Beranikah Kamu Jadi Whistleblower?

No Comments
Kalau dengar kata whistleblower, saya jadi teringat film yang diangkat dari kisah nyata. Judulnya Whistleblower. Ceritanya seorang anggota PBB yang bertugas di Bosnia untuk mengungkap kasus perdagangan manusia.

Setelah diusut, ternyata oknum yang berbuat adalah salah satu temannya di organisasi tersebut. Dia pun mengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap kebobrokan rekannya. Keputusannya menjadi whistleblower dan keluar dari pekerjaannya adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan oleh siapapun yang sudah ajeg dalam berkarir.

Apa itu whistleblower?

Whistleblower dalam bahasa inggris diartikan sebagai peniup peluit. Kalau dalam permainan sepak bola, peniup peluit ibarat wasit tapi ia meniup pluit untuk regunya sendiri yang melanggar.

Nah, kalau dalam dunia nyata, whistleblower diistilahkan pengungkap kebenaran. Istilah ini diartikan untuk pegawai atau orang yang berada pada suatu organisasi atau instansi dan mengetahui kejahatan-kejahatan yang merugikan organisasi kemudian melaporkan kepada pihak berwajib.

Whistleblower di luar negeri?

Ternyata Amerika Serikat mengeluarkan perlindungan terhadap whistleblower sudah lama. Namanya Whistleblower Acts tahun 1970. Selain itu disusul negara-negara lain seperti Michigan (1980), Filipina (1991), Australia CommonWealth (1994), New South Wales (1995), Canada (1996), Australia Selatan (1996), Afrika Selatan (1998), China (2000), Queensland (2000), Kroasia (2003), Kenya (2006), dan Malaysia (2008).
Sumber

Walaupun di Amerika sudah ada undang-undang perlindungan terhadap whistleblower, tetap saja si whistleblower mendapat ancaman bahkan mendapat tuduhan membocorkan informasi organisasi. Tentu menjadi hal dilema bagi whistleblower apakah harus diam saja atau bersuara?

Pada akhirnya beberapa orang di Amerika berani untuk membuka mulut walaupun akhirnya nasib membuatnya dihukum, seperti yang diungkapkan oleh tempo (sumber)

Lawrence Franklin menjalani 10 bulan tahanan rumah karena memberikan informasi rahasia soal Iran untuk dua pelobi pro-Israel. Ada juga Shamai Leibowitz dihukum 20 bulan penjara karena membocorkan informasi kepada blogger. Selain itu, John Kiriakou dihukum 3 bulan penjara karena membocorkan informasi tentang metode interogasi CIA yang dianggap kejam dan melanggar HAM, termasuk waterboarding. Dan masih banyak whistleblower lainnya yang dikenai hukuman karena membocorkan informasi organisasi.

Ini sebenarnya terkait dengan loyalitas seseorang terhadap organisasinya. Biasanya sebelum masuk suatu organisasi dia akan menandatangani sejumlah dokumen terkait kewajiban pegawai untuk menjaga rahasia. Jika dia tidak menepati itu maka akan di proses hukum. Saat itulah seseorang tidak bisa menjadi whistleblower dan sampai kapanpun organisasi itu akan tetap buruk di mata pegawai.

Apakah undang-undang perlindungan whistleblower di Amerika sudah efisien? Bagaimanakah kita bisa mencontoh mereka yang sudah lama memiliki undang-undang itu?

Sebuah program di Amerika bernama Dodd-Frank Act yang muncul tahun 2010 telah berhasil meningkatkan jumlah whistleblower di Amerika. Para pengungkap kebenaran tidak saja diberikan perlindungan dari pembalasan dendam tapi juga penghargaan yang berupa intensif. Tahun 2016, ada 13 whistleblower yang mendapatkan intensif dengan total 111 juta dollar.

Walaupun di kasus terberat para whistleblower mendapat ancaman bahkan penjara, tapi perlindungan whistleblower di amerika jauh lebih baik. Belum lagi program intensif Dodd-Frank bagi kasus yang berhasil diselesaikan karena bantuan whistleblower.

Beranikah jadi whistleblower?

Peniup peluit di Indonesia belum diatur dalam undang-undang. Hanya saksi dan korban saja yang diatur. Walaupun teelihat sama karena sama-sama melaporkan, saksi dan whistleblower adalah dua hal berbeda. Saksi diminta untuk melaporkan suatu kasus jadi dia tidak ada niatan awal untuk melaporkan dan belum tentu berada dalam satu organisasi dengan pelaku. Sedangkan whistleblower memang ada niatan awal untuk melaporkan atasan atau rekannya yang bekerja dalam satu organisasi. Whistleblower sendiri berinisiatif mengungkapkan fakta kejahatan rekannya atau atasannya kepada pihak berwajib.

Whistleblower di Indonesia diatur pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI atau SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator). Tapi ternyata di dalamnya hanya mengatakan perlindungan bagi saksi yang dianggap pelapor sama seperti whistleblower. Jadi saksi dan whistleblower sama-sama dianggap pelapor karena ancaman yanf diterima bisa jadi sama.

Kalau perlindungan para saksi sendiri sudah diatur di UU no 13 tahun 2006, PP No. 2 Tahun 2002, PP No. 24 Tahun 2003, dan PP No. 57 Tahun 2003. Perlindungan tersebut pada pelanggaran HAM yang berat,  kasus terorisme, dan pencucian uang. (Sumber)

Kalau di Indonesia ada LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Berpatokan pada Undang-Undang No 13. Tahun 2006 untuk melindungi saksi, korban dan pelapor, apakah benar sudah efisien?

Saya coba-coba membuka website LPSK ternyata ada form untuk menjadi whistleblower atau pelapor tanpa harus memberikan identitas asli. Bahkan LPSK menyarankan untuk membuat akun yang tidak menunjukkan profil diri pelapor. Tidak hanya sekedar melapor tapi juga memberikan bukti berupa dokumen-dokumen yang menunjukkan tindak kejahatan.



Dengan data isian tanpa mengungkapkan identitas seharusnya kita tidak perlu khawatir untuk menjadi whistleblower. Tinggal kita bagaimana bekerjasama dengan LPSK agar tidak ada yang membocorkan identitas kita.

Maka beranikah kamu menjadi whistleblower?

0 comments

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.

Follower