Pada tahun 2000, United
Nations mengadopsi MDGs (Millennium Development Goals yang dihasilkan pada
konferensi internasional sekitar tahun 1990-an) yang dianggap cukup
mendefinisikan tujuan global. Dalam hal ini, hasil dari pencapaian tujuan
dianggap lebih penting dibanding bagaimana proses pencapaiannya. MDGs tersebut
meliputi:
1.
Memberantas
kemiskinan dan kelaparan;
2.
Mencapai tingkat pendidikan yang lebih baik;
3.
Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
4.
Mengurangi
kematian anak;
5.
Meningkatkan
kesehatan kelahiran;
6.
Melawan
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya;
7.
Memastikan
keberlanjutan lingkungan;
8.
Mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.
Dalam
mendefinisikan pembangunan atau ‘development’ itu sendiri, ada berbagai sudut
pandang. Pembangunan seringkali juga diasosiasikan sebagai bentuk ‘modernisasi’
yang dianggap sebagai progres kemajuan, bisa dari sudut pandang teknologi,
ekonomi, atau sosial. Namun, argumen tentang pembangunan sebagai modernisasi
muncul seiring interpretasi modernisasi yang berdampak pada krisis budaya,
perusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup. Pembangunan dilihat
dari sudut pandang sebagai proses kemajuan ekonomi memang sudut pandang yang
paling umum. World Bank sendiri
misalnya menjadikan GNP (Gross National Product per capita) sebagai dasar untuk
membagi negara-negara ke dalam kategori-kategori pembangunan. Namun cara ini
merupakan cara paling umum untuk melihat tingkat pembangunan suatu negara
secara ekonomi dimana total GNP dibagi dengan jumlah populasi negara. Kategorinya
meliputi negara berpenghasilan rendah (US$746 - 2.975), negara berpenghasilan
menengah (US$2.976 – 9.205), dan negara berpenghasilan tinggi (US$9.206 atau
lebih).
PEMBANGUNAN MANUSIA
Dalam
menentukan kesejahteraan manusia atau dimensi non-ekonomi biasanya menggunakan
indikator GNP, akan tetapi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) lebih sering digunakan dimana IPM dirancang oleh
UNDP. IPM mengklasifikasikan tiap negara kedalam golongan pembangunan
masyarakat rendah, sedang, dan tinggi. Pengukuran ini mencakup tiga dimensi
pembangunan dalam kesejahteraan manusia: kehidupan yang sehat dan lama,
pendidikan dan pengetahuan, dan standar hidup yang layak. UNDP memilih empat
indikator kuantitatif dalam mengukur dimensi tersebut.
Gambar 1. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia
Indikator-indikator
harus dikonversi menjadi indeks 0 sampai 1 untuk memungkinkan pembobotan yang
sama antara tiga dimensi. Setelah nilai indeks dihitung pada setiap dimensi,
nilai tersebut dirata-ratakan dan hasil akhirnya adalah nilai IPM. Semakin
tinggi nilai, maka semakin tinggi tingkat pembangunan manusia. Negara-negara
pada Eropa Barat, AS, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru memiliki GNP
dan IPM yang tinggi, sedangkan beberapa negara di Afrika Sub-Sahara
dikategorikan sebagai negara dengan pendapatan rendah dan IPM rendah.
Ada beberapa
alasan mengapa pengukuran IPM tidak tepat. Pertama, ada tumpang tindih
(overlap). Sebagai contoh, ketika Cina dan Argentina diklasifikasikan sebagai
negara pendapatan medium, akan tetapi nilai IPM negara tersebut menunjukkan kategori pembangunan manusia
tinggi. Selain itu, negara India yang dikategorikan sebagai negara pendapatan
rendah oleh Bank Dunia, tetapi pada penilaian UNDP, negara India merupakan
kelompok pembangunan manusia menengah. Bagi beberapa orang, diskusi pengukuran
yang tepat pada status nasional tidak penting, karena mereka merasa pengukuran
tersebut tidak mempertimbangkan ketidakmerataan pada spasial ataupun sosial.
PENTINGNYA SKALA
Ketimpangan
dapat dilihat dari skala spasial khusus. Pengukuran ketimpangan yaitu dengan
Koefisien Gini dan Indeks Gini. Koefisien tersebut untuk mengukur ketimpangan
pendapatan atau ketimpangan konsumsi antara individu, rumah tangga, atau
kelompok. Bila koefisien Gini semakin mendekati 0 maka menunjukkan distribusi
pendapatan yang semakin sama, sedangkan bila mendekati 1 maka menunjukkan
ketimpangan. Negara-negara dengan koefisien Gini diantara 0.5 dan 0.7
menunjukkan distribusi pendapatan yang tidak sama, sedangkan koefisien Gini 0.2
– 0.35 menunjukkan distribusi yang relatif sama. Pengukuran Indeks Gini
digunakan oleh UNDP dengan range 0 – 100. Angka 0 menunjukkan kesamarataan dan
100 menunjukkan ketimpangan.
Ketika tingkat
pendapatan per kapita dan IPM “Memuaskan” sesuai dengan standar internasional,
akan tetapi tidak semua orang di negara tersebut memiliki tingkat pendapatan
standar hidup layak. Jika kita
mempertimbangkan indikator ekonomi dan kesejahteraan sosial, hal tersebut akan
terlihat jelas pada ketimpangan desa-kota dengan populasi desa yang secara umum
lebih buruk dibanding perkotaan.
Sebagai contoh
ketimpangan di Amerika Serikat, dengan GNP US$ 34,870 di tahun 2001, AS menjadi
salah negara terkaya di dunia. Bagaimanapun, jumlah rata-rata nasional tidak
menunjukkan ketimpangan yang besar pada pendapatan dan kehidupan yang sangat
berbeda. Dengan indeks Gini 40.8, menunjukkan bahwa tidak semua orang Amerika
memiliki bagian yang sama dari kekayaan negara. Berdasarkan Biro Statistik AS,
tahun 1973 sekitar 20% penghasilan di AS memiliki 44% dari total pendapatan.
Tahun 2000 meningkat menjadi 50%. Jumlah semua kesejahteraan, tidak hanya
pendapatan, menunjukkan pola yang sama pada ketimpangan, dengan 1% rumah tangga
yang paling kaya menyumbangkan 38% kesejahteraan nasional, sedangkan 80% rumah
tangga yang berada di bawah menyumbangkan 17%. Ketimpangan ekonomi juga
menunjukkan indikator sosial. Amartya Sen membandingkan beberapa kelompok di AS
dengan masyarakat di belahan selatan dunia menunjukkan bahwa orang Amerika
dapat menjadi posisi yang lebih buruk daripada rekan-rekan mereka di negara
miskin. orang Bangladesh memiliki kesempatan hidup melebihi usia 40 tahun
daripada orang Afrika-Amerika yang tinggal di kota makmur di New York
(1999:23).
MENGUKUR 'PEMBANGUNAN'
Hal yang sulit untuk mendefinisikan pembangunan.
Pembangunan diasumsikan sesuatu yang harus diukur dan dinilai. Dalam beberapa
pelaku pembangunan, mengukur suatu pembangunan dirasa penting. Contohnya mengetahui posisi
pembangunan, menilai dampak pembangunan serta informasi tentang kaum marginal.
Mengukur pembangunan dibutuhkan criteria-kriteria tertentu yang telah
disepakati. Sebagai contoh pembangunan ekonomi oleh Bank Dunia, indikator yang
digunakan pendapatan kotor nasional perkapita . Memutuskan suatu indikator
tidak langsung, kadang butuh pembahasan isu-isu yang sedang berkembang.
Masalah lain dalam mengukur pembangunan adalah
faktor pembandingnya. Bisa dilihat dari waktu ke waktu atau antar negara yang berbeda. Hal ini
membutuhkan data yang banyak, misal melalui sensus nasional. Selain itu sumber
daya yang signifikan (personil terlatih dan teknomogi menganalisis hasil).
Pengumpulan data dapat terganggu oleh kerusuhan politik atau perang, dan beberapa komunitas atau kelompok dapat dikecualikan dari survei dan studi lainnya dilihat secara sosial, ekonomi atau marjinal geografis (Chambers 1997).
Akhirnya, langkah-langkah pengukuran pembangunan hampir selalu kuantitatif, yaitu mereka
dapat dinyatakan dalam bentuk numerik. Fokus ini dimengerti untuk membuat
perbandingan waktu dan ruang, dan juga
untuk merumuskan data yang berjumlah
besar. Namun, dengan berfokus pada pengukuran kuantitatif, dimensi subjektif
kualitatif pembangunan dikecualikan. Ini berarti tidak termasuk
perasaan, pengalaman dan pendapat
individu dan kelompok. Pendekatan ini juga cenderung untuk memperkuat 'ide-ide
'orang luar tentang pembangunan', daripada pikiran orang lokal tentang 'pembangunan', atau seharusnya.
Sebuah contoh dari perdebatan ini adalah definisi 'kemiskinan' (McIlwaine
2002; White 2002). Definisi kemiskinan yang digunakan dalam target adalah
ekonomi dan pengukuran yang digunakan adalah garis kemiskinan. Orang yang hidup
kurang dari satu US $ 1 per hari didefinisikan dalam "kemiskinan ekstrim
'dan kurang dari US $ 2 per hari berada dalam 'Kemiskinan'. Namun, ekonomi
tersebut melihat kemiskinan sangat
terbatas dan mengasumsikan hubungan yang jelas antara pendapatan kemiskinan
dan pengukuran lain yang merugikan.
Karena itu, UNDP telah merancang Indeks Kemiskinan Penduduk (HPI). Ada
dua ukuran yang sedikit berbeda; HPI-2 untuk 17 negara Organisasi Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (negara-negara maju) dan HPI-1 untuk 88 negara
berkembang, namun keduanya mencakup
indikator kesehatan, pendidikan dan standar hidup. Pengukuran kemiskinan ini
cenderung diterapkan pada skala nasional. Indeks-indeks kemiskinan masih
mengecualikan pemeriksaan kualitatif terhadap pengalaman dari kemiskinan.
Tabel
1. Indeks Kemiskinan Penduduk
Penelitian kualitatif tentang kemiskinan menempatkan pengalaman dari orang yang terkena dampak langsung di inti penelitian. Untuk beberapa pendekatan pembangunan berpusat pada rakyat adalah kunci dan
menggambarkan pergeseran pertimbangan di tingkat nasional. Walaupun Bank Dunia
biasanya menggunakan pengukuran pembangunan kuantitatif, dalam persiapan 2000/2001
Laporan Pembangunan Dunia yaitu 'Menyerang Kemiskinan', menugaskan sebuah studi
besar yang berjudul “Suara-Suara Miskin' yang mencoba untuk meneliti pengalaman
kemiskinan di seluruh dunia (Parnwell 2003). Sementara informasi yang
dikumpulkan dalam penelitian ini dimasukkan
dalam Laporan Pembangunan Dunia 2000/2001, tampaknya telah kembali ke
ukuran kuantitatif (Williams dan
McIlwaine 2003). Diskusi tentang pengukuran kemiskinan menunjukkan bagaimana
bahkan yang paling 'dasar' dari pengukuran 'pembangunan' sulit untuk dinilai.
0 comments
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.