PENERAPAN TEORI LOKASI VON THUNEN PADA KAWASAN PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR – MALAYSIA (Studi Kasus: Perbatasan Sebatik – Tawau)

No Comments
Gambaran Umum Pulau Sebatik
Pulau ini terletak di bagian utara Kalimantan Timur yang dimiliki oleh dua negara, sebelah utara dan barat pulau ini berbatasan langsung dengan Malaysia dimana dibagi menjadi Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat dengan total luas 246,61 km2. Letak geografis tersebut merupakan potensi besar bagi daerah ini untuk mengembangkan jalinan hubungan internasional dengan dunia luar khususnya negara Malaysia, sehingga mampu memcerminkan kemajuan pembangunan di wilayah Republik Indonesia.

Kawasan perbatasan Kalimantan memiliki aksesibilitas yang tinggi terhadap kota-kota di Malaysia seperti Kota Tawau, sedangkan aksesibilitas antar kota-kota di Kalimantan Timur sendiri masih sangat rendah. Pada tahun 2007, jumlah penduduk Kecamatan Sebatik sebesar 16% dan Kecamatan Sebatik Barat Sebesar 9%. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sebatik sebesar 194,24 jiwa/km2, kemudian di Kecamatan Sebatik Barat sebesar 77,56 jiwa/km2. Secara keseluruhan, persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama tahun 2007 yang paling banyak pada sektor pertambangan penggalian, pertanian dan perdagangan dengan persentase masing-masing untuk pertambangan sebesar 51,478 %, pertanian sebesar 24,823 % dan perdagangan 11,277 %. Persentase penduduk yang bekerja pada sektor keuangan, listrik, gas dan air minum, bangunan, komunikasi/transportasi, listrik, gas dan air serta yang lainnya sebesar 0 % - 5 %.
Kegiatan ekonomi mayoritas di Sebatik pada sektor pertanian dengan komoditas berupa padi, palawija, buah-buahan, sayur-sayuran, sedangkan sektor perkebunan kakao, kelapa dalam, dan kopi. Sektor perikanan yang dominan adalah perikanan laut dan tambak.
Selain itu dari segi transportasi, untuk menjangkau Kota Tarakan dibutuhkan waktu sekitar 3 jam dengan keberangkatan pada waktu tertentu, sedangkan untuk menjangkau Kota Nunukan harus melakukan perjalanan darat selama 2 jam kemudian ke dermaga Bambangan dan menempuh Kota Nunukan sekitar 15 menit. Dermaga yang ada di Sebatik yaitu Sungai Nyamuk dimana selain bisa menjangkau Tarakan bisa menjangkau Tawau, Malaysia. Sedangkan untuk menempuh perjalanan ke Tawau cukup perjalanan 15 menit menggunakan speedboat, dan jam keberangkatan pun dari pagi hingga sore. Oleh karena itu, tidak mengherankan masyarakat Sebatik memilih melakukan aktivitas ekonomi ke Tawau dibanding ke Tarakan atau kota-kota lainnya di Kalimantan Timur (Noveria, 2006:35).

Aplikasi Teori Von Thunen
Sebenarnya pusat kota di Kabupaten Nunukan yaitu di Kecamatan Nunukan, sedangkan Kecamatan Sebatik lebih bersifat sebagai daerah yang memproduksi hasil komoditas pertanian atau perkebunan. Hasil komoditas yang masih berupa barang mentah dari Sebatik diekspor ke Malaysia kemudian diolah menjadi barang jadi yang kemudian dibeli dari Malaysia. Hasil komoditas pertanian di Sebatik berupa padi sawah, sedangkan hasil bumi lainnya yaitu kelapa sawit, kakao, pisang, sayur-sayuran, dan ikan, dimana hasil komoditas tersebut dijual ke Malaysia (Tawau/Sebatik Malaysia), sedangkan kebutuhan sehari-hari seperti gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging sapi dibeli oleh masyarakat Sebatik dari Malaysia. Misalnya, kelapa sawit dari Sebatik kemudian diolah di Malaysia menjadi minyak goreng yang kemudian dibeli lagi oleh masyarakat Sebatik untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Sebatik menjual hasil bumi ke Tawau karena pasar yang lebih menjanjikan, misalnya untuk kelapa sawit, pabrik pengolahan di Tawau menawarkan harga sekitar 600 RM atau Rp 1,7 juta per ton tandan buah segar (TBS), sedangkan pabrik di Semanggaris, Nunukan, hanya berani membeli Rp 1 juta per ton TBS (Susilo, 2011).
Hal tersebut menyebabkan aktivitas Sebatik dan Tawau lebih tinggi bila dibandingkan Sebatik dengan kota lain di Kalimantan Timur. Adanya aksesibilitas yang tinggi ke Malaysia, maka produk yang ada di Sebatik didominasi oleh produk-produk Malaysia, mulai dari makanan, minuman (susu, minuman coklat), barang keperluan rumah tangga, seperti gula, minyak goreng, gas untuk memasak, ember, dan lain-lain.
Sangat sedikit sekali masyarakat Sebatik yang mengambil barang jadi dari Nunukan, ataupun menjual hasil pertanian/perkebunan ke Nunukan. Bahkan, yang seharusnya masyarakat Nunukan menikmati hasil pertanian Sebatik justru harus menikmati hasil pertanian dari daerah lain yaitu dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Ruru, 2011).
Menurut teori Von Thunen (Djojodipuro,1992:149), lokasi pertanian akan berkembang pada pola tertentu tergantung pada tujuh asumsi:
1.  Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian.
2.  Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain.
3.  Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan.
4.  Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogenous) dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam menengah
5.  Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan
6.  Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat.
7.  Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.


Dengan asumsi tersebut maka daerah lokasi berbagai jenis pertanian akan berkembang dalam bentuk lingkaran tidak beraturan yang mengelilingi daerah pertanian.
Pada teori tersebut masih bisa berlaku di Sebatik, dimana beberapa asumsi dari teori von thunen membentuk guna lahan di Sebatik. Pada asumsi pertama, Sebatik merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota besar di Kalimantan Timur, apalagi pada jarak yang dekat, seperti Nunukan dan Tarakan, sedangkan potensi sumberdaya alam Sebatik bisa untuk memenuhi daerahnya dan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara tetangga. Pada asumsi kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sebatik, dimana Sebatik tidak menerima penjualan pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sebatik hanya menerima penjualan barang-barang yang telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke daerah perkotaan yaitu ke Kota Tawau, Malaysia, seperti pada asumsi ketiga. Sedangkan asumsi ke empat juga sesuai karena Sebatik datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sebatik bekerja sebagai petani seperti pada asumsi kelima, dan petani berusaha mencari keuntungan dari hasil pertanian yang dijual ke Tawau. Pada asumsi keenam, tidak berlaku lagi angkutan darat untuk mengangkut hasil komoditas, karena pengangkutan dilakukan dengan angkutan laut. Pada asumsi ke tujuh, biaya ditanggung oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.




Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya teori Von Thunen masih bisa diaplikasikan di Sebatik sebagai daerah yang terpencil. Masyarakat Sebatik tidak menjual hasil pertaniannya ke Nunukan, Tarakan, atau kota besar lainnya, karena jarak yang ditempuh cukup jauh. Apabila dilakukan penjualan pada jarak yang jauh, maka keuntungan yang diperoleh juga sedikit, sedangkan pada jarak dengan pasar yang dekat, dalam hal ini adalah Tawau, maka akan memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya saja diterapkan harga komoditas sesuai jarak tempuh transportasi, maka semakin jauh lokasi pemasaran maka akan semakin mahal juga harga jualnya, sedangkan belum tentu daerah pemasaran yang dituju akan membeli dengan harga yang tinggi tersebut seperti yang diungkapkan Susilo (2011), bahwa pedagang kelapa sawit di Sebatik lebih memilih menjual hasil perkebunannya di Tawau karena memperoleh hasil jual Rp 1,7 juta per ton tandan buah segar (TBS), sedangkan di Nunukan hanya membeli Rp 1 juta per ton TBS. Dalam jarak yang dekat pedagang Sebatik sudah memperoleh harga jual yang lebih tinggi daripada menjual dagangan pada jarak yang jauh. Oleh karena itu, bila ingin meningkatkan pemasaran hasil komoditas di Sebatik, maka perlu perbaikan prasarana transportasi/jaringan jalan antara penyedia bahan baku dengan pasar/wilayah lainnya, sehingga aksesibiltas antar daerah semakin tinggi. Dengan akses yang cepat ke daerah lainnya kemungkinan hasil penjualan juga akan meningkat.

Kesimpulan
Teori Von Thunen masih bisa dilakukan pada daerah-daerah terpencil, pemasaran hanya pada daerah-daerah yang memungkinkan dilakukan pemasaran. Semakin jauh dari pusat kota, maka akan semakin mahal juga sewa lahannya, dalam artian biaya transportasi yang ditanggung semakin besar, sedangkan balik modal kecil. Hal tersebut yang menyebabkan interaksi antara Sebatik – Tawau lebih sering dibanding Sebatik – Nunukan/Tarakan dikarenakan aksesibilitas Sebatik – Nunukan/Tarakan rendah. Sebatik sebagai daerah penyedia bahan baku bagi Tawau, Malaysia, sedangkan Tawau sebagai penyedia bahan jadi bagi Sebatik. 


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.

Follower