Ini bukan iklan yang di-endorse kantor pajak loh ya!
Suatu saat pernah terbersit dalam hati untuk membuat kartu NPWP. Aku nggak begitu ingat apa sebabnya tiba-tiba ingin mengurus NPWP. Ketika berhadapan dengan petugas di kantor pajak Balikpapan, petugas itu bertanya padaku,
“Pekerjaannya apa, Mbak?”
Setelah lulus kuliah S2, aku memang belum terikat dengan instansi tertentu. Aku sempat terdiam saat ditanyakan pekerjaan, pada akhirnya kujawab asal dan berusaha yakin, “Penulis, Mbak.”
Aku sempat terbengong-bengong juga dengan jawaban yang baru keluar dari mulutku. Seolah ada yang mengejekku dan mengatakan, “Hah? Yakin lo mau jadi penulis?!” aku tertawa dalam hati.
Mbak tadi hanya mengerutkan kening. Dua alisnya yang tebal sudah hampir menyatu setelah mendengar jawabanku. Mungkin dia heran. Aku masih nggak menyangka dengan jawabanku, kenapa pula aku jawab begitu?
“Memang perlu, ya?” Begitu tanyanya.
Hah, penulis tidak perlu NPWP ya ternyata? Saat itu aku tidak begitu paham mengenai pajak yang harus dibayarkan penulis jika dia berkarya. Jadi kujawab saja, “Kalau tulisan dimuat di koran biasanya dipotong pajak, Mbak, dan diminta NPWP.” Aku bisa menjawab begitu karena beberapa hari sebelumnya aku membaca artikel di internet mengenai honor yang diterima penulis setelah dipotong pajak.
Ia pun menuruti apa yang kukatakan kemudian menyuruhku menunggu untuk pendataan yang sudah kutulis di formulir pendaftaran.
Entahlah apa karena ucapanku yang tidak terencana itu menjadi sebuah takdir untuk menjadi penulis?
Setelah pembuatan NPWP itu, tulisan opiniku dimuat di koran Jawa Pos! Padahal aku sama sekali tidak kepikiran bisa diterima. Hanya karena rasa gregetan melihat berita-berita di televisi membuatku berani menuliskan kritik di koran.
Akhirnya NPWP ku pun digunakan. Honor pun diterima.
Setelah itu, kartu NPWP ku benar-benar menganggur walaupun aku sudah diterima bekerja di salah satu konsultan perencanaan kota di Semarang. Ternyata NPWP nggak digunakan karena jumlah gaji yang nggak diwajibkan bayar pajak.
Aku mencari-cari pelatihan atau workshop di internet tapi nggak ada yang menarik perhatianku. Dalam penelusuranku di google, aku tertarik masuk ke sebuah website yang sedikit menyinggung FLP. Terakhir kudengar kabarnya saat SMA, tujuh tahun lalu, ketika membaca novel-novel Helvy Tiana Rosa dan anggota FLP lainnya yang terpajang cantik di rak bukuku.
Akhirnya aku mencari tahu tentang kondisi FLP saat ini. Tiba-tiba aku merasa antusias saat tahu bahwa FLP masih aktif.
Wah, kenapa aku tidak coba menjadi anggota saja? Kayaknya seru deh! Siapa tahu bisa kaya Bunda Helvy, jadi penulis terkenal.
Hadeh, ekspektasiku terlalu berlebihan!
Awalnya karena suami kerja di Surabaya mencari-cari informasi rekruitmen anggota di FLP Surabaya lewat internet tapi tidak ketemu. Malah ketemu informasi rekruitmen anggota FLP di Malang. Kemudian aku pun mendaftarkan diri mengikuti rekruitmen anggota di Malang. Mengingat rumah mertua ada di Malang dan masih sering ke Malang Surabaya.
Ternyata setelah menjadi anggota organisasi kepenulisan, tidak semudah yang dibayangkan. Aku belum pernah menulis fiksi sama sekali. Eh, pernah sih satu kali saat masih SD. Ditulis di buku dan yang jelas alay sekali lah pokoknya.
Saat bedah karya menulis fiksi pertama pun, kritik pedas pun mengalir dari para senior-senior. Wajarlah karena aku memang nggak punya pengalaman menulis fiksi. Nggak ada rumus pasti dalam menulis fiksi, semua tergantung selera.
Kuakui selama kuliah, aku sudah sangat jarang baca novel. Apalagi bacaan-bacaan senior memang bacaan sastra-sastra terkenal. Tentu saja itu mempengaruhi keterampilan menulisku. Sejak saat itu, aku sering meminjam buku di perpus kota dan terus melatih menulis fiksi walaupun masih sangat sulit.
Saat coba ikutan workshop yang diadain koran Kompas di Universitas Negeri Malang malah diterima. Padahal untuk mengikuti workshop itu harus diseleksi dulu dengan mengirimkan karya tulisan fiksi. Soalnya yang mengisi materi langsung dari pakar sastra, Agus Noer dan Putu Arcana.
Sampai akhirnya, FLP Malang mengadakan sharing menulis blog yang diadain di sekretariat FLP Malang. Yang ikut pun anggota-anggota FLP Malang. Dan aku pun baru tahu sekarang, sharing menulis blog kalau diluar sana sudah bayar mahal. Sedangkan di FLP bisa gratis!
Semenjak itu, aku jadi rajin nge-blog dibanding sebelum-sebelumnya. Dulu mah 1 tahun paling nge-blog tiga kali. Sekarang sudah lebih dari itu.
Sharing menulis blog yang diajarkan nggak hanya membuat blogger-nya rajin nulis tapi bagaimana mengoptimasi blog dengan memanfaatkan deskripsi penelusuran, label, backlink, dan semua yang ada di blog agar bisa terindeks di google bahkan bisa masuk pageone. Walaupun blog-ku belum pernah masuk pageone, hehe.
Aku menerapkan apa yang telah diajarkan ketika mengikuti lomba-lomba menulis fiksi ataupun kirim ke koran. Walaupun banyak yang tidak masuk juga, hehe.
Sampai suatu ketika, kisahku terpilih dalam antologi Jodoh Pasti Bertamu dari Indiva Media Kreasi, rasanya senang minta ampun! Walaupun bukan menulis fiksi karena menulis kisah nyata, aku merasa tidak ada yang sia-sia dengan bedah karya fiksi yang selama ini dilakukan.
Setelah dua tahun NPWP ku menganggur, akhirnya terpakai lagi! Yeay! (Heh, seneng banget sih bayar pajak!). Bukan begitu, kalau NPWP terpakai, itu artinya aku dapat hadiah lagi! Berkarya lagi! saat itu, aku menang lomba menulis blog Inovasi Daerahku dari Good News From Indonesia.
Kalau ini memang bukan fiksi tapi lebih ke artikel ilmiah populer dan tentunya beberapa ilmu-ilmu saat sharing menulis blog kuterapkan dalam menulis blog. Blog ini waktu aku menang lomba Inovasi Daerahku.
Itupun baru sharing yang gratisan. Terakhir, aku mengikuti kelas content writer tapi berbayar. Hanya untuk anggota FLP dengan biaya yang sangat murah (ehm, jadi inget tugas terakhir belum kubuat *maaf guru!). Itulah kelebihan FLP! Bisa mengikuti pelatihan dengan biaya yang murah apalagi banyak senior-senior yang memang ahli dalam bidangnya.
Setahun kemudian, tahun 2017, NPWP-ku terpakai lagi! Alhamdulillah bayar pajak lagi donk ke negara, haha! Ya nggak apa-apa sih. Itu menunjukkan ada karya yang dihasilkan. Tahun itu, naskahku terpilih dalam sayembara penulisan bahan bacaan untuk anak SD yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Judul naskahku waktu itu adalah Sahabat Kecil dari Pulau Cincin Api, isinya bisa dibaca di link ini.
Nah, ini aku merasa ada kemajuan dalam menulis fiksi walaupun nggak seperti sastrawan kalau menulis cerita. Aku membuatnya dengan bahasa yang sangat sederhana karena memang diperuntukkan untuk anak SD.
Baca juga : Ceritaku di Gerakan Literasi Nasional 2017
Di tahun 2018? Insyallah, NPWP ku bakal terpakai lagiii, yeay!
Dari sekitar 115 penulis yang naskahnya lolos sayembara tahun lalu, kemudian dipilih lagi sekitar 49 penulis ditawarkan untuk menulis bahan bacaan untuk anak SD, SMP dan SMA. Alhamdulillah aku termasuk dari 49 penulis itu. Sekarang masih tahap menulis itu dan semoga segera selesai. Ammiinn. Sedangkan penyebaran bukunya ke sekolah-sekolah tergantung dari kebijakan Dikdasmen.
Setelah itu, aku jadi tahu kalau setidaknya penulis nggak hanya jago menulis tapi juga mempromosikan buku yang kita tulis.
Aku pernah mengalami writer’s block saat menulis buku untuk sayembara, akhirnya aku membahas dengan teman FLP yang juga menjadi ilustrator buku, Mas Danang. Hal itu sangat membantu untuk mengatasi writer’s block. Bertemu dengan teman akan sangat membantu dalam mengurangi benang kusut di otak kita.
Selain itu, kita akan termotivasi untuk terus menulis. Ketika kamu melihat teman sudah selesai menulis buku dan akan terbit tentu ada rasa ingin mengikuti jejak mereka.
Betapa bersyukurnya aku termasuk dalam organisasi kepenulisan. Apa yang menjadi kebahagiaanku adalah aku masih bisa berkarya dengan menulis tanpa harus meninggalkan anak-anak.
Bahkan setelah tergabung dengan grup FLP, aku pun jadi tahu bahwa FLP nggak hanya sebagai wadah kepenulisan tapi juga perjodohan. Bahkan FLP sempat diplesetkan menjadi Forum Lingkar Perjodohan. Hehe. Banyak pasangan yang akhirnya menikah dengan sesama anggota FLP.
Bertemu dengan penulis terkenal, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gol A Gong, juga memberiku ilmu-ilmu baru mengenai kepenulisan.
Sampai sejauh ini, aku sering berpikir, apakah ucapan yang nggak sengaja di kantor pajak dulu memang akan menjadi sebuah doa? Apakah Allah memang memberiku jalan untuk jadi penulis? Itu adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Tulisan ini kupersembahkan untuk FLP yang akan berulang tahun tanggal 25 Februari nanti. Semoga FLP bisa menjadi wadah mewujudkan impian anggota-anggotanya untuk menjadi penulis yang memang berdakwah bil qolam. Aamiinn.
Dan kamu, ingin bergabung di FLP?
Suatu saat pernah terbersit dalam hati untuk membuat kartu NPWP. Aku nggak begitu ingat apa sebabnya tiba-tiba ingin mengurus NPWP. Ketika berhadapan dengan petugas di kantor pajak Balikpapan, petugas itu bertanya padaku,
“Pekerjaannya apa, Mbak?”
Setelah lulus kuliah S2, aku memang belum terikat dengan instansi tertentu. Aku sempat terdiam saat ditanyakan pekerjaan, pada akhirnya kujawab asal dan berusaha yakin, “Penulis, Mbak.”
Aku sempat terbengong-bengong juga dengan jawaban yang baru keluar dari mulutku. Seolah ada yang mengejekku dan mengatakan, “Hah? Yakin lo mau jadi penulis?!” aku tertawa dalam hati.
Mbak tadi hanya mengerutkan kening. Dua alisnya yang tebal sudah hampir menyatu setelah mendengar jawabanku. Mungkin dia heran. Aku masih nggak menyangka dengan jawabanku, kenapa pula aku jawab begitu?
“Memang perlu, ya?” Begitu tanyanya.
Hah, penulis tidak perlu NPWP ya ternyata? Saat itu aku tidak begitu paham mengenai pajak yang harus dibayarkan penulis jika dia berkarya. Jadi kujawab saja, “Kalau tulisan dimuat di koran biasanya dipotong pajak, Mbak, dan diminta NPWP.” Aku bisa menjawab begitu karena beberapa hari sebelumnya aku membaca artikel di internet mengenai honor yang diterima penulis setelah dipotong pajak.
Ia pun menuruti apa yang kukatakan kemudian menyuruhku menunggu untuk pendataan yang sudah kutulis di formulir pendaftaran.
Entahlah apa karena ucapanku yang tidak terencana itu menjadi sebuah takdir untuk menjadi penulis?
Setelah pembuatan NPWP itu, tulisan opiniku dimuat di koran Jawa Pos! Padahal aku sama sekali tidak kepikiran bisa diterima. Hanya karena rasa gregetan melihat berita-berita di televisi membuatku berani menuliskan kritik di koran.
Akhirnya NPWP ku pun digunakan. Honor pun diterima.
Setelah itu, kartu NPWP ku benar-benar menganggur walaupun aku sudah diterima bekerja di salah satu konsultan perencanaan kota di Semarang. Ternyata NPWP nggak digunakan karena jumlah gaji yang nggak diwajibkan bayar pajak.
Bergabung dengan FLP
Setelah resign dari perusahaan itu dan menikah, aku nggak bekerja lagi. Hari-hari tanpa aktivitas itu sangat membosankan buatku.Aku mencari-cari pelatihan atau workshop di internet tapi nggak ada yang menarik perhatianku. Dalam penelusuranku di google, aku tertarik masuk ke sebuah website yang sedikit menyinggung FLP. Terakhir kudengar kabarnya saat SMA, tujuh tahun lalu, ketika membaca novel-novel Helvy Tiana Rosa dan anggota FLP lainnya yang terpajang cantik di rak bukuku.
Akhirnya aku mencari tahu tentang kondisi FLP saat ini. Tiba-tiba aku merasa antusias saat tahu bahwa FLP masih aktif.
Wah, kenapa aku tidak coba menjadi anggota saja? Kayaknya seru deh! Siapa tahu bisa kaya Bunda Helvy, jadi penulis terkenal.
Hadeh, ekspektasiku terlalu berlebihan!
Awalnya karena suami kerja di Surabaya mencari-cari informasi rekruitmen anggota di FLP Surabaya lewat internet tapi tidak ketemu. Malah ketemu informasi rekruitmen anggota FLP di Malang. Kemudian aku pun mendaftarkan diri mengikuti rekruitmen anggota di Malang. Mengingat rumah mertua ada di Malang dan masih sering ke Malang Surabaya.
Ternyata setelah menjadi anggota organisasi kepenulisan, tidak semudah yang dibayangkan. Aku belum pernah menulis fiksi sama sekali. Eh, pernah sih satu kali saat masih SD. Ditulis di buku dan yang jelas alay sekali lah pokoknya.
Saat bedah karya menulis fiksi pertama pun, kritik pedas pun mengalir dari para senior-senior. Wajarlah karena aku memang nggak punya pengalaman menulis fiksi. Nggak ada rumus pasti dalam menulis fiksi, semua tergantung selera.
Bedah Karya |
Kuakui selama kuliah, aku sudah sangat jarang baca novel. Apalagi bacaan-bacaan senior memang bacaan sastra-sastra terkenal. Tentu saja itu mempengaruhi keterampilan menulisku. Sejak saat itu, aku sering meminjam buku di perpus kota dan terus melatih menulis fiksi walaupun masih sangat sulit.
Saat coba ikutan workshop yang diadain koran Kompas di Universitas Negeri Malang malah diterima. Padahal untuk mengikuti workshop itu harus diseleksi dulu dengan mengirimkan karya tulisan fiksi. Soalnya yang mengisi materi langsung dari pakar sastra, Agus Noer dan Putu Arcana.
Menghidupkan blog
Menurutku lebih gampang menulis blog daripada menulis fiksi. Ya iyalah! Blog ku yang sudah lama mati pun akhirnya kuaktifkan kembali dengan menulis apapun yang bisa ditulis. Saat itu aku belum tahu kalau dunia blogging itu bisa menghasilkan uang. Pokoknya aku menulis saja.Sampai akhirnya, FLP Malang mengadakan sharing menulis blog yang diadain di sekretariat FLP Malang. Yang ikut pun anggota-anggota FLP Malang. Dan aku pun baru tahu sekarang, sharing menulis blog kalau diluar sana sudah bayar mahal. Sedangkan di FLP bisa gratis!
Semenjak itu, aku jadi rajin nge-blog dibanding sebelum-sebelumnya. Dulu mah 1 tahun paling nge-blog tiga kali. Sekarang sudah lebih dari itu.
Sharing menulis blog yang diajarkan nggak hanya membuat blogger-nya rajin nulis tapi bagaimana mengoptimasi blog dengan memanfaatkan deskripsi penelusuran, label, backlink, dan semua yang ada di blog agar bisa terindeks di google bahkan bisa masuk pageone. Walaupun blog-ku belum pernah masuk pageone, hehe.
Mencoba Menulis
Memang beberapa waktu, FLP Malang sempat vacum. Itu memang membuatku sedih sebagai anak yang baru masuk tapi aku tidak lupa dengan hal-hal yang diajarkan saat bedah karya atau saat sharing menulis blog.Aku menerapkan apa yang telah diajarkan ketika mengikuti lomba-lomba menulis fiksi ataupun kirim ke koran. Walaupun banyak yang tidak masuk juga, hehe.
Sampai suatu ketika, kisahku terpilih dalam antologi Jodoh Pasti Bertamu dari Indiva Media Kreasi, rasanya senang minta ampun! Walaupun bukan menulis fiksi karena menulis kisah nyata, aku merasa tidak ada yang sia-sia dengan bedah karya fiksi yang selama ini dilakukan.
Kisahku dalam Buku jodoh Pasti Bertamu |
Setelah dua tahun NPWP ku menganggur, akhirnya terpakai lagi! Yeay! (Heh, seneng banget sih bayar pajak!). Bukan begitu, kalau NPWP terpakai, itu artinya aku dapat hadiah lagi! Berkarya lagi! saat itu, aku menang lomba menulis blog Inovasi Daerahku dari Good News From Indonesia.
Kalau ini memang bukan fiksi tapi lebih ke artikel ilmiah populer dan tentunya beberapa ilmu-ilmu saat sharing menulis blog kuterapkan dalam menulis blog. Blog ini waktu aku menang lomba Inovasi Daerahku.
Itupun baru sharing yang gratisan. Terakhir, aku mengikuti kelas content writer tapi berbayar. Hanya untuk anggota FLP dengan biaya yang sangat murah (ehm, jadi inget tugas terakhir belum kubuat *maaf guru!). Itulah kelebihan FLP! Bisa mengikuti pelatihan dengan biaya yang murah apalagi banyak senior-senior yang memang ahli dalam bidangnya.
Setahun kemudian, tahun 2017, NPWP-ku terpakai lagi! Alhamdulillah bayar pajak lagi donk ke negara, haha! Ya nggak apa-apa sih. Itu menunjukkan ada karya yang dihasilkan. Tahun itu, naskahku terpilih dalam sayembara penulisan bahan bacaan untuk anak SD yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Judul naskahku waktu itu adalah Sahabat Kecil dari Pulau Cincin Api, isinya bisa dibaca di link ini.
Penulis di Gerakan Literasi Nasional 2017 |
Nah, ini aku merasa ada kemajuan dalam menulis fiksi walaupun nggak seperti sastrawan kalau menulis cerita. Aku membuatnya dengan bahasa yang sangat sederhana karena memang diperuntukkan untuk anak SD.
Baca juga : Ceritaku di Gerakan Literasi Nasional 2017
Di tahun 2018? Insyallah, NPWP ku bakal terpakai lagiii, yeay!
Dari sekitar 115 penulis yang naskahnya lolos sayembara tahun lalu, kemudian dipilih lagi sekitar 49 penulis ditawarkan untuk menulis bahan bacaan untuk anak SD, SMP dan SMA. Alhamdulillah aku termasuk dari 49 penulis itu. Sekarang masih tahap menulis itu dan semoga segera selesai. Ammiinn. Sedangkan penyebaran bukunya ke sekolah-sekolah tergantung dari kebijakan Dikdasmen.
3 tahun bergabung dengan FLP
Setelah tiga tahun bergabung dengan FLP, banyak hal yang aku tahu tentang kehidupan FLP yang berhubungan dengan kepenulisan dan diluar kepenulisan.Dunia kepenulisan
Awalnya aku hanya belajar bagaimana menulis cerita pendek dan sedikit mengenai menulis novel. Jangan tanyakan bagaimana karena nggak ada rumus pasti tentang itu. Ilmuku pun masih nggak banyak.Setelah itu, aku jadi tahu kalau setidaknya penulis nggak hanya jago menulis tapi juga mempromosikan buku yang kita tulis.
Aku pernah mengalami writer’s block saat menulis buku untuk sayembara, akhirnya aku membahas dengan teman FLP yang juga menjadi ilustrator buku, Mas Danang. Hal itu sangat membantu untuk mengatasi writer’s block. Bertemu dengan teman akan sangat membantu dalam mengurangi benang kusut di otak kita.
Meet Up dengan Anggota FLP |
Selain itu, kita akan termotivasi untuk terus menulis. Ketika kamu melihat teman sudah selesai menulis buku dan akan terbit tentu ada rasa ingin mengikuti jejak mereka.
Betapa bersyukurnya aku termasuk dalam organisasi kepenulisan. Apa yang menjadi kebahagiaanku adalah aku masih bisa berkarya dengan menulis tanpa harus meninggalkan anak-anak.
Di luar dunia kepenulisan
Sejak FLP Malang sempat vacum, terkadang aku sangat merindukan berkumpul dan bercanda dengan mereka sambil bedah karya. Semoga silaturahmi tetap terjaga dengan mereka.Bahkan setelah tergabung dengan grup FLP, aku pun jadi tahu bahwa FLP nggak hanya sebagai wadah kepenulisan tapi juga perjodohan. Bahkan FLP sempat diplesetkan menjadi Forum Lingkar Perjodohan. Hehe. Banyak pasangan yang akhirnya menikah dengan sesama anggota FLP.
Bertemu dengan penulis terkenal, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gol A Gong, juga memberiku ilmu-ilmu baru mengenai kepenulisan.
Setelah Acara Writing Therapy |
Sampai sejauh ini, aku sering berpikir, apakah ucapan yang nggak sengaja di kantor pajak dulu memang akan menjadi sebuah doa? Apakah Allah memang memberiku jalan untuk jadi penulis? Itu adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Tulisan ini kupersembahkan untuk FLP yang akan berulang tahun tanggal 25 Februari nanti. Semoga FLP bisa menjadi wadah mewujudkan impian anggota-anggotanya untuk menjadi penulis yang memang berdakwah bil qolam. Aamiinn.
Selamat Ulang Tahun FLP |
Dan kamu, ingin bergabung di FLP?