Setelah menulis cerita saya di FLP, NPWP dan MencobaMenulis, selama satu tahun ini saya masih belum bisa berlari mengejar
ketertinggalan saya dengan teman-teman FLP lain yang sudah banyak berkarya. Saya
cuma bisa jealous pengen bisa berkarya seperti teman-teman.
Salah satu keinginan saya tahun ini yang belum tercapai
adalah membuat novel. Bagi saya novel terasa cukup berat. Benar, seperti yang
diungkapkan oleh seseorang (maafkan, saya lupa siapa yang mengungkapkannya,
kalo ada yg ingat bisa komen di bawah ya) bahwa pekerjaan membuat novel adalah
pekerjaan kesetiaan. Setiap saya membuat 2 bab, saya jarang sekali menyelesaikan
bab-bab hingga selesai. Saya hitung-hitung ada 6 naskah novel yang belum rampung.
Bayangkan, 6 naskah! Meski saya lebih banyak menulis blog dan cerita anak, tahun
ini saya bertekad menyelesaikan salah satu dari enam naskah itu. Bismillah.
Sebenarnya, ketika ada lomba menulis novel, Gunung sudah 'menegur'
saya untuk segera menyelesaikan novel saya. Bagi saya itu adalah suntikan untuk
bisa menghasilkan novel seperti ketua FLP Malang itu. Beberapa kali juga saya meminta
saran dalam proses menyusun kerangka novel itu. Akan tetapi, H-30 lomba berakhir
saya masih berkutat pada outline. #ups
Begitu juga saat saya ingin mengikuti lomba cerita anak, Mas
Danang yang merupakan langganan ilustrator saya sering kali memberi dorongan
untuk mengikuti kompetisi-kompetisi cerita anak. Meski pernah kalah, pernah
juga tak sempat mengirim karena alasan teknis, dan alhamdulillah pernah menang
juga, saya tetap bersemangat menulis apalagi cerita anak.
Saya juga butuh orang-orang di sekeliling saya, yang
memiliki passion yang sama, agar bisa mendorong saya untuk menyelesaikan tulisan
saya. Menjadi bagian dari FLP ini adalah salah satu cara agar saya memiliki
teman yang memotivasi saya untuk berkarya. Itulah mengapa saya cinta FLP. Karena
dari situlah saya kenal orang-orang yang bisa mendukung saya.
Tak hanya itu, sebenarnya masih banyak alasan-alasan saya
mencintai FLP yang saya umpamakan dengan sesuatu yang ada di dunia ini.
Alasan #1 : FLP Seperti Matahari dan Bulan
Kita sudah tahu Matahari itu sifatnya menerangi bumi di
siang hari sedangkan Bulan menerangi bumi di malam hari. Filosofi yang sudah sekian
lama kita kenal itu menurut saya lebih cocok dianalogikan dengan Forum Lingkar
Pena, bukan seperti lilin kecil yang lama-kelamaan habis. Saya tak mau FLP
seperti lilin setelah menerangi sekitarnya ia habis.
Banyak karya yang dihasilkan penulis-penulis FLP yang mampu
memberi pencerahan bagi pembacanya. Sebut karya Bunda Asma Nadia, Bunda Helvy
Tiana Rosa, Kang Abik (Habiburahman El-Shirazy), Bunda Sinta Yudisia, Bunda
Afifah Afra, Pak Gola Gong, dan penulis-penulis lainnya. Dakwah bil-qolam
benar-benar terlihat dalam karya mereka.
Beberapa contoh, saya akhirnya tahu tentang kehidupan jaman
dulu termasuk sejarahnya saat saya membaca buku "De Winst" karya
bunda Afifah Afra, kehidupan anak muda di korea Selatan setelah membaca
"Polaris Fukuoka" karya bunda Sinta Yudisia, kritik sosial beberapa
cerita dari Pak Gola Gong, kehidupan rumah tangga dari buku-buku Bunda Asma
Nadia, dan cerita lainnya.
Saya dan Bunda Afifah Afra (Kanan) |
Karya-karya novel mereka yang menjadi rujukan saya saat akan
menulis novel. Selalu ada dakwah terselip dalam ceritanya. Dakwah yang tidak menggurui
tapi sangat menyatu dengan tulisan.
Alasan #2 : FLP Seperti Jembatan
Alasan kedua kenapa saya cinta FLP karena FLP itu seperti
jembatan yang mampu menghubungkan dua daerah dengan kemajuan yang berbeda. Satu
daerah maju sekali dan satu daerah masih kurang maju. Interaksi antara dua
daerah itu setidaknya mampu mengurangi ketimpangan suatu daerah. Daerah yang
kurang maju itu tentu akan mengalami transformasi sedikit demi sedikit karena
ada jembatan menuju ke daerah maju.
Begitu juga dengan FLP, ibarat saya adalah orang yang masih
kurang maju dalam hal dunia kepenulisan kemudian FLP mengadakan kelas menulis
online/offline, skenario, blog, bedah karya, atau bahkan bergabung dengan grup
khusus FLP yang tergabung dalam platform menulis seperti wattpad. Pengisi
materinya adalah anggota FLP madya atau maju yang sudah punya pengalaman dalam
dunia kepenulisan. Dengan begitu, ada ilmu yang diperoleh anggota FLP yang
belum maju seperti saya saat mengikuti kelas menulis atau bedah karya tersebut.
Seperti halnya saat saya terpilih dalam workshop kepenulisan
cerita anak Si Bintang (kerjasama FLP dan INOVASI) di Yogyakarta. Meski saya
tak menyangka terpilih, alhamdulillah saya mendapatkan banyak sekali ilmu-ilmu
baru yang saya dapatkan. Saya bertemu dengan Bunda Sinta Yudisia, Kang Ali Muakhir,
Pak Ganjar yang memberikan ilmu-ilmu kepenulisan agar saya tidak semakin
terbelakang, hehe.
FLP dan INOVASI juga telah menjadi jembatan untuk
mempertemukan saya dengan seorang penulis cerita anak sekaligus co-founder yayasan
Litara, Bu Sofie Dewayani. Dalam workshop tersebut saya juga belajar banyak
dengan beliau. Hanya saja memang seperti pisau yang harus sering diasah biar
tajam. Alias harus sering berlatih agar hasil workshop tersebut tidak sia-sia.
Menjembatani antara penulis senior dan penulis pemula itulah
yang menyebabkan saya cinta dengan FLP.
Alasan #3 : FLP Seperti Air Hujan
Seperti air hujan yang turun di saat musim kemarau. Tanah
kering berubah menjadi subur kembali saat air hujan meresap ke dalam lapisan
tanah. Begitu juga dengan FLP, program-program yang dijalankan bisa menjadi air
hujan yang memberi kesegaran terhadap keringnya ilmu kepenulisan. Bisa menambah
pengetahuan fiksi dan nonfiksi semakin subur.
Seperti yang saya lakukan pada workshop penulisan Si Bintang
yang sudah saya ceritakan. Kekeringan ilmu dalam menulis cerita anak semakin
segar ketika saya mengikuti workshop tersebut. Saya harapkan workshop-workshop
ini selalu dilaksanakan, hehe.
Selain memberi kesegaran dalam dunia tulis menulis, FLP seperti
air hujan yang turun dan memberi (yang insyaallah) manfaat dalam bentuk bantuan
kemanusiaan atas bencana alam yang terjadi di beberapa tempat seperti di Palu-Donggala,
gempa NTB, tsunami Banten, dan daerah lainnya.
Insyallah, menjadi ladang pahala
juga buat anggota FLP dan pengurus yang sudah memberikan bantuan bagi para
korban musibah bencana alam. Aamiin.
Alasan #4 : FLP Seperti Danau
Dimana berkumpulnya banyak air yang bermanfaat bagi
lingkungan sekitarnya. Air hujan yang turun pun berkumpul di bendungan. Sama
seperti penulis-penulis muslim dari seluruh dunia dikumpulkan dalam satu wadah
bernama FLP. Mereka berkumpul kemudian memberikan karyanya kepada dunia yang
bermanfaat. Inilah yang alasan saya cinta FLP. Saya bisa mengenal banyak
penulis dari berbagai daerah. Saya bisa menghubungi teman-teman untuk bertanya
tentang kepenulisan karena sudah berkumpul dalam satu wadah bernama Forum
Lingkar Pena. Maka tak sulit bagi saya menemukan orang yang memiliki visi dan misi
yang sama dalam bidang kepenulisan. Dakwah bil qolam.
Bertemu dengan Penulis FLP dari Beberapa Daerah |
Alasan #5 : FLP Seperti Sungai Yang Mengalir
Alasan terakhir mengapa saya cinta FLP karena FLP itu ibarat
sungai yang terus mengalir tanpa henti dan memberi kemanfaatan bagi manusia. Sungai
tenang maupun deras, ia terus mengalir dari hulu ke hilir. Sama seperti pahala yang
terus mengalir kalau kita ikhlas saat menulis dan berorganisasi.
Seperti yang diungkapkan bunda Afifah Afra dalam media
Republika Dialog, Jumat 13 maret 2019 yang berjudul Membawa Royalti Sampai Ke Alam
Kubur, "Menulis bukan sekadar uang tetapi menebarkan ilmu yang bermanfaat.
Jika ikhlas, pahala akan terus didapat. Meski kita sudah tiada."
Pesan bunda Afifah Afra itu benar-benar mengetuk hati dan
mendorong semangat saya untuk terus menulis. Bukan untuk uang tapi untuk memberi
dakwah dalam pena. Berat tapi memang itulah tugas seorang muslim. Dakwah bil
Qolam ini akan terus terngiang di kepala saya. Setiap saya akan memulai sebuah
tulisan baik cerita, saya harus mengingat seberapa besar manfaat yang diperoleh
pembaca saya. Saya tidak ingin tidak ada pesan sedikit pun dalam tulisan saya.
Saya pun mengusahakan ada pesan-pesan yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan
Sunnah dalam tulisan saya. Saya tidak mau di akhirat nanti, tulisan saya
hanyalah sebuah kesia-siaan belaka karena tak ada memberi manfaat sedikitpun
pada pembacanya.
Tak hanya dari tulisan, tapi juga menjadi anggota FLP bisa
menjadi ladang pahala saat kita ikhlas menjalankan organisasi penulis yang
berbasis dakwah bil qolam ini. Bagi sebagian orang, mengurus organisasi di saat
sudah ada pekerjaan yang lebih menjanjikan itu seperti membuang waktu, tenaga dan
pikiran. Padahal jika kita ikhlas insyallah pahala juga mengalir seperti
sungai. Menurut saya, membantu mengurus organisasi dengan keikhlasan sama
seperti memberi kemanfaatan bagi khalayak.
Alasan-alasan itulah yang membuat saya cinta FLP. Selain bisa
mengikat keinginan saya untuk terus berkarya dalam tulisan, juga mendapat ilmu
dari penulis senior dan mendapat pahala karena (insyallah) menebarkan manfaat
saat berorganisasi.
Saya memang ibu rumah tangga, tapi saya juga punya harapan untuk
bisa berkarya meski lewat tulisan. Saya merasa sangat bersyukur sekali bisa
bergabung dengan FLP. Karena dari situlah, portofolio literasi saya terisi. Tak
sekedar portofolio, saya berharap ada pahala dari karya yang sudah saya
hasilkan, ilmu yang bermanfaat itulah yang bisa menjadi penolong saya ketika
saya tiada kelak.
Terima kasih FLP. Yaumul Milad. Harapan saya, semoga menjadi lebih baik dan penulis-penulis FLP semakin banyak melahirkan karya-karya yang sesuai visi misi FLP yang berdakwah lewat pena. Ammiinn.
Tulisan ini dibuat dalam rangka lomba blog dari blogger FLP pada
rangkaian Milad FLP 22.
0 comments
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.