"Kamu ikut tidak ke ruang bawah tanah?" ajak seorang teman saat kami berkunjung ke sebuah warisan cagar budaya di tengah Kota Semarang.
Bangunannya yang besar dan dikenal sebagai tempat pembantaian pada jaman kependudukan Jepang itu cukup membuat saya agak merinding saat teman menawarkan masuk ke terowongan bawah tanah yang dulunya digunakan sebagai tempat pembantaian pribumi dan orang Belanda.
|
Lawang Sewu (Sumber : IDN Times) |
Kesan Melihat Lawang Sewu
Entah mengapa kesan yang terlihat dari bangunan tua itu adalah menyeramkan padahal kemegahannya cukup membuat siapa pun berdecak kagum saat melihat bangunan itu. Mungkin karena sudah terlanjur banyak cerita 'menarik' saat pengunjung datang ke bangunan dengan pintu yang konon katanya mencapai seribu itu - hingga disebut sebagai Lawang Sewu atau pintu seribu-. Mungkin juga karena pengalaman orang yang melihat penampakan dipertontonkan pada salah satu acara stasiun televisi.
|
Lawang Sewu (heritage.kai.id) |
Dari atas, saya melihat terowongan yang gelap melalui pintu masuk yang turun ke bawah. Sambil menelan ludah, saya membayangkan apa yang di dalam. Antara percaya dan tidak percaya akan cerita-cerita tersebut, saya pun menerima tawaran teman saya.
Setelah membayar tiket masuk ke ruang bawah tanah - Saya lupa harganya berapa. Sepertinya antara 10.000 hingga 25.000 -, kami pun memakai sepatu boot dan membawa senter.
Seorang pemandu berjalan di depan kami dan mempersilakan kami masuk ke dalam terowongan. Gemericik air sudah terdengar saat saya menuruni tangga. Mata saya mulai beradaptasi dengan terowongan gelap yang hanya disinari senter. Bau pengap cukup menyesakkan dada.
Pemandu sudah memperingatkan kami dengan jalan yang licin sehingga kami perlu berhati-hati. Pemandu bercerita tentang sejarah terowongan bawah tanah dulu.
Yang masih saya ingat apa yang diceritakan oleh pemandu itu adalah bahwa pada jaman pendudukan Belanda, terowongan tersebut untuk tempat saluran air. Apalagi Semarang kan rawan banjir rob sejak jaman dulu jadi memang diperuntukkan untuk itu. Dan Lawang Sewu memang digunakan untuk kantor perkeretaapian.
Kemudian saat Jepang datang, terowongan bawah tanah ini digunakan sebagai tempat penjara untuk para pribumi dan orang Belanda. Mereka dibiarkan berdiri di penjara berdiri berdesak-desakan sampai tidak bisa bergerak dan ditutup teralis. Bahkan dengan kondisi banyak air. Pemandu menunjukkan sebuah penjara berdiri yang ukurannya hanya sekitar 1 X 2 meter. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya para terhukum di ruangan menyesakkan itu.
Terowongan itu sepanjang hampir satu kilometer membuat saya hampir menyerah di tengah-tengah perjalanan. Entah kenapa saya merasa ingin menangis. Rasa sesak yang saya rasakan membuat saya ingin kembali ke pintu masuk. Namun, itu tidak mungkin. Jadi saya terus bertanya kepada pemandu kapan sampai. Saya tak sabar ingin segera mengakhiri perjalanan terowongan yang hanya berisi pipa, air, tembok, dan penjara.
Akhirnya, tiba juga saya dan teman saya di ujung terowongan itu. Saya dan teman-teman lega sekali karena sudah sampai. Setelah mengucapkan terima kasih dan melepas boot, kami pun berkeliling dan berfoto-foto di Lawang sewu.
Saya sangat terkesan dengan bangunan peninggalan Belanda yang didesain dengan sangat komprehensif. Mulai dari ketinggian bangunan (jarak antara lantai dan atap) sehingga membuat sirkulasi udara yang membuat tidak terlalu panas meski berada di daerah tropis. Jendela dan pintu dibuat tinggi.
Di jaman itu, bahan-bahan untuk membangun Lawang Sewu pada bangunan pertama menggunakan bahan yang diimpor dari Belanda. Kemudian bangunan selanjutnya menggunakan bahan lokal karena kesulitan mengimpor bahan dari Belanda.
Bangunan ini katanya juga tidak menggunakan semen, tapi adonan bligor (campuran pasir, kapur, dan batu bata merah). Katanya bligor ini membuat bangunan tidak mengalami retak, lebih awet dan mudah menyerap air sehingga ruangan terasa sejuk. Konstruksi pada atap juga tanpa besi sehingga beban tidak terlalu berat.
Belum lagi di ruang utama ada kaca patri setinggi dua meter dengan simbol kota dagang Belanda, gambar Ratu Belanda, Dewi Fortuna, Dewi Sri, Tanaman dan hewan yang merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia. Bayangkan, betapa mahalnya biaya pembangunan Lawang Sewu pada jaman itu.
Fungsi bangunan Lawang Sewu berubah dari waktu ke waktu. Pertama, digunakan untuk kantor NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij) atau kantor administrasi perkeretaapian. Kedua, saat pendudukan Jepang, Lawang sewu digunakan untuk kantor militer Jepang. Ketiga, setelah kemerdekaan, gedung ini digunakan untuk kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Keempat, gedung Ini dijadikan Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro). Kelima, gedung ini digunakan untuk Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah sampai 1994.
Setelah itu, gedungnya tidak digunakan sampai sekarang. Waktu saya kuliah di Semarang, saya mendengar isu kalau gedung ini mau digunakan untuk hotel. Namun, rupanya rencana itu tidak berhasil.
Sampai saat ini, setidaknya ketika saya melanjutkan kuliah S2 di Undip tahun 2011, Lawang Sewu masih dimanfaatkan untuk pariwisata saja. Belum dimanfaatkan untuk bisnis.
Tidak hanya pada bangunan Lawang Sewu saja, bangunan bersejarah lain di Semarang atau pun di kota-kota lainnya juga mengalami permasalahan yang serupa. Belum banyak bangunan cagar budaya itu dimanfaatkan dengan baik.
Banyak faktor penghambat dalam pengelolaan bangunan cagar budaya baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri seperti:
- biaya yang besar dalam merawat dan melestarikan bangunan. Memang sebagian besar dilema akan kehadiran bangunan cagar budaya Indonesia. Bahan-bahan berkualitas yang digunakan sejak membangun bangunan itu membuat perawatannya juga membutuhkan biaya yang cukup besar pula.
- kurangnya kesadaran dari berbagai pihak untuk melindungi dan melestarikan bangunan cagar budaya.
- masih banyak yang menganggap bahwa bangunan cagar budaya itu kurang menguntungkan dari segi bisnis.
- pajak yang besar jika ingin mengelola bangunan cagar budaya.
Padahal bangunan bersejarah itu bisa menjadi tempat wisata yang mengasyikkan dan instagramable. Coba perhatikan foto-foto bangunan tua yang ada di luar negeri, bangunan-bangunanya itu menjadi ikon kota mereka. Sama seperti Lawang Sewu yang menjadi ikon kota semarang.
Tidak hanya untuk berfoto, bangunan tua Lawang Sewu sebagai bukti bahwa dulu pernah terdapat perjuangan yang besar untuk merebut kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Harusnya kita cukup berbangga hati karena memiliki bangunan kokoh peninggalan jaman Belanda diantara bangunan - bangunan tua yang sudah hancur termakan usia.
Bagaimana kalau sampai Lawang Sewu ini tidak terawat dan hancur musnah serta tidak dibangun lagi. Pasti banyak yang bersedih hati karena merasa kehilangan Ikon utama kota Semarang yang fenomena itu. Makanya Lawang Sewu ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh pemerintah.
Alasan Lawang Sewu ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya adalah:
1. Usianya sudah 1 abad lebih. Sedangkan menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kriteria bangunan cagar budaya adalah usianya lebih dari 50 tahun.
2. Menyimpan nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa bangunan tersebut sebagai saksi sejarah dalam perebutan kekuasaan dan saksi pembantaian para pejuang bangsa Indonesia.
Jika bangunan cagar budaya tersebut musnah atau kehilangan sebagian besar unsur atau kehilangan bentuk dan wujud aslinya, maka bangunan itu tidak lagi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Makanya sebagai masyarakat yang ikut menikmati kehadiran bangunan bersejarah itu harusnya ikut serta menjadi bagian dalam pelestarian bangunan bersejarah Lawang Sewu.
Masyarakat yang dimaksud tidak hanya sebagai pengunjung bangunan bersejarah tapi juga pemilik bangunan bersejarah dimanapun berada.
Saya memberikan beberapa pandangan bagi masyarakat untuk upaya pelestarian cagar budaya. Tidak hanya Lawang Sewu saja tetapi juga untuk cagar budaya secara umum.
Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah
Upaya - Upaya pelestarian bangunan bersejarah atau cagar budaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah :
1. Menjadi bagian dari komunitas masyarakat peduli sejarah. Sudah banyak komunitas yang cinta sejarah yang sangat peduli dengan segala hal yang terkait dengan sejarah maupun bangunan bersejarah. Adanya komunitas ini menjadi bentuk kepedulian masyarakat terhadap bangunan bersejarah sekaligus sebagai kontrol terhadap kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat umum baik pemilik maupun pengunjung.
2. Melakukan kampanye peduli bangunan bersejarah. Kampanye ini bisa dilakukan oleh komunitas peduli bangunan bersejarah maupun dari masyarakat umum. Di era teknologi ini media sosial adalah media yang tepat untuk kampanye peduli bangunan bersejarah.
3. Memberi fungsi yang baru atau memanfaatkan bangunan bersejarah dengan aktivitas sosial budaya dan pariwisata. Agar tidak terlihat mati tanpa aktivitas, maka masyarakat bisa memanfaatkan bangunan cagar budaya Lawang Sewu maupun bangunan bersejarah lainnya untuk melaksanakan kegiatan festival budaya, literasi atau pameran. Asalkan saat penambahan fasilitas tidak menyalahi aturan konservasi dan tidak merusak unsur bangunannya. Dengan adanya revitalisasi bangunan bersejarah maka diharapkan bangunan akan terus hidup. Tentunya dengan diselenggarakannya festival di bangunan bersejarah bisa membantu perekonomian masyarakat maupun untuk membantu pemasukan pemerintah untuk melestarikan bangunan tersebut.
4. Memanfaatkan untuk pengembangan aspek ekonomi atau sebagai lahan bisnis. Di beberapa tempat, bangunan bersejarah sudah dimanfaatkan untuk lahan bisnis, seperti hotel, Cafe maupun restoran. Masyarakat umum yang memang seorang pebisnis bisa memanfaatkan bangunan cagar budaya ini untuk usaha mereka. Apalagi jika ditambah spot - spot untuk berfoto dimana hal tersebut bisa menjadi daya tarik pengunjung.
5. Mengikuti festival budaya atau pameran yang ada di bangunan cagar budaya. Dengan mengikuti festival atau acara yang dilakukan di area bangunan bersejarah maka secara tidak langsung kita menghidupkan suasana bangunan bersejarah tersebut agar tidak terlihat mati. Selain itu, pemasukan dari festival itu bisa menyokong untuk upaya pelestarian cagar budaya.
6. Menjaga kebersihan lingkungan. Upaya ini adalah upaya yang tidak sulit untuk dilakukan. Jangan membuang sampah atau mengotori bangunan bersejarah yang dikunjungi. Tanpa mengotorinya maka kita sudah berkontribusi dalam merawat bangunan bersejarah tersebut agar bertahan lebih lama.
7. Tidak merusak bagian dari bangunan cagar budaya. Kita tahu sendiri merestorasi bangunan bersejarah itu memerlukan biaya yang cukup besar. Jika masyarakat tidak peduli dan suka merusak bagian bangunan cagar budaya, itu sama saja membiarkan bangunan cagar budaya musnah sedikit demi sedikit. Tidak ada lagi ikon kebanggaan kota.
8. Tidak mencuri barang-barang peninggalan cagar budaya. Mungkin kita tidak mungkin melakukan itu, tapi ada saja loh yang berniat mencuri barang-barang bersejarah itu untuk dijual demi mendapatkan uang lebih. Bahkan di Lawang Sewu ada bagian dari bangunan yang dicuri. Apakah kalian bangga memiliki salah satu unsur bangunan bersejarah yang ternyata dilarang oleh pemerintah? Pencuri itu harusnya mendapat hukuman sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2011.
9. Tidak melakukan vandalisme. Meski saya yakin, pembaca blog saya adalah pengunjung bangunan cagar budaya yang taat peraturan. Namun, saya sangat mengutuk siapa pun yang melakukan aksi vandalisme. Tahukah bahwa vandalisme Itu mengakibatkan kerusakan unsur-unsur bangunan cagar budaya. Bagaimana jika rumah kalian rusak karena perbuatan vandalisme yang orang lain lakukan? Pasti marah, kan? Sama lah seperti bangunan cagar budaya.
10. Mematuhi peraturan saat berkunjung ke tempat cagar budaya. Setiap bangunan cagar budaya akan berbeda-beda peraturannya. Maka usahakan membaca peraturan sebelum atau saat mengunjungi bangunan cagar budaya. Biasanya akan ada larangan memegang benda-benda bersejarah yang dipamerkan karena sentuhan tangan pengunjung bisa menimbulkan kerusakan pada lapisan benda bersejarah tersebut.
Jadi, jangan pernah menyepelekan segala aturan yang ditetapkan dalam bangunan cagar budaya karena semua sudah ada alasannya. Pastinya merawat bangunan tua itu tidak mudah dan membutuhkan biaya yang besar. Kita sebagai masyarakat harus menjaga, melindungi, merawat dan melestarikan bangunan bersejarah di tempat kita masing-masing. Caranya gampang sekali, kan?
Terus manfaatnya apa melestarikan bangunan bersejarah?
Pertama, bisa menambah lapangan pekerjaan. Bangunan bersejarah yang dimanfaatkan untuk pariwisata tentu akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Tentu saja itu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Para pemandu, penjual kerajinan tangan, souvenir, penjual makanan, tukang parkir, dan lain-lain. Kalian mau kan membantu masyarakat lain agar keadaan ekonomi meningkat?
Kedua, mengurangi beban anggaran pemerintah. Jelas, jika masyarakat banyak yang berkunjung ke tempat wisata bangunan bersejarah akan mengurangi beban anggaran pemerintah untuk melestarikan bangunan tersebut karena adanya tiket masuk. Asalkan tidak merusak ya.
Ketiga, menciptakan sarana - sarana baru. Lawang Sewu sebagai ikon kota semarang sangat menarik wisatawan yang datang ke Semarang. Dengan begitu, fasilitas rumah makan, perdagangan dan penginapan akan berkembang juga. Coba kalau tidak ada Lawang Sewu, pasti Semarang jadi sepi. Makanya kita sebagai masyarakat harus melestarikan bangunan cagar budaya.
Ternyata betapa besar ya manfaat yang diberikan kalau kita sebagai masyarakat melestarikan bangunan bersejarah atau bangunan
cagar budaya Indonesia. Semua yang kita lakukan ternyata berdampak juga secara langsung maupun tidak langsung untuk kita. Sesuai lah jika saya menyebutnya :
Pelestarian Cagar Budaya itu Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Kita.
Selamat menjaga, melindungi, dan merawat cagar budaya Indonesia.
Ayo, teman-teman ikut partisipasi lomba Blog "Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah!"
REFERENSI :
BBC. 2015. Mengapa sulit melindungi bangunan cagar budaya di Semarang? http.s://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150805_majalah_cagarbudaya_semarang
Galikano, Silvia. 2015. Menyingkap Kecerdasan Arsitektur Lawang Sewu. https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151119195551-269-92834/menyingkap-kecerdasan-arsitektur-lawang-sewu
Minarti, Ria Ari & Sumiyatun. 2016. PERAN DINAS PARIWISATA KOTA SEMARANG DALAM UPAYA MELESTARIKAN GEDUNG LAWANG SEWU SEBAGAI OBJEK WISATA PENINGGALAN BELANDA DI KOTA SEMARANG JAWA TENGAH TAHUN 2011 – 2014. Jurnal HISTORIA Volume 4, Nomor 1, Tahun 2016, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728).
Zulfikar, M. 2013. Dedy Gumelar: Pelestarian Cagar Budaya Banyak Manfaatnya. https://m.tribunnews.com/nasional/2013/06/14/dedy-gumelar-pelestarian-cagar-budaya-banyak-manfaatnya