malah tidak bisa bekerja. buka warung saja tidak banyak yang beli."

Mbak Resa juga bertanya, "bagaimana jika kalian di relokasi ke apartemen atau ke tempat yang jauh lebih layak?"
Mereka menjawab, "Saya tidak masalah asalkan ada lapangan pekerjaan untuk saya." Mbak Resa juga mengemukakan pendapatnya, memang yang jadi masalah selama ini, relokasi permukiman hanya memberikan rumah di lokasi tertentu tanpa memikirkan pekerjaan yang bisa dijangkau oleh mereka. Jadi terkadang mereka menolak ada relokasi tersebut.

Mereka pun yang terbiasa berhadapan dengan tempat yang seperti itu (tahu kan bagaimana kondisi dan baunya), tubuh mereka sudah beradaptasi dengan hal-hal tersebut, jadi ketika mereka pergi ke tempat lain, yang mungkin lebih bersih, tubuh mereka juga akan beradaptasi. Entah tiba-tiba pusing atau pilek.

Sejenak di Sesi Story Telling

Saya tidak bisa mengikuti sesi story telling sampai selesai karena saya datang terlambat, kebetulan mau minta tanda tangan Faisal Oddang jadi saya hanya sebentar di sesi ini. apalagi anak-anak udah mulai membuat keramaian. Maka setelah bertemu dengan Faisal Oddang, saya pun segera ke Joglo untuk mengikuti sesi book launching antologi saya bersama penulis lainnya.

Sesi Launching Buku Antologi UWRF

Sesi ini akhirnya para penulis di buku antologi pun bertemu. Saya dan ketiga teman saya (sayangnya, Mas Heru sudah pulang duluan jadi tidak bisa mengikuti sesi ini) duduk di depan bersama Bu Janet dan membacakan sedikit bagian dari cerita kami. Setelah itu, kami berfoto-foto bersama. Saya pun menyempatkan untuk berfoto dengan Bu Leila S. Chudori, Valiant Budi, I Wayan Juniarta, para interpreter dan bersama teman-teman penulis lainnya.

Pamela Allen sedang memberikan sambutan (Credit : Vifick Bolang dan UWRF)

Saya membacakan bagian karya saya (Credit : Vifick Bolang dan UWRF)

Berfoto bersama para pe, nulis di buku antologi, founder (Janet Deneefe)juri (Leila S. Chudori, I Wayan Juniarta), Patron (Julia), Translator Buku (Pamela Allen), koordinator event, dkk (Credit : Vifick Bolang dan UWRF)


Ini menjadi pengalaman yang luar biasa buat saya. Saya bisa mengenal banyak penulis yang sudah jago dan saya bisa belajar dari mereka bahwa harusnya Hobi itu tidak dapat dikuasai oleh Mood. Sedikit motivasi dan dorongan yang diberikan oleh saya bahwa ada yang menunggu karya saya selanjutnya. Maka saya harus tetap menulis. Semoga ini menjadi amal jariyah saya. Aammiinn.

Malamnya, saya dan teman-teman mengikuti Closing Party sekaligus suami mengembalikan motor. Closing Party diadakan Di Blanco Museum. Saya kesana naik diantar suami naik motor, kemudian masuk tempat acara, dan suami pergi mengembalikan motor dan pulangnya jalan kaki sejauh 300 meter sambil gendong si adik. Lelaaahhh juga boowk. Dan saya menggendong anak saya yang pertama yang sudah mengantuk. Haha.

Di Closing Party diadakan pentas musik dari bermacam-macam negara. Sebenarnya cocok nih buat ajang berkenalan dengan penulis lain, namun kondisi saya yang sudah lelah dan anak yang sudah mengantuk, jadi saya tidak berlama-lama di Closing Party. Thanks semua pihak UWRF, Bu Janet, Pak Ijun, atas kebaikan kalian.


0 comments

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.

Follower