Setelah melahirkan sekitar 8 bulan lalu, seorang teman mengunjungiku. Pada saat itu, kondisiku masih capek sekali, iyalah si baby masih sering mengajak begadang, karena belum pake pospak atau clodi jadi mesti ganti beberapa kali tiap beberapa menit karena buang air besar dan kecil. Apalagi saat itu asi belum keluar, jadilah tambah kegalauannya padahal sudah hari ketiga dan anak sudah sering menangis.
Dia berkata aku kena baby blues syndrome. Ha?? Apa pula itu, aku nggak paham. Dia menjelaskanku secara singkat artinya. Masak sih? Kayaknya rasa capek dan galaunya sama seperti saat sebelum nikah kalau capek dan galau. Kayajnya baby blues semacam syndrome yang (katanya) selalu dialami ibu-ibu baru.
Well, pada akhirnya setelah beberapa bulan ia meminjamkanku buku berjudul Oh, Baby Blues karya Mamiek Syamil dan Dina Sulaeman. Buku yang menceritakan pengalaman baby blues yang dialami ibu-ibu baru dan tipsnya.
Kalau menurut bukunya, biasanya yang dirasakan seperti rasa sedih, tidak menentu, air mata berlimpah, kurang atau tidak bisa tidur, nafsu makan berkurang, sulit berkonsentrasi, cemas, sangat sensitif terhadap kritikan atau saran.
Setelah 8 bulan mengasuh anak, rasa-rasanya kadang perasaan sedih, galau, cemas masih muncul, apalagi saat anak sakit. Rasa sedihnya berkali-kali lipaaat.. Anak sekecil itu ngerasain sakit apa ya nggak kasian... kasian kan..kasiaan hehehe... Terus apa ya si ibu disebut mengalami depresi?? Hadah, aku malah nggak terima donk. Menurut itu itu masih dibatas normal perasaan ibu ke anaknya. Bahkan sampai anak kuliah pun, si ibu juga pasti merasakan kesedihan dan kegalauan memikirkan anaknya. Itu mah noormaalll...
Penyebab lainnya adalah kondisi ibu yang capek, rasa sakit setelah melahirkan, asi yang belum keluar, bahkan bengkak yang dirasakan karena asi tidak keluar menyebabkan demam.
Baca buku ini, baby blues syndrome banyak dialami oleh ibu-ibu yang tinggal dan melahirkan di luar negeri. Pengalaman saya tinggal di Prancis saat kuliah terbayang betapa kerasnya hidup di negara dengan sifat individualis yangtinggi. Apalagi anak pertama, yang belum tahu apa-apa dan masih butuh bantuan.
Dalam buku ini, dijelaskan pengalaman setiap ibu dengan kelahiran buah hati mereka.
Seseorang ibu di Amerika yang bersikeras nggak mau operasi caesar, tapi karena sudah pembukaan besar tapi bayi tidak keluar maka dokter menyarankan untuk caesar. Suaminya tidak bisa cuti karena masih pegawai baru. Jadilah sang istri di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Sepulangnya dari rumah sakit, istri harus harus begadang, belum lagi dia mengurus sendirian, tidak ada orang tua. Dia menangis sendirian, mudah marah. Suaminya yang berkomunikasi dengannya membuat ibu baru ini merasa tenang. Hingga akhirnya perasaan itu hilang semenjak ia selesai nifas dan bisa sholat.
Ada pula kejadian dinginnya komunikasi istri dan suami dicairkan setelah berkomunikasi melalui email. Istrinya menganggap suaminya tidak mau membantunya, maunya hanya menikmati senyum dan tawanya tanpa mau bersusah payah merawat anak. Sampai akhirnya suaminya mengatakan melalui email bahwa ia tidak mengerti bagaimana merawatnya. Kebekuan diantara mereka pun mereda.
Ada juga seorang ibu baru stres saat mendengar anaknya nangis di gendongannya, saat disusui malah teriak-teriak dan berhenti menangis saat digendong suster. Begitu sampai di apartemen pun bayi masih sering menangis, hanya bisa diam saat di gendong. Si ibu baru yang kelelahan mulai sedih. Suaminya sibuk dengan kuliahnya, sehingga sering meninggalkan istri yang baru melahirkan dengan ibu kandungnya. Belum lagi anaknya yang sering muntah setiap disusui. Dan si ibu anak ini mengalami mastitis hingga merasa demam dan harus datang ke rumah sakit lagi. Ia sempat marah dengan suaminya yang tidak membantunya dalam mengasuh anak bayi. Tapi suaminya malah protes balik kalau dia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah ibu kandungnya nalik ke indonesia, suami ini yang akhirnya membantu semua pekerjaan rumah.
Sepasang suami istri pun juga menulis kisah mereka di awal-awal baru menmiliki anak dengan dua pandangan sebagai istri dan suami. Sang istri yang sangat moody dan suami yang mengerti bahwa itu bukan sifat istrinya. Suaminya bhakan rela meninggalkan beasiswa masternya yang kedua demi menemani istrinya melewati hari-hari sebagai ibu. Mendampinginya, membantunya membereskan rumah dan mengasuh anak mereka. Sempat juga di bawa ke psikolog. Lama-lama mereka terbiasa dengan ritme baru sebagai seorang ibu dan ayah. Suaminya merasa memang jalan satu-satunya adalah menemani istrinya di awal menjadi ibu. Karena itu yang dibutuhin seorang ibu baru. Karena mereka waktu itu tinggal di luar negeri dimana tidak ada yang membantu sang istri selain suaminya sendiri.
Kritikan-kritikan dari orang sekitar pun membuat perasaan ibu-ibu baru yang lagi sensitif itu mudah tersinggung.
"Kok nggak dikasih bedak?"
"Kok mandiinnya gitu?"
"Gendongnya jangan gitu"
"Bedongny begini loh"
"Kok sembrono gitu"
Lah, iya sih, maksudnya baik, tapi bagi ibu-ibu baru yang lagi capek, sensitif, lama-lama bikin males juga. Kayaknya berlebihan banget yah? Tapi nyatanya sih gitu. Ada yang ngga nanggepin, cuma dibalas senyum. Ada yang ditanggepin biasa. Ada yang sampe puncaknya akhirnya malah nangis didepan ibunya sendiri (duh, kalau ini mah kayaknya akut banget).
Dia berkata aku kena baby blues syndrome. Ha?? Apa pula itu, aku nggak paham. Dia menjelaskanku secara singkat artinya. Masak sih? Kayaknya rasa capek dan galaunya sama seperti saat sebelum nikah kalau capek dan galau. Kayajnya baby blues semacam syndrome yang (katanya) selalu dialami ibu-ibu baru.
Well, pada akhirnya setelah beberapa bulan ia meminjamkanku buku berjudul Oh, Baby Blues karya Mamiek Syamil dan Dina Sulaeman. Buku yang menceritakan pengalaman baby blues yang dialami ibu-ibu baru dan tipsnya.
Buku Oh, Baby Blues |
Apa itu Baby Blues Syndrome?
Awalnya aku nggak begitu paham dengan sindrom itu. Tapi setelah aku baca buku itu, aku mulai paham. Baby blues syndrome itu adalah perasaan kegalauan hati, sedih, bisa sampai menangis bahkan marah.Kalau menurut bukunya, biasanya yang dirasakan seperti rasa sedih, tidak menentu, air mata berlimpah, kurang atau tidak bisa tidur, nafsu makan berkurang, sulit berkonsentrasi, cemas, sangat sensitif terhadap kritikan atau saran.
Berapa lama?
Rata-rata perasaan itu akan berkurang setelah 4 hari melahirkan atau menghilang setelah 10 hari. Kalau menurut bukunya sih, kalau sampai sebulan masih mengalami hal seperti itu bisa disebut postpartum atau postnatal depression yang artinya depresi setelah melahirkan. Menanggapi hal ini, aku merasa belum sreg dengan penjelasannya.Setelah 8 bulan mengasuh anak, rasa-rasanya kadang perasaan sedih, galau, cemas masih muncul, apalagi saat anak sakit. Rasa sedihnya berkali-kali lipaaat.. Anak sekecil itu ngerasain sakit apa ya nggak kasian... kasian kan..kasiaan hehehe... Terus apa ya si ibu disebut mengalami depresi?? Hadah, aku malah nggak terima donk. Menurut itu itu masih dibatas normal perasaan ibu ke anaknya. Bahkan sampai anak kuliah pun, si ibu juga pasti merasakan kesedihan dan kegalauan memikirkan anaknya. Itu mah noormaalll...
Penyebab Baby Blues Syndrome?
Menurut bukunya, penyebab sindrom baby blues diduga karena perubahan hormon sang ibu. Selama hamil, hormon ibu meningkat. Setelah melahirkan, plasenta keluar, jumlah produksi hormon, seperti estrogen, progesteron, dan endorfin mengalami perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi emosional sang ibu. Selain itu, ovarium yang tidak aktif selama hamil, sudah mulai kembali memproduksi hormon seperti sebelumnya.Penyebab lainnya adalah kondisi ibu yang capek, rasa sakit setelah melahirkan, asi yang belum keluar, bahkan bengkak yang dirasakan karena asi tidak keluar menyebabkan demam.
Penyembuhan
Sindrom ini jelas bisa diobati. Pengobatan dilakukan dengan terapi, dukungan orang sekitar, seperti suami, orang tua, dan saudara. Menurut buku ini, bisa juga dengan konsumsi obat antidepressant. pfiuh...Pengalaman Ibu-Ibu
Baca buku ini, baby blues syndrome banyak dialami oleh ibu-ibu yang tinggal dan melahirkan di luar negeri. Pengalaman saya tinggal di Prancis saat kuliah terbayang betapa kerasnya hidup di negara dengan sifat individualis yangtinggi. Apalagi anak pertama, yang belum tahu apa-apa dan masih butuh bantuan.
Dalam buku ini, dijelaskan pengalaman setiap ibu dengan kelahiran buah hati mereka.
Seseorang ibu di Amerika yang bersikeras nggak mau operasi caesar, tapi karena sudah pembukaan besar tapi bayi tidak keluar maka dokter menyarankan untuk caesar. Suaminya tidak bisa cuti karena masih pegawai baru. Jadilah sang istri di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Sepulangnya dari rumah sakit, istri harus harus begadang, belum lagi dia mengurus sendirian, tidak ada orang tua. Dia menangis sendirian, mudah marah. Suaminya yang berkomunikasi dengannya membuat ibu baru ini merasa tenang. Hingga akhirnya perasaan itu hilang semenjak ia selesai nifas dan bisa sholat.
Ada pula kejadian dinginnya komunikasi istri dan suami dicairkan setelah berkomunikasi melalui email. Istrinya menganggap suaminya tidak mau membantunya, maunya hanya menikmati senyum dan tawanya tanpa mau bersusah payah merawat anak. Sampai akhirnya suaminya mengatakan melalui email bahwa ia tidak mengerti bagaimana merawatnya. Kebekuan diantara mereka pun mereda.
Ada juga seorang ibu baru stres saat mendengar anaknya nangis di gendongannya, saat disusui malah teriak-teriak dan berhenti menangis saat digendong suster. Begitu sampai di apartemen pun bayi masih sering menangis, hanya bisa diam saat di gendong. Si ibu baru yang kelelahan mulai sedih. Suaminya sibuk dengan kuliahnya, sehingga sering meninggalkan istri yang baru melahirkan dengan ibu kandungnya. Belum lagi anaknya yang sering muntah setiap disusui. Dan si ibu anak ini mengalami mastitis hingga merasa demam dan harus datang ke rumah sakit lagi. Ia sempat marah dengan suaminya yang tidak membantunya dalam mengasuh anak bayi. Tapi suaminya malah protes balik kalau dia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah ibu kandungnya nalik ke indonesia, suami ini yang akhirnya membantu semua pekerjaan rumah.
Sepasang suami istri pun juga menulis kisah mereka di awal-awal baru menmiliki anak dengan dua pandangan sebagai istri dan suami. Sang istri yang sangat moody dan suami yang mengerti bahwa itu bukan sifat istrinya. Suaminya bhakan rela meninggalkan beasiswa masternya yang kedua demi menemani istrinya melewati hari-hari sebagai ibu. Mendampinginya, membantunya membereskan rumah dan mengasuh anak mereka. Sempat juga di bawa ke psikolog. Lama-lama mereka terbiasa dengan ritme baru sebagai seorang ibu dan ayah. Suaminya merasa memang jalan satu-satunya adalah menemani istrinya di awal menjadi ibu. Karena itu yang dibutuhin seorang ibu baru. Karena mereka waktu itu tinggal di luar negeri dimana tidak ada yang membantu sang istri selain suaminya sendiri.
Kritikan-kritikan dari orang sekitar pun membuat perasaan ibu-ibu baru yang lagi sensitif itu mudah tersinggung.
"Kok nggak dikasih bedak?"
"Kok mandiinnya gitu?"
"Gendongnya jangan gitu"
"Bedongny begini loh"
"Kok sembrono gitu"
Lah, iya sih, maksudnya baik, tapi bagi ibu-ibu baru yang lagi capek, sensitif, lama-lama bikin males juga. Kayaknya berlebihan banget yah? Tapi nyatanya sih gitu. Ada yang ngga nanggepin, cuma dibalas senyum. Ada yang ditanggepin biasa. Ada yang sampe puncaknya akhirnya malah nangis didepan ibunya sendiri (duh, kalau ini mah kayaknya akut banget).
Cara Mengatasi
Berdasarkan pengalaman ibu-ibu baru yang dijelaskan dalam bukunya, cara mengatasi sindrom baby blues yaitu:- Mengaji dan sholat sebanyak mungkin setelah nifas
- Peran suami yang besar dalam menghibur dan menenangkan istri
- Mencari teman yang bisa diajak serius mendengarkan keluhan
- Membagi tugas rumah dengan suami.
Demikian ulasan singkat mengenai Baby blues syndrome dan pengalaman ibu-ibu baru dari buku Oh, Baby Bluea. Semoga bermanfaat.