- Iseennnggg...........mumet ama tugass... inspirasi ini muncul saat lg makan malam di kos, saat memikirkan tugas, saat itu pula ide membuat kata-kata cinta yang sangat gombal ini, tentunya yang berhubungan dengan ke-PWK-an, alias ke-planologi-an, alias ilmu tentang perencanaan wilayah dan kota (tata kota)..dan ternyata saat aku posting, lumayan menghiburku...simak dehh.. :Ddg akar masalah, smoga permasalahan kita bisa teratasi ya sayang #gombalanpwkilmu pwk tentu jg mmudahkanQ mmbuat rencana2 tindak dan strategis tuk bisa melewati hidup bersamamu #gombalanpwkngerti sedikit sih ttg analisis cluster, tp tenang syg, aq akan meng-cluster-kan hatiku hanya tuk kamu #gombalanpwkdengan studi kelayakan, maka aku akan tahu apakah aku layak hidup bersamamu atau tidak :D #gombalanpwkdan tentu saja aku akan merancang bangunan yg berestetika untuk masa depan kita :D #gombalanpwkwalaupun aku tahu analisis diskriminan, tp aku takkan mendiskriminasi cintaku padamu #eaaaaaa #gombalanpwksaat aku jauh, dgn ilmu pwk, aq bisa mnggunakan penginderaan jauh ku tuk mngetahui keberadaanmu #gombalanpwkdgn ilmu pwk aq bs buatin peta buat pacar agar tdak tersesat di hati kita #gombalanpwkilmu pwk jg mngajarkanku tuk mnganalisis kesesuaian hati kita tuk bersama #gombalanpwkilmu pwk jg mngajarkanQ bhwa interaksi ruang hati akan mnjadi 1 sistem yg saling mmbutuhkan #gombalanpwkilmu pwk mngajarkanQ bgmna mlestarikan cintaku padamu,krna engkau sebuah nilai historis yg harus dijaga #gombalanpwkjika aq bukan anak pwk, aku takkan mengerti bagaimana menata ruang hatiku untukmu #gombalanpwkkrna aq ank pwk,aq slalu mencoba mngatasi segala keruwetan2 di hatimua #eaaaaaa #gombalanpwkjk aq bkn ank pwk,aq takkan mngerti btapa pentingnya menyediakan ruang terbuka tuk sgala aktivitasmu tnpa batas #gombalanpwkuntungx aq ank pwk,dg bgitu dsaat mndatang,dg brbgai teknik analisi,aq bs mengantisipasi kesedihan2 hatimu #gombalanpwkuntungnya aq ank pwk,dg bgitu aq tau cara mmanfaatkn&mngendalikan ruang2 kosong dsetiap sudut hatimu #gombalanpwk
Yeeyy .... setelah tugas yang cukup banyak, ujian selesai, liburan 2 minggu, tapi nggak libur karena tetep les...pfiuhh.. kasiannya....sampe akhirnya nekad deeh aku ke malang sebelum kuliah triwulan ke2 dimulai...Gila ajah belum sempet refresing udah kuliah lagi....
Akhirnya, sampai juga di malang.... haaa... udaranya sejuuukkkk, walau kata orang tidak sesejuk dulu, tetap saja masih sejuk kok, sejuknya bandungan di Semarang, tetep sejuk Malang, apalagi di Kota Batu..hehee...
Setelah jalan-jalan sebentar di Kota Malang, akhirnya meluncur ke Kota Batu, sekitar setengah jam dari Malang...
senaang ngeliat pemandangannya... yap, aku mengeluarkan sedikit kepalaku dari kaca jendela mobil..... menghirup udaranya, merasakan terpaan angin yang sejuk, me-rileks-kan diri, dan selalu mengucapkan "Halo Malang" walau nggak ngerti juga siapa yang aku ajak bicara... semoga aku nggak dikira gila dehh.....
Selama perjalanan, melihat perubahan kota, yaah, namanya juga baru beberapa bulan ditinggal jadinya nggak banyak berubah...tapi....ternyata udah ada Hypermart di Kota Batu, kota kecil yang memiliki agropolitan dan tanah pertaniannya yang banyak, ternyata ada pembangunan retail modern nya juga... :D
Akhirnya sampai juga di alun-alun kota Batu, yang dulunya hanya sebuah taman tempat kencan, duduk-duduk, tapi sekarang udah berubah menjadi sangat-sangat fungsional sekali.
Alun-Alun jaman dulu...
Kalau dulu, setiap jalan-jalan ke Kota Batu, paling-paling cuma makan di sekitar alun-alun, soalnya ada bakso yang enaak namanya Bakso Arif, baksonya gede-gede, segede bola tenis mungkin. Tapi sekarang, nggak cuma makan-makan saja, tapi juga lebih banyak tempat bermain bagi anak-anak.
Sebelum bermain-main (halah), makan dulu di warung dekat alun-alun yang biasanya dulu makan, tapi ternyata sudah dijadikan tempat parkir, wah digusur kemana yaah....gak mungkin tapi kalo digusur, trus gak ada tempat gantinya...celinguk celinguk...oalahh, ternyata ada agak ke belakang sendiri, khusus untuk tempat makannya.
Setelah makan, akhirnya ke alun-alun, pengen naik bianglala nya :D
tapi ternyata tutup, akhirnya duduk-duduk dulu, memang saat itu hari minggu jadi rame banget, banyak yang berkunjung.
Semua yang ada di alun-alun Batu memiliki simbol sesuai dengan karakteristik Kota Batu.
Buah Apel dari samping, tapi itu toilet untuk pengunjuang.
Strawberry, sepertinya ruang kantor kali ya,,,,
Bunderan di Alun-Alun dengan Patung Apel Sebagai Simbol Kota Apel
Alun-Alun dari bianglal
dari bianglala
Pusat alun-alun
Ternyata Kota Batu cepat sekali ya berkembangnya, tapi tetap, udara tidak mengalahkan kesejukan dari daerah manapun.
Seringkali terdengar di telinga kita
kata-kata ''sistem informasi geografis'', tapi mungkin kita tidak pernah
membayangkan bagaimana awal mula sistem informasi mulai dikembangkan.
Sebenarnya, sistem informasi telah ada
sejak dikembangkannya sistem komputer (generasi kedua). Pada akhir tahun 1950
ditemukan sistem komputer tersebut. Hingga akhirnya institusi swasta maupun
pemerintah memerlukan analisis-analisis yang bersifat geografis untuk mengambil
keputusan, oleh karena itu pada tahun 1963 dikembangkan sistem informasi
geografis. Negara pertama dalam pengembangan SIG tersebut yaitu negara Kanada,
bukan Amerika Serikat, dimana saat itu namanya CGIS (Canadian Geography
Information System). Dua tahun setelah penemuan itu, kemudian Amerika Serikat
membuat sistem yang serupa bernama MIDAS untuk memproses data-data sumberdaya
alam.
Sebenarnya, lingkungan akademis juga sudah
membuat sistem komputerisasi untuk pemetaan, walaupun pengembangan SIG dimulai
di lingkungan pemerintah seperti CGIS dan MIDAS. Universitas Harvard sudah
membuat laboratorium komputer grafik dan analisis spasial dan menghasilkan
beberapa produk pemetaan yaitu SYMAP (synagraphic mapping) pada tahun 1964,
CALFORM pada akhir tahun 1960, dan SYMVU juga pada tahun 1960, POLYVRT dan
ODYSSEY tahun 1970-an.
Di Belanda, kampus ITC mengembangkan SIG
pada tahun 1985 yang bernama ILWIS (integrated Land and water information
system); dimana sistem ini sudah dilengkapi dengan kemampuan (features) untuk
menggabungkan fungsionalitas pengolahan citra dijital, basis data relasional,
dan lainnya. Di Universitas Minnesota juga dikembangkan MapServer dan sampai
saat inipun Mapserver masih mendapat dukungan dari berbagai komunitas karena
memiliki kelebihan yaitu output/image kartografis dengan kualitas tinggi, dan
sebagai alat bantu visualisasi data SIG pada aplikasi browser dengan media
jaringan internet.
Perkembangan tersebut tentu memunculkan
berbagai industri baru untuk mengembangkan sistem SIG. Salah satu perusahaan
pengembang SIG yang terkenal adalah ESRI (Environmental System Research
Institute) didirikan oleh Jack Dangermond dan Laura Dangermond pada tahun 1969.
Pada tahun 1999, salah satu majalah perangkat lunak di Amerika Serikat meletakkan
ESRI pada urutan ke 49 dari 500 provider perangkat lunak terbesar di dunia yang
dicapai pada tahun 1998.
Pada tahun 1981, ESRI mengeluarkan
perangkat lunak Arc/Info. Tahun 1991, ESRI mengembangkan ArcView yang memiliki
tampilan menarik, interaktif, tingkat kemudahan yang tinggi dan masih digunakan
sampai sekarang. ArcGIS mengintegrasikan aplikasi-aplikasi ArcView (ArcMap),
ArcInfo, ArcCaralog, ArcEdit, dan lainnya kedalam enterprise pengelolaan,
analisis, dan presentasi data spasial.
Tidak hanya ESRI yang mengembangkan sistem
SIG, tapi juga MapInfo Corp yang mengembangkan perangkat SIG MapInfo pada
tahun 1986. MapInfo juga cukup diminati karena mudah digunakan, harga yang
relatif murah, tampilan yang interaktif dan menarik, user-friendly, struktur data
spasial relatif sederhana, fungsionalitas editing dan digitizing data
spasialnya sangat lengkap dan fleksibel, dan dapat di customized dengan
menggunakan bahasa pemrograman atau script.
Jika ada yang kurang info,bisa ditambahkan,
trims :)
Perkembangan
kota-kota di dunia pada tahun 1970-an menimbulkan pemikiran-pemikiran baru pada
ilmu perencanaan. Semua teori-teori tersebut telah diuji pada praktek
perencanaan sehingga ada kekurangan dan kelebihan masing-masing teori. Akan
tetapi, dalam essai ini akan dibahas mengenai persamaan dan perbedaan cara
pandang teori-teori perencanaan dari Tujuh Model Perencanaan Schoenwandt danModel SITAR Hudson (Synoptic, Incremental, Transactive, Advocacy, Radical).
Dari teori-teori tersebut kemudian dilakukan perbandingan teori untuk
mendefinisikan perbedaan dan persamaan dalam cara pandang masing-masing teori. Selain
itu, essai ini akan membahas tradisi
atau model perencanaan yang paling efektif dipergunakan untuk mengembangkan
tradisi pembangunan kota berbasis tata ruang di Indonesia.
A.
PERSAMAAN
1) Proses
Perencanaan
Dari proses perencanaan, kedua teori memiliki proses
perencanaan secara umum yaitu dari survey, analisis, hingga rencana.
Masing-masing model perencanaan yang dibuat oleh Schoenwandt dan Hudson mendefinisikan
tahap-tahap perencanaan tersebut, walaupun tidak spesifik. Hal tersebut
menunjukkan kesamaan cara pandang dalam proses perencanaan. Pada model
perencanaan Rasional oleh Schoenwandt mengatakan bahwa data yang digunakan
dalam perencanaan tersebut didominasi oleh data sekunder. Pada model
perencanaan Equity (Kesamaan) Schoenwandt juga dijelaskan bahwa dalam model
perencanaan tersebut perlu untuk mengumpulkan informasi. Begitu juga pada model
Transactive Planning Hudson mengatakan ada pelaksanaan survey lapangan walaupun
intensitas yang dilakukan masih kurang untuk memenuhi pelaksanaan perencanaan.
Model perencanaan Incremental Hudson juga melakukan interview untuk memperoleh
deskripsi instrumen perencanaan. Sedangkan untuk analisis yang dilakukan, model
perencanaan Rasional menggunakana analisis kuantitatif, begitu juga model
perencanaan Synoptic. Model perencanaan Synoptic Hudson ini menggunakan model
yang konseptual atau matematis sehingga sangat tergantung pada data. Untuk
model perencanaan yang lain bisa juga menggunakan analisis yang bersifat
sosial. Pada tahap rencana yang merupakan hasil akhir dari proses perencanaan
dilakukan oleh setiap model perencanaan walaupun setiap model perencanaan akan
berbeda tujuan spesifiknya.
2) Perhitungan
matematis
Persamaan antara model perencanaan Schoenwandt dan
Hudson yaitu analisis yang digunakan bersifat kuantitatif atau matematis,
walaupun ada beberapa menggunakan analisis sosial. Pada model Synoptic Planning
Hudson menggunakan analisis dari beberapa prosedur, misalnya analisis
benefit-cost, pelaksanaan penelitian, sistem analisis, dan peramalan
penelitian. Kemudian peramalan diturunkan menjadi model determinasi, model
probabilistik atau pendekatan judgemental. Model tersebut sama seperti analisis
pada model perencanaan rasional Schoenwandt yaitu menggunakan perhitungan
matematis sehingga perencanaan tersebut lebih mempercaya ilmu dan pengetahuan
dalam perencanaan atau paham positivistik.
3) Penentuan
alternatif
Dalam proses perencanaan, model perencanaan Schoenwandt
dan Hudson juga memperhatikan proses penentuan alternatif-alternatif untuk
menentukan hasil akhir perencanaan. Pada model perencanaan rasional Schoenwandt
menggunakan alternatif yang berbeda-beda dengan analisis yang dilakukan,
kemudian ditentukan pertimbangan dan akibat setiap alternatif. Setelah itu,
dipilih alternatif dengan akibat yang paling mungkin bisa diatasi. Sedangkan
model perencanaan synoptic Hudson juga menjelaskan salah satu elemen penting
perencanaan adalah penentuan alternatif, dan model perencanaan Incremental juga
merupakan campuran dari Synoptic dan Incremental sehingga tentunya proses
penentuan alternatif ini juga termasuk kesamaan dari teori Schoenwandt dan
Hudson. Pada synoptic planning juga dilakukan evaluasi terhadap
alternatif-alternatif dari perencanaan.
4) Perumusan
program perencanaan
Setelah ada pemilihan alternatif kebijakan maka
disusun perumusan program perencanaan. Cara pandang teori perencanaan Schoenwandt
dan Hudson juga memiliki kesamaan yaitu pada perumusan program perencanaan,
mungkin akan yang berbeda adalah tujuan perencanaannya. Pada synoptic planning
Hudson menjelaskan bahwa setelah dilakukan evaluasi alternatif kemudian dibuat
program perencanaan untuk implementasi selanjutnya. Pada Synoptic Planning
kemungkinan tindakan perencanaan yang dilakukan dengan skala besar dan strategi
penyelesaian masalah. Pada perencanaan Synoptic Planning menghasilkan
rencana-rencana atau dokumen, bahkan di beberapa daerah langsung dilakukan
perencanaan tanpa adanya dokumen. Model perencanaan incremental Hudson yang
dilakukan melalui pengalaman, aturan praktis, bersifat teknis, dan konsultasi
terus menerus. Pada transactive planning, perencanaan mengacu pada evolusi
lembaga perencanaan yang terdesentralisasi untuk meningkatkan pengendali proses
sosial yang mengatur kesejahteraan. Radical Planning bertujuan untuk membuat
outcome jangka panjang. Adanya perubahan signifikan pada perencanaan radikal
dari bentuk sosial, ekonomi, dan hubungan sejarah yang diabaikan oleh ilmu
sosial dan filsafat liberal yang mendominasi perencanaan sosial.
5) Perhatian
pada kepentingan publik dengan pengadaan dialog
Persamaan selanjutnya yaitu bahwa model perencanaan Schoenwandt
dan Hudson juga melakukan dialog dengan masyarakat atau kelompok kepentingan
untuk mendapatkan masukan dalam perencanaan. Pada transactive planning Hudson,
fokus perencanaan berasal dari pengalaman masyarakat sehingga perencanaan
dilakukan dengan mengadakan pertemuan (dialog) dengan komunitas masyarakat.
Model transactive planning dan incremental planning melakukan dialog dan tawar
menawar pada kepentingan umum. Radical Planning memperhatikan keinginan
masyarakat dan keterpaduan ideologi yang memberi kekuatan efektif untuk
pengetahuan teknis.
Pada model Schoenwandt, model perencanaan yang
bersifat perhatian kepada kepentingan publik dengan cara berdialog yaitu model
perencanaan Equity, perencanaan advokasi, social learning and communicative
action, dan perencanaan radikal. Pada model perencanaan Equity perlu adanya
dialog baik dari dalam pemerintahan maupun dari luar pemerintahan. Pada perencanaan
advokasi, perencanaan ini membela yang lemah dan melawan yang kuat. Karena
bersifat advokasi, maka perencanaan ini terkait dengan hukum dan bisa
menghalangi rencana yang tidak peka dan menantang pandangan tradisonal dari
kepentingan publik. Perencana sebagai advokasi perencanaan maka dapat terjadi
negosiasi secara terbuka atas kemauan masyarakat.
6) Keterlibatan
politik
Persamaan selanjutnya yaitu setiap model perencanaan
pasti ada keterlibatan politik walaupun keterlibatan tersebut tidak secara
langsung ataupun pengaruhnya kecil. Pada model perencanaan rasional Schoenwandt,
perencanaan ini kurang dipengaruhi oleh politik dan lebih banyak dipengaruhi
oleh teknisi. Pada model perencanaan advokasi Schoenwandt, pengaruh politik
kuat, sedangkan pada (neo) Marxist pengaruh politik kurang, pada perencanaan
Equity juga masih ada pengaruh politik, dan pada perencanaan radikal pengaruh
politik tidak secara langsung terlibat dalam proses. Pada model perencanaan
Hudson, perencanaan yang masih ada pengaruh politik yaitu synoptic planning,
radical planning, dan advocacy planning.
B.
PERBEDAAN
1) Pembagian
tugas perencana secara jelas
Pada teori Tujuh Model Perencanaan Schoenwandt sudah
dijelaskan secara jelas tugas-tugas perencana, sedangkan pada model pembangunan
Hudson belum dijelaskan. Pada model perencanaan Rasional Schoenwandt
menunjukkan bahwa perencana merupakan teknisi atau expert dalam perencanaan
dengan analisis matematis. Pada perencanaan advokasi Schoenwandt perencana sebagai
pengacara yang membantu memberi nasihat atau advokasi pada masyarakat mengenai
kebutuhannya, tetapi pada perencanaan (neo) Marxist, tidak ada definisi tugas
baru sehingga menggunakan pembagian tugas sebelumnya. Perencanaan tersebut
hanya berbeda pada perubahan status negara sebagai negara kapitalis atau
borjuis. Pada perencanaan Equity, perencana sebagai komunikator dan
propagandis, tugas tersebut juga hampir sama dengan perencanaan social learning
and communicative action. Pada perencanaan radikal, perencana harus memberi
dukungan pada masyarakat terhadap perencanaan yang mereka inginkan. Pada
perencanaan liberalistik, perencana membiarkan perencanaan berjalan sendiri,
tidak ada intervensi rencana jika sistem pasar bebas gagal.
2) Pendekatan
perencanaan
Pada teori perencanaan Schoenwandt sudah membahas
pendekatan perencanaan setiap model perencanaa, apakah top-down atau bottom-up,
sedangkan pada model Hudson (SITAR) belum dijelaskan. Pendekatan perencanaan
top-down yaitu perencanaan rasional dan (neo) marxist, sedangkan pendekatan
perencanaan bottom-up yaitu perencanaan advokasi, equity, social learning and
communicative action, dan perencanaan radikal.
3) Konsensus
Pada teori perencanaan Schoenwandt sudah membahas
apakah model perencanaan hingga tahap konsensus atau tidak. yang kemudian
dibentuk konsensus untuk penentuan program perencanaan. Akan tetapi, tidak
semua model perencanaan tersebut hingga tahap konsensus, lebih banyak hanya
sampai melakukan dialog dengan masyarakat atau kelompok kepentingan tanpa ada
hasil konsensus. Model perencanaan yang menggunakan konsensus yaitu Model
Social Learning and Communicative Action. Hal tersebut belum terlihat pada
model perencanaan Hudson (SITAR).
4) Perencanaan
yang bersifat liberalistik
Pada model perencanaan Hudson (SITAR) belum
mempertimbangkan daerah yang tidak mengintervensi tindakan perencanaan atau
bersifat mengikuti pasar bebas. Semakin berkembangnya zaman, maka muncul
teori-teori baru untuk melengkapi teori sebelumnya, dimana teori Hudson belum
ada model perencanaan yang liberal. Teori Schoenwandt melengkapi teori Hudson
mengenai perencanaan liberalistik. Perencanaan tersebut berjalan sendiri,
sesedikit mungkin merencanakan, dan memberik ganti rugi terhadap pelanggaran
hak-hak individu.
5) Asumsi
karakteristik publik
Pada model perencanaan Hudson tidak dijelaskan
asumsi karakteristik publik pada daerah perencanaan, sedangkan pada model
perencanaan Schoenwandt sudah ada pembedaan karakteristik setiap model.
Perencanaan rasional mengasumsikan bahwa karakteristik publik itu homogen baik
sosial etnik maupun dari gender, kemudian berkembang teori perencanaan advokasi
Schoenwandt bahwa karakteristik publik tersebut tidak homogen.
Berdasarkan
karakteristik model perencanaan Schoenwandt dan Hudson, maka perencanaan yang
efektif yang bisa diterapkan di Indonesia yaitu mixed-scanning antara model
perencanaan Rasional Schoenwandt atau Synoptic Hudson dan Social
Learning and Communicative Planning Schoenwandt. Model perencanaan tersebut
merupakan campuran antara top-down planning dan bottom-up planning.
Alasannya
yaitu masyarakat harus diberi pemahaman atas ilmu yang dimiliki perencana,
semua partisipan harus mendapatkan informasi yang sama dan sudut pandang yang
terwakili sehingga perlu perencana yang bisa berkomunikatif secara efektif dan
efisien kepada masyarakat. Bila hal tersebut tercapai, maka tujuan demokratif
akan tercapai. Dalam hal ini, peran pemerintah juga harus ada, dimana
prosedur-prosedur teknis dilakukan untuk mencapai perencanaan rasional.
Kita
perlu melihat karakteristik masyarakat Indonesia, dimana masyarakat tidak bisa
langsung saja menerima rencana pemerintah, apalagi terkait dengan kehidupan
masyarakat secara langsung. Oleh karena itu perlu pemahaman terlebih dahulu
dari masyarakat. Pengalaman dan keinginan masyarakat sebagai masukan terhadap
perencanaan. Sebenarnya dengan adanya dialog dengan masyarakat dan rencana
masyarakat bisa dimasukkan dalam rencana, maka bisa menimbulkan sikap saling
percaya antara pemerintah dan masyarakat.
Perencanaan
yang terjadi saat ini dimana apa yang diusulkan masyarakat pada akhirnya tidak
diaplikasikan pada implementasinya, sehingga bisa jadi masyarakat menjadi
kurang percaya kepada pemerintah, dan pada akhirnya tidak antusias lagi dalam
menghadapi penyelesaian permasalahan pada perencanaan kota. Kepercayaan dari
pemerintah kepada masyarakat juga harus dibangun bahwa masyarakat yang langsung
mengalami hasil dari perencanaan. Apabila ada masukan dari masyarakat yang
tidak sesuai dengan aturan atau prosedur, maka perencana harus bisa
berkomunikatif dengan baik agar masyarakat memiliki pemahaman dan bisa belajar
dari perencanaan.
Definisi Evaluasi/Analisis Kebijakan
Evaluasi perencanaan adalah penilaian yang sistematis pada
aspek lingkungan, social, ekonomi, fiscal, dan implikasi infrastruktur pada
guna lahan dan rencana pengembangan. Dalam teori, evaluasi merupakan
perbandingan kuantitatif dari alternative-alternatif rencana pada hasil yang
actual atau potensial dari tujuan dan sasaran yang dipilih (Kaiser, et al,
1995:426).
Menurut Patton, et al (1986:18-19), analisis
kebijakan dapat dilakukan sebelum dan setelah kebijakan diimplementasikan.
Analisis kebijakan secara deskriptif terkait dengan analisis historis kebijakan
yang telah ada dan evaluasi kebijakan baru. Istilah analisis kebijakan secara
deskriptif yaitu analisis kebijakan ex-post, post-hoc, atau analisis kebijakan
retrospective. Selanjutnya, istilah tersebut dibagi menjadi dua yaitu
retrospective dan evaluatif, dimana analisis kebijakan retrospective
mendeskripsikan dan menginterpretasikan kebijakan yang telah ada, sedangkan
analisis kebijakan evaluatif terkait dengan evaluasi program apakah program tersebut
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Patton, et al, 1986:18-19).
Analisis kebijakan yang memfokuskan pada
outcome dari tujuan kebijakan disebut ex-ante, pre-hoc, anticipatory, atau
analisis kebijakan prospective. Analisis
ini lebih dahulu implementasi kebijakan
dapat dibagi menjadi analisis kebijakan predictive dan prescriptive. Analisis
kebijakan predictive merupakan proyeksi dari hasil alternatif-alternatif di
masa datang, sedangkan analisis kebijakan prescriptive mengacu pada analisis
yang merekomendasikan suatu tindakan karena tindakan tersebut akan membawa hasil tertentu.
Analisis kebijakan prescriptive menampilkan hasil analisis dan memberi
rekomendasi. Asumsinya yaitu analis memahami nilai, tujuan, dan sasaran
(Patton, et al, 1986:19).
Tipe-tipe evaluasi perencanaan
Ada dua tipe evaluasi perencanaan yaitu preadoption
evaluation dan postadoption monitoring dan evaluasi.
1)
Preadoption evaluation.
Sebelum adopsi, evaluasi perencanaan merupakan alat untuk merancang dan membuat
keputusan. Perencana dapat menggunakan evaluasi untuk membandingkan alternative
desain dan menyarankan peningkatan (Kaiser, et al, 1995:434).
2) Postadoption
monitoring dan evaluasi. Setelah rencana guna lahan diadopsi kemudian
diimplementasikan untuk melihat bagaimana perencanaan dapat berjalan pada
prakteknya. Monitoring dan evaluasi merupakan proses untuk mengumpulkan
informasi pada hasil/outcome dari implementasi rencana guna lahan dan program
manajemen pengembangan. Hal tersebut digunakan untuk mengukur progress dalam pencapaian
tujuan, sasaran, dan keijakan; untuk mengidentifikasi revisions needed untuk
merespon perubahan kondisi regional dan local; dan menyediakan informasi pada
kecenderungan dan kondisi (Kaiser, et al, 1995:437). Langkah pertama dalam
merancang monitoring dan evaluasi adalah memilih tujuan rencana. Langkah kedua
yaitu mengidentifikasi sumber data, memilih data yang dikumpulkan, dan
establish koleksi dan recording prosedur (Kaiser, et al, 1995:438).
Enam Langkah Dasar Analisis Kebijakan
Langkah-langkah dalam analisis kebijakan
yaitu identifikasi masalah, penentuan kriteria evaluasi, identifikasi
alternatif, evaluasi alternatif, perbandingan alternatif, dan penilaian outcome.
Gambar 1. Proses Dasar Analisis
Kebijakan (Patton, et al, 1986:26)
Langkah 1 yaitu menentukan masalah. Pada
tahap ini, analis harus memiliki informasi yang cukup untuk melakukan analisis.
Tantangan pada tahap ini yaitu memutuskan masalah yang berarti, mengeliminasi
masalah yang tidak relevan, membuktikannya dengan kuantifikasi, fokus, tingkat
urgensi, dan menghilangkan ambiguitas (Patton, et al, 1986:29).
Langkah 2 yaitu menentukan kriteria evaluasi.
Untuk membandingkan, mengukur, dan memilih alternatif-alternatif, kriteria
evaluasi yang relevan harus ditetapkan. Pengukuran yang biasa digunakan yaitu
cost, net benefit, efektifitas, efisiensi, kesamaan, kemudahan administrasi,
legalitas, dan diterima secara politik (Patton, et al, 1986:30). Analis
harus mengidentifikasi kriteria yang memusatkan pada masalah dan relevan
terhadap peserta pada proses keputusan. Analis mencari kriteria yang memenuhi
syarat tersebut, tetapi terkadang kriteria ditentukan dari data yang tersedia.
Meskipun demikian, menentukan kriteria evaluasi dan memutuskan dimensi-dimensi
dimana alternatif diukur karena analis menjelaskan nilai, tujuan, dan sasaran
pada bagian yang berpengaruh dan menarik perhatian, dan membuat outcome yang
diinginkan dan tidak diinginkan secara jelas. Kemungkinan adanya tambahan
kriteria ketika pada analisis selanjutnya (Patton, et al, 1986:31).
Langkah 3 yaitu identifikasi alternatif
kebijakan. Analis harus memahami nilai, tujuan, dan sasaran dan semua yang
terlibat dalam kegiatan perencanaan. Analis harus memiliki
alternatif-alternatif yang mungkin. alternatif dapat diidentifikasi melalui
analisis penelitian dan percobaan, dengan teknik brainstorming dan membuat
skenario (Patton, et al, 1986:31-32).
Langkah 4 yaitu evaluasi alternatif
kebijakan. Pada tahap ini, sangat memungkinkan adanya data tambahan dari suatu
alternatif. Pada tahap ini, penting bagi analis untuk mengetahui perbedaan
antara kelayakan teknis/ekonomis dan alternatif yang diterima secara politik (Patton,
et al, 1986:33).
Langkah 5 yaitu memilih alternatif kebijakan.
Pemilihan alternatif kebijakan dilakukan setelah kriteria dinumerisasikan,
dijumlahkan setiap alternatif, kemudian bisa diketahui jumlah tertinggi dari
setiap alternatif sebagai alternatif yang dipilih (Patton, et al, 1986:34).
Langkah 6 yaitu monitor outcome kebijakan.
Kegiatan monitoring ini dilakukan untuk mengawasi program dan kebijakan selama
implementasi untuk meyakinkan bahwa program tersebut tidak keluar dari tujuan
yang ingin dicapai, untuk mengukur dampak yang timbul, dan memutuskan apakah
program tersebut layak untuk diteruskan ataukah tidak (Patton, et al,
1986:36).
Menurut Cadwallader (1985) dalam Sadyohutomo
(2008:25), langkah-langkah dalam perumusan kebijakan yaitu:
- Pengkajian masalah yaitu memahami permasalahan yang dihadapi dan merumuskan dalam suatu struktur sebab-akibat (Cadwallader, 1985, dalam Sadyohutomo, 2008:25).
- Penentuan tujuan yaitu menentukan sesuatu yang merupakan keinginan, cita-cita dimasa mendatang dimana tujuan tersebut harus jelas, terukur, realistis, dan mudah dipahami (Cadwallader, 1985, dalam Sadyohutomo, 2008:25).
- Perumusan alternatif Kebijaksanaan yaitu dengan merumuskan cara untuk mencapai tujuan, yang dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
·
Pelaksanaan evaluasi dan perbaikan secara berangsur (incremental)
·
Pelaksanaan dilakukan dengan melihat kebijaksanaan yang pernah
dilakukan kemudian dicoba diterapkan pada bidan yang dihadapu.
·
Menyusun struktur sebab-akibat dan kemungkinan untuk merumuskan metode
baru.
Cadwallader (1985)
dalam Sadyohutomo (2008:25)
- Penyusunan model. Penyusunan model dilakukan untuk mempresentasikan kebijaksanaan yang diwujudkan dalam bentuk skema, diagram, atau persamaan sistematis. Langkah ini bisa dilakukan setelah langkah pengkajian masalah paralel dengan langkah penentuan tujuan dan perumusan alternatif kebijaksanaan.
- Penentuan Kriteria. Penentuan kriteria untuk menilai alternatif harus jelas dan konsisten. Pertimbangan dalam menyusun kriteria tersebut yaitu ekonomi, politik, administratif, nila agama, etika, budaya, filsafat, dan lain-lain.
- Penilaian alternatif. Penilaian alternatif dilakukan untuk mengukur efektivitas dan fisibilitas setiap alternatif dalam mencapai tujuan dan kemudian dipilih satu atau beberapa alternatif untuk direkomendasikan.
- Perumusan rekomendasi. Menyusun rekomendasi dari alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan beserta strategi-strategi pelaksanaannya.
Masyarakat tradisional pada
umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan sekitarnya. Mereka berasal dari
berbagai ekosistem yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan
dengan alam secara harmonis. Mereka mengenal cara-cara memanfaatkan sumber daya
alam secara berkelanjutan, seperti pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Gayo
(Aceh) di Lokop, Talang Mamak pada masyarakat Riau, Sasi pada masyarakat
Maluku, dan lain-lain (Primack, et al, 1998:297).
Bentuk partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam bersifat langsung dan tak langsung. Bentuk
partisipasi masyarakat secara langsung yaitu upaya pencadangan suatu kawasan
agar terbebas dari aktivitas manusia, seperti larangan aktivitas penduduk di
area yang dianggap keramat dan suci di Gunung Butak, dan di gunung tersebut
terdapat mata air untuk pemenuhan kebutuhan warga. Partisipasi masyarakat
secara tidak langsung yaitu upaya pengembangan peran dengan karakteristik dan
tingkat daya dukung alam di tempat yang bersangkutan. Contoh pada partisipasi
tersebut yaitu masyarakat Baduy di Jawa Barat yang memiliki teknik perladangan
yang berpindah-pindah (Primack, et al, 1998:297).
A. Definisi Pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara darat dan
laut sehingga secara fisik terdiri atas darat dan laut. Bagian darat di wilayah
pesisir yaitu bagian darat yang masih dipengaruhi sifat-sifat air laut, seperti
pengaruh pasang surut, ombak, angin laut, dan perembesan air laut. Bagian laut
mencakup bagian perairan yang masih dipengaruhi oleh proses alami di darat,
seperti aliran air tawar dan sedimentasi dari daratan. Penggunaan tanah di
wilayah pesisir mengalami gradasi perubahan yang tajam bila dibandingkan dengan
wilayah daratan dan laut (Sadyohutomo, 2006:61-62).
Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang
memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik
melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground
water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan
terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual,
hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat
(bumi), lingkungan laut, dan aktivitas manusia, seperti disajikan pada berikut (Rahmawaty, 2004:5).
Gambar 1. Keterkaitan Lingkungan
Darat, Laut, Dan Aktivitas Manusia Di Wilayah Pesisir
(Sumber: Rahmawaty, 2004:5)
B.
Ekosistem Pesisir dan Laut
Ekosistem yang ada di pesisir dan laut
sangat beranekaragam. Ekosistem tersebut terdiri dari ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem padang
lamun, dan ekosistem eustaria.
1) Ekosistem Terumbu Karang
Fungsi ekologis
dari terumbu karang adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota
laut. Selain itu, fungsi ekonomis terumbu karang adalah menghasilkan berbagai
jenis ikan, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara (Dahuri, et al,
2001:86).
Ekosistem terumbu
karang terdapat di perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan
gugusan pulau-pulau di daerah tropis. Terumbu karang memerlukan perairan yang
jernih, suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi
air lancar, dan terbebas dari sedimentasi (Dahuri, et al, 2001:197).
Rusaknya terumbu karang akan mengakibatkan terjadinya erosi di pantai yang akan
berakibat pula pada lokasi permukiman dan pola tata guna lahan setempat.
Degradasi terumbu karang merupakan akibat pengelolaan pantai dan daerah hulu
yang kurang baik sehingga tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke perairan
dan menutupi terumbu karang (Dahuri, et al, 2001:198).
2) Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove
merupakan ekosistem pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan
lautan. Hutan mangrove sebagai fungsi ekologis dalam penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan
abrasi, angin taufan, tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan
sebagainya. Selain sebagai fungsi ekologis, hutan mangrove juga memiliki fungsi
ekonomis yaitu penyedia kayu, daun-daunan baku untuk obat-obatan, dan lain-lain
(Dahuri, et al, 2001:82).
Mangrove dapat
tumbuh dan berkembang secara maksimum pada kondisi penggenangan dan sirkulasi
air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen terus menerus,
sirkulasi yang terus menerus meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk
keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan tumbuhan. Secara umum, mangrove
tahan akan gangguan-gangguan dan tekanan lingkungan, akan tetapi peka terhadap
pengendapan/sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian, dan
tumpahan minyak. Hal tersebut menyebabkan penurunan kadar oksigen sehingga
mengganggu mangrove untuk kebutuhan respirasi dan kelama-lamaan menyebabkan
kematian mangrove (Dahuri, et al, 2001:202).
Permasalahan utama adalah pengaruh dan tekanan habitat
mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan
mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan,
kegiatan-kegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi seperti ini
habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini disertai dengan hilangnya ruang terbuka hijau yang
jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi, et al, 2009: 55).
Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan
tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat
berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga
merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan
plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami
(Mulyadi, et al, 2009: 52).
3) Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun
dapat ditemui di perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Fungsi dari padang lamun yaitu sebagai penstabil dasar laut, penangkap sedimen,
penyedia makanan bagi ikan, habitat berbagai macam ikan, pupuk, bahkan biji
padang lamun untuk makanan manusia (Dahuri, et al, 2001:89-92). Ekosistem
padang lamun dapat bertahan hidup pada perairan yang dangkal, memiliki substrat
yang lunak, dan perairan yang cerah. Ekosistem padang lamun tidak dapat tumbuh
di kedalaman lebih dari 20 meter, kecuali
perairan tersebut sangat jernih dan transparan. Kerusakan padang lamun yang
terjadi saat ini diakibatkan oleh kegiatan pengerukan, reklamasi, penimbunan
yang semakin meluas, dan pencemaran air, termasuk pembuangan limbah garam,
fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri,
dan limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Kehilangan padang lamun
diindikasikan hilangnya biota laut, diakibatkan oleh kerusakan habitat (Dahuri,
et al, 2001:204).
4) Ekosistem Eustaria
Ekosistem
eustaria memiliki kemampuan untuk pemulihan dan pemeliharaan secara alami
secara luar biasa setelah mengalami gangguan, bila karakter dasar habitat yang
menyokong formasi ekosistem tersebut terpelihara. Faktor-faktor riskan yang
mempengaruhi kehidupan ekosistem eustaria yaitu salinitas, suhu, dan siklus
nutrien. Saat ini kondisi eustaria sudah mengkhawatirkan, terutama pada
daerah-daerah industri, perkotaan, atau padat penduduk. Degradasi ekosistem
eustaria terjadi karena adanya pembuangan limbah secara terus menerus yang
berdampak pada kematian ikan secara tiba-tiba dan hewan laut lainnya dimana
hewan-hewan tersebut merupakan bagian dari rantai makanan. Hewan-hewan laut
tersebut mati maka akan memutuskan rantai makanan yang pada akhirnya juga
berpengaruh pada kehidupan manusia (Dahuri, et al, 2001:206).
Pada tahun 2000, United
Nations mengadopsi MDGs (Millennium Development Goals yang dihasilkan pada
konferensi internasional sekitar tahun 1990-an) yang dianggap cukup
mendefinisikan tujuan global. Dalam hal ini, hasil dari pencapaian tujuan
dianggap lebih penting dibanding bagaimana proses pencapaiannya. MDGs tersebut
meliputi:
1.
Memberantas
kemiskinan dan kelaparan;
2.
Mencapai tingkat pendidikan yang lebih baik;
3.
Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
4.
Mengurangi
kematian anak;
5.
Meningkatkan
kesehatan kelahiran;
6.
Melawan
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya;
7.
Memastikan
keberlanjutan lingkungan;
8.
Mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.
Dalam
mendefinisikan pembangunan atau ‘development’ itu sendiri, ada berbagai sudut
pandang. Pembangunan seringkali juga diasosiasikan sebagai bentuk ‘modernisasi’
yang dianggap sebagai progres kemajuan, bisa dari sudut pandang teknologi,
ekonomi, atau sosial. Namun, argumen tentang pembangunan sebagai modernisasi
muncul seiring interpretasi modernisasi yang berdampak pada krisis budaya,
perusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup. Pembangunan dilihat
dari sudut pandang sebagai proses kemajuan ekonomi memang sudut pandang yang
paling umum. World Bank sendiri
misalnya menjadikan GNP (Gross National Product per capita) sebagai dasar untuk
membagi negara-negara ke dalam kategori-kategori pembangunan. Namun cara ini
merupakan cara paling umum untuk melihat tingkat pembangunan suatu negara
secara ekonomi dimana total GNP dibagi dengan jumlah populasi negara. Kategorinya
meliputi negara berpenghasilan rendah (US$746 - 2.975), negara berpenghasilan
menengah (US$2.976 – 9.205), dan negara berpenghasilan tinggi (US$9.206 atau
lebih).
PEMBANGUNAN MANUSIA
Dalam
menentukan kesejahteraan manusia atau dimensi non-ekonomi biasanya menggunakan
indikator GNP, akan tetapi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) lebih sering digunakan dimana IPM dirancang oleh
UNDP. IPM mengklasifikasikan tiap negara kedalam golongan pembangunan
masyarakat rendah, sedang, dan tinggi. Pengukuran ini mencakup tiga dimensi
pembangunan dalam kesejahteraan manusia: kehidupan yang sehat dan lama,
pendidikan dan pengetahuan, dan standar hidup yang layak. UNDP memilih empat
indikator kuantitatif dalam mengukur dimensi tersebut.
Gambar 1. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia
Indikator-indikator
harus dikonversi menjadi indeks 0 sampai 1 untuk memungkinkan pembobotan yang
sama antara tiga dimensi. Setelah nilai indeks dihitung pada setiap dimensi,
nilai tersebut dirata-ratakan dan hasil akhirnya adalah nilai IPM. Semakin
tinggi nilai, maka semakin tinggi tingkat pembangunan manusia. Negara-negara
pada Eropa Barat, AS, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru memiliki GNP
dan IPM yang tinggi, sedangkan beberapa negara di Afrika Sub-Sahara
dikategorikan sebagai negara dengan pendapatan rendah dan IPM rendah.
Ada beberapa
alasan mengapa pengukuran IPM tidak tepat. Pertama, ada tumpang tindih
(overlap). Sebagai contoh, ketika Cina dan Argentina diklasifikasikan sebagai
negara pendapatan medium, akan tetapi nilai IPM negara tersebut menunjukkan kategori pembangunan manusia
tinggi. Selain itu, negara India yang dikategorikan sebagai negara pendapatan
rendah oleh Bank Dunia, tetapi pada penilaian UNDP, negara India merupakan
kelompok pembangunan manusia menengah. Bagi beberapa orang, diskusi pengukuran
yang tepat pada status nasional tidak penting, karena mereka merasa pengukuran
tersebut tidak mempertimbangkan ketidakmerataan pada spasial ataupun sosial.
PENTINGNYA SKALA
Ketimpangan
dapat dilihat dari skala spasial khusus. Pengukuran ketimpangan yaitu dengan
Koefisien Gini dan Indeks Gini. Koefisien tersebut untuk mengukur ketimpangan
pendapatan atau ketimpangan konsumsi antara individu, rumah tangga, atau
kelompok. Bila koefisien Gini semakin mendekati 0 maka menunjukkan distribusi
pendapatan yang semakin sama, sedangkan bila mendekati 1 maka menunjukkan
ketimpangan. Negara-negara dengan koefisien Gini diantara 0.5 dan 0.7
menunjukkan distribusi pendapatan yang tidak sama, sedangkan koefisien Gini 0.2
– 0.35 menunjukkan distribusi yang relatif sama. Pengukuran Indeks Gini
digunakan oleh UNDP dengan range 0 – 100. Angka 0 menunjukkan kesamarataan dan
100 menunjukkan ketimpangan.
Ketika tingkat
pendapatan per kapita dan IPM “Memuaskan” sesuai dengan standar internasional,
akan tetapi tidak semua orang di negara tersebut memiliki tingkat pendapatan
standar hidup layak. Jika kita
mempertimbangkan indikator ekonomi dan kesejahteraan sosial, hal tersebut akan
terlihat jelas pada ketimpangan desa-kota dengan populasi desa yang secara umum
lebih buruk dibanding perkotaan.
Sebagai contoh
ketimpangan di Amerika Serikat, dengan GNP US$ 34,870 di tahun 2001, AS menjadi
salah negara terkaya di dunia. Bagaimanapun, jumlah rata-rata nasional tidak
menunjukkan ketimpangan yang besar pada pendapatan dan kehidupan yang sangat
berbeda. Dengan indeks Gini 40.8, menunjukkan bahwa tidak semua orang Amerika
memiliki bagian yang sama dari kekayaan negara. Berdasarkan Biro Statistik AS,
tahun 1973 sekitar 20% penghasilan di AS memiliki 44% dari total pendapatan.
Tahun 2000 meningkat menjadi 50%. Jumlah semua kesejahteraan, tidak hanya
pendapatan, menunjukkan pola yang sama pada ketimpangan, dengan 1% rumah tangga
yang paling kaya menyumbangkan 38% kesejahteraan nasional, sedangkan 80% rumah
tangga yang berada di bawah menyumbangkan 17%. Ketimpangan ekonomi juga
menunjukkan indikator sosial. Amartya Sen membandingkan beberapa kelompok di AS
dengan masyarakat di belahan selatan dunia menunjukkan bahwa orang Amerika
dapat menjadi posisi yang lebih buruk daripada rekan-rekan mereka di negara
miskin. orang Bangladesh memiliki kesempatan hidup melebihi usia 40 tahun
daripada orang Afrika-Amerika yang tinggal di kota makmur di New York
(1999:23).
MENGUKUR 'PEMBANGUNAN'
Hal yang sulit untuk mendefinisikan pembangunan.
Pembangunan diasumsikan sesuatu yang harus diukur dan dinilai. Dalam beberapa
pelaku pembangunan, mengukur suatu pembangunan dirasa penting. Contohnya mengetahui posisi
pembangunan, menilai dampak pembangunan serta informasi tentang kaum marginal.
Mengukur pembangunan dibutuhkan criteria-kriteria tertentu yang telah
disepakati. Sebagai contoh pembangunan ekonomi oleh Bank Dunia, indikator yang
digunakan pendapatan kotor nasional perkapita . Memutuskan suatu indikator
tidak langsung, kadang butuh pembahasan isu-isu yang sedang berkembang.
Masalah lain dalam mengukur pembangunan adalah
faktor pembandingnya. Bisa dilihat dari waktu ke waktu atau antar negara yang berbeda. Hal ini
membutuhkan data yang banyak, misal melalui sensus nasional. Selain itu sumber
daya yang signifikan (personil terlatih dan teknomogi menganalisis hasil).
Pengumpulan data dapat terganggu oleh kerusuhan politik atau perang, dan beberapa komunitas atau kelompok dapat dikecualikan dari survei dan studi lainnya dilihat secara sosial, ekonomi atau marjinal geografis (Chambers 1997).
Akhirnya, langkah-langkah pengukuran pembangunan hampir selalu kuantitatif, yaitu mereka
dapat dinyatakan dalam bentuk numerik. Fokus ini dimengerti untuk membuat
perbandingan waktu dan ruang, dan juga
untuk merumuskan data yang berjumlah
besar. Namun, dengan berfokus pada pengukuran kuantitatif, dimensi subjektif
kualitatif pembangunan dikecualikan. Ini berarti tidak termasuk
perasaan, pengalaman dan pendapat
individu dan kelompok. Pendekatan ini juga cenderung untuk memperkuat 'ide-ide
'orang luar tentang pembangunan', daripada pikiran orang lokal tentang 'pembangunan', atau seharusnya.
Sebuah contoh dari perdebatan ini adalah definisi 'kemiskinan' (McIlwaine
2002; White 2002). Definisi kemiskinan yang digunakan dalam target adalah
ekonomi dan pengukuran yang digunakan adalah garis kemiskinan. Orang yang hidup
kurang dari satu US $ 1 per hari didefinisikan dalam "kemiskinan ekstrim
'dan kurang dari US $ 2 per hari berada dalam 'Kemiskinan'. Namun, ekonomi
tersebut melihat kemiskinan sangat
terbatas dan mengasumsikan hubungan yang jelas antara pendapatan kemiskinan
dan pengukuran lain yang merugikan.
Karena itu, UNDP telah merancang Indeks Kemiskinan Penduduk (HPI). Ada
dua ukuran yang sedikit berbeda; HPI-2 untuk 17 negara Organisasi Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (negara-negara maju) dan HPI-1 untuk 88 negara
berkembang, namun keduanya mencakup
indikator kesehatan, pendidikan dan standar hidup. Pengukuran kemiskinan ini
cenderung diterapkan pada skala nasional. Indeks-indeks kemiskinan masih
mengecualikan pemeriksaan kualitatif terhadap pengalaman dari kemiskinan.
Tabel
1. Indeks Kemiskinan Penduduk
Penelitian kualitatif tentang kemiskinan menempatkan pengalaman dari orang yang terkena dampak langsung di inti penelitian. Untuk beberapa pendekatan pembangunan berpusat pada rakyat adalah kunci dan
menggambarkan pergeseran pertimbangan di tingkat nasional. Walaupun Bank Dunia
biasanya menggunakan pengukuran pembangunan kuantitatif, dalam persiapan 2000/2001
Laporan Pembangunan Dunia yaitu 'Menyerang Kemiskinan', menugaskan sebuah studi
besar yang berjudul “Suara-Suara Miskin' yang mencoba untuk meneliti pengalaman
kemiskinan di seluruh dunia (Parnwell 2003). Sementara informasi yang
dikumpulkan dalam penelitian ini dimasukkan
dalam Laporan Pembangunan Dunia 2000/2001, tampaknya telah kembali ke
ukuran kuantitatif (Williams dan
McIlwaine 2003). Diskusi tentang pengukuran kemiskinan menunjukkan bagaimana
bahkan yang paling 'dasar' dari pengukuran 'pembangunan' sulit untuk dinilai.