Read More
hari senin tanggal 11 Oktober 2010 jadi hari penentuan aku lulus atau ga lulus kuliah. Aku mau cerita kisah sidang skripsi. Di jurusanku urutan ujian skripsi: seminar proposal - seminar hasil - sidang.
Rasanya mau sidang skripsi ngga bisa tidur, ga mood makan, kepikiran macem2, takut ga bisa jawab. Pengalaman pas seminar hasil skripsi, sehari sebelumnya udah ngga bisa belajar, makanya pas mau sidang ini, sehari sebelumnya aku udah ngga belajar lagi. Belajarnya dua hari sebelumnya. Paz hari-H udah tinggal berdoa aja. Pasrah.

Read More
Tinjauan lokasi penelitian merupakan gambaran secara umum mengenai sejarah dan budaya bermukim masyarakat Tengger, dalam kaitannya dengan masyarakat Tengger di Dusun Ngadas. Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, terletak sekitar 45 kilometer arah timur kota Malang dan 20 kilometer dari pusat Kecamatan Poncokusumo.Desa Ngadas berada pada ketinggian 2.100 dari permukaan air laut (dpl) dan dikelilingi Pegunungan Semeru. 


Untuk mencapai Desa Ngadas harus melalui beberapa desa dan hutan di Kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (BTS). Batas administrasi Desa Ngadas, yaitu
Sebelah Utara              : Desa Moro rejo Kecamatan Tutur
Sebelah Selatan           : Desa Ranu Pani Kecamatan Senduro
Sébelah Barat              : Desa Gubuk Klakah Kecamatan Poncokusumo
Sebelah Timur             : Desa Ngadisari Kecamatan Sukopuro         
Desa Ngadas memiliki dua dusun yaitu Dusun Ngadas dan Dusun Jarak Ijo, akan tetapi yang menjadi wilayah studi adalah di Dusun Ngadas sebagai Krajan (pusat) Desa Ngadas.



sumber pima.kandangbuaya.com



Sejarah Dusun Ngadas


Penyebaran komunitas Tengger ke empat arah mata angin yang mengelilingi Gunung Bromo seolah menyimpan misteri mistik. Semacam konsep kearifan kejawen yang berbunyi, Suku Tengger seolah mengidentifikasi diri sebagai kiblat papat dan gunung Bromo sebagai pancer-nya. Artinya, keseluruhan aktivitas ritual suku Tengger terpusat di Gunung Bromo.

Desa Ngadas yang terletak di ujung timur Kabupaten Malang yang terpisah dengan desa lain membuat desa ini sangat orisinil dalam manjalankan adat dan budaya Tengger, baik adat desa maupun spiritualitas. Mereka tetap memegang teguh budaya yang diwariskan nenek moyangnya, ditunjukkan dengan menghormati para leluhur yang babat alas (buka lahan) untuk menghidupi keluarganya. Mereka tetap meyakini leluhur akan menciptakan kedamaian di desa. 


Masyarakat Ngadas masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan leluhurnya sejak tahun 1737. Desa Ngadas mempunyai berbagai macam keunikan budaya dan adat-istiadat. Di antaranya, berbagai macam upacara adat dan kebudayaan masih utuh yang terus diagungkan. 

Keyakinan mereka dengan menggelar upacara adat akan memberikan keselamatan desa dari bahaya.Pada awalnya Desa Ngadas merupakan hutan lebat. Seseorang yang bernama Mbah Sadek membabat hutan dan bermukim di daerah tersebut sebagai orang pertama. Kemudian, Mbah Sadek meninggal tahun 1831. Pada makam Mbah Sadek hingga kini masih tetap terjaga, bahkan di makam yang disakralkan masyarakat tersebut sering digunakan berbagai upacara adat, terutama saat melakukan ritual bersih desa.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dusun Ngadas sangat erat. Meskipun terdapat tiga agama yaitu Hindu, Budha, dan Islam, namun mereka hidup berdampingan secara rukun dan saling menghormati. Jika menyangkut tradisi masyarakat Tengger, mereka akan bersatu mengikuti adat yang berlaku yaitu sebagai masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Nyaris tanpa adanya keonaran, kekacauan, pertengkaran maupun pencurian. Suka bergotong royong dengan didukung oleh sikap toleransi yang tinggi, disertai sesuatu yang khas, karena senantiasa mengenakan “kain sarung” kemanapun mereka pergi. Tidak terbatas laki-laki, namun wanita pun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung. 

Masyarakat Tengger masih percaya dengan dengan roh halus, benda-benda gaib, tempat-tempat keramat serta berbagai mitos.Dalam kehidupan social masyarakat Tengger di Dusun Ngadas tidak terdapat pembagian kelas social secara khusus. 

Ternyata masih terlihat perbedaan pola bermukim berdasarkan agama tertentu di Dusun Ngadas. Masyarakat muslim Tengger di Dusun Ngadas dominasi tinggal di bagian desa yang memiliki kelerengan lebih rendah dibandingkan masyarakat yang beragama Hindu dan Budha. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sejarah masuknya agama-agama ke Dusun Ngadas.

Secara tradisi, masyarakat Tengger di pimpin oleh seorang dukun. Seorang kepala dukun biasanya berasal dari kalangan berkemampuan finansial cukup baik. Dalam struktur sosial masyarakat Tengger, posisi dukun, lebih-lebih kepala dukun, menduduki posisi teratas. Dalam urusan spiritual (yang juga berdimensi sosial), ia berada di atas kepala desa, bahkan di atas kepala daerah (bupati), karena ia bagai seorang begawan atau guru, atau suhu. Karena itulah, jabatan kepala dukun merupakan jabatan yang sangat strategis dalam struktur sosial masyarakat Tengger. 


Keunikan Bersarung

Masyarakat Tengger Dusun Ngadas memiliki keunikan pakaian sehari-hari. Mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak kurang dari 7 (tujuh) cara bersarung yang mereka kenal. Masing- masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri. 


Kakawung

Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang dimaksudkan agar bebas bergerak pada waktu ketempat mengambil air atau kepasar. Cara bersarung seperti ini tidak boleh digunakan untuk bertamu dan melayat. 


Sesembong

Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja diladang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di dada) agar tidak mudah terlepas. 


Sempetan

Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan. 


Kekemul

Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. 


Kekodong

Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat-tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. 


Sampiran

Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangannya. 

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger Dusun Ngadas memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong. Udeng dan sarung tidak tertinggal. Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap, kain wiron dan udeng, dengan segala perlengkapannya, sebagaimana yang digunakan di Jawa.


Mata Pencahariaan

Mayoritas masyarakat Dusun Ngadas suku Tengger Semeru bermata pencaharian sebagai petani. Mereka hidup dari bercocok tanam di kebun, ladang dan lahan pertanian yang terdapat di lereng pegunungan Bromo-Semeru. Masyarakat Dusun Ngadas bertanam tanaman yang lazim tumbuh pada daerah berhawa dingin, yaitu kentang, kol (kubis), dan bawang prei atau bawang daun. Kawasan Tengger di lereng gunung Bromo-Semeru ini berhawa dingin (sekitar 4º C pada malam hari dan sekitar 18º C pada siang hari). Pada masa panen, banyak pedagang dari luar Desa Ngadas yang datang ke Desa Ngadas untuk mengambil barang-barang komoditi pertanian untuk dijual di pasar Kota Tumpang dan Kabupaten Malang. Selain bermata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil masyarakat Dusun Ngadas bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, buruh, sopir, dan pengusaha jasa. Mata pencaharian masyarakat Tengger di Desa Ngadas ditunjukkan pada Tabel berikut.Mata Pencaharian Masyarakat Tengger di Desa Ngadas



Keterangan
Jumlah (orang)

Jasa Pemerintahan


Pegawai Desa
12
Pegawai Negeri Sipil (PNS)


Guru
2

Jasa Perdagangan

Warung
20
  
Kios
12
  
Toko
8

Jasa Angkutan dan Transportasi


Angkutan bermotor
125

Jasa Ketrampilan

  
Tukang Kayu
15
  
Tukang Batu
20
  
Tukang Jahit/Bordir
4
  
Tukang Cukur
8

Petani
1120
JUMLAH
2.034
Sumber : Pemerintah Desa Ngadas Tahun 2008




Kehidupan Religi dan Budaya

Masyarakat Tengger di Dusun Ngadas sarat dengan acara yang selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan maupun upacara adat. Karena sesanti Titi Luri yang mereka pegang teguh, maka setiap upacara dilakukan tanpa perubahan persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu. Titi Luri berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan agama, kepercayaan dan adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun. Masyarakat Dusun Ngadas memiliki kesenian yang sangat kental dibandingkan desa lain di Kawasan Bromo-Tengger-Semeru yaitu upacara adat dan tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat Tengger, yaitu


1.Upacara Kasada
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Ksada, adalah hari raya kurban masyarakat Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16 Bulan. Bulan Kasada yaitu pada saat bulan purnama. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur masyarakat Tengger yang bernama Raden Kusuma (Kyai Kusuma atau Dewa Kusuma). Raden Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, merelakan dirinya menjadi korban demi kesejahteraan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun, pewaris aktif tradisi Tengger. Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di kawah Gunung Bromo. Selain meminta sesuatu, dukun Tengger juga memberi sesuatu yaitu melaksanakan amanat Raden Kusuma yang diucapkan pada masa lalu, yaitu
“Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.”(Artinya: “Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan , kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”). Upacara Kasodoan dilakukan dirumah dengan membuat sesaji.

2.      Upacara Karo

Perayaan Karo atau Hari Raya Karo masyarakat Tengger jatuh pada bulan kedua dalam kalender Tengger (Bulan Karo). Upacara Karo sangat mirip dengan perayaan Lebaran atau Hari Raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Saat perayaan tersebut, masyarakat Dusun Ngadas saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan ini berlangsung selama satu hingga dua minggu. Selama perayaan tersebut, berpuluh-puluh ternak, ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dimakan. Bagi masyarakat Dusun Ngadas yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.
Seluruh masyarakat Dusun Ngadas, tidak membedakan agama, menyatu dalam perayaan upacara Karo. Perayaan dan selamatan Karo merupakan hasil kesepakatan Kanjeng Nabi dan Ajisaka untuk mengenang gugurnya dua abdi yang bernama Setya atau Alif dan Satuhu atau Hana, pengikut setia kedua tokoh tersebut. Menurut masyarakat Tengger, makna Karo adalah nylameti wong loro (mengadakan selamatan untuk dua orang, si Hana dan si Alif atau si Setya dan si Satuhu).
Upacara karo memiliki beberapa tahapan yang mempengaruhi pola ruang permukiman. Sebelum upacara inti biasanya diadakan bersih desa. Seminggu sebelum upacara diadakan acara Ping Pitu. Upacara tersebut menyiapkan kemenyan dan membawanya ke pemangku adat untuk meminta doa kemudian kemenyan tersebut di letakkan di rumah dan harus diganti setiap makan.
Tahapan upacara karo yaitu upacara Banten, Tumpeng Gede, Sesanding, dan Ngeroan. Upacara banten dilakukan di rumah kepala desa dan pemangku adat yang saat ini dijabat oleh Pak Ngatrulin yang memanjatkan doa dengan iringan sesajen yang dibawa oleh penduduk Desa Ngadas.
Tahapan berikutnya dalah tumpeng Gede. Dalam upacara tersebut penduduk Desa Ngadas membawa sesaji ke rumah kepasla desa kemudian sesaji yang merekas bawa didoakan oleh Pak Ngatrulin selaku pemangku adat. Sejaji tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat. Tahapan selanjutnya yaitu upacara sesanding. Dalam upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat di rumah masing – masing dengan memanjatkan doa. Setelah berdoa di rumah masing –masing, kepala desa, pemangku adat, dan perwakilan masyarakat  memeberi sesaji ke tiga elemen pembentuk desa (tanah, ladang dan danyang). Tahapan berikutnya yaitu ngeroan. Dalam upacara tersebut pembacaan 27 doa di rumah masing – masing warga. Tahapan terakhir yaitu ping pitu yang kedua dengan memasang sesaji dan didoakan oleh pemangku adat. Acara adat ping pitu yang kedua dilakukan satu minggu setelah acara utama, hari berikutnya acara sadranan  di makam yang diserta dengan acara makan bersama di makam Desa Ngadas. Rangkaian upacara  karo diakhiri dengan upacara ujung – ujungan yaitu upacara pelepasan baju kemudian diganti dengan memakai sarung yang dilakuakan di rumah kepala desa.

3.      Upacara Unan-Unan

Upacara Unan-Unan diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara tersebut dimaksudkan untuk membersihkan desa/dusun dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna (Alam Nirwana). Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’, maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu windu. Dalam upacara Unan-Unan masyarakat Tengger Desa Ngadas menyembelih kerbau sebagai kurban di rumah kepala desa. Inti dari upacara unan – unan adalah makan daging hewan kurban bersama seluruh warga. 

4.      Upacara Entas-Entas

Upacara Entas-Entas dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar masuk surga. Biaya Upacara Entas-Entas sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.

5.      Upacara Pujan
Upacara Pujan bermacam-macam jenisnya yaitu pujen kapat, pujan wolu, pujan kasanga, dan pujan kasada. Pujan Kasada merupakan upacara kasada. Upacara pujan kapat, wolu, dan kasanga merupakan upacara yang rutin dilaksanakan tiap bulan keempat, kedelapan dan kesembilan menurut tanggal masyarakat Tengger. Bulan kesembilan yaitu pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Upacara pujan tersebut dilaksanakan seluruh warga Desa Ngadas di rumah masing-masing dengan meminta doa dari ketua dukun di Desa Ngadas. 


6.      Upacara Kelahiran

Upacara kelahiran merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang saling terkait, yaitu

-          Selamatan nyanyut
Ketika bayi yang berada dalam kandungan berumur tujuh bulan, maka orang tua bayi mengadakan selamatan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara tersebut adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar.
-          Upacara sekul brokohan
Setelah bayi lahir dengan selamat orang tua bayi mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur teman disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar.
-          Upacara cuplak puser
Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, orang tua bayi mengadakan upacara cuplak puser, yaitu saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara cuplak puser dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat.
-          Selamatan jenang abang dan jenang putih
Pada saat pemberian nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras). Maksud dari upacara tersebut juga untuk memohon keselamatan.
-          Upacara kekerik
Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam Upacara Kekerik lidah bayi dikerik dengan daun rumput ilalang. Maksud dari Upacara Kekerik adalah agar kelak sang anak pandai berbicara.
-          Upacara among-among
Rangkaian upacara kelahiran yang terakhir adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”, yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).


7.      Upacara Tugel Kuncung

Upacara Tugel Kuncung atau tugel gombak diselenggarakan oleh masyarakat Tengger Dusun Ngadas ketika anak telah berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa. 


8.      Upacara Perkawinan

Sebelum ada Undang-Undang Perkawinan, banyak masyarakat Tengger yang menikah dalam usia belia yaitu pada usia 10-14 tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola perkawinannya endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh masyarakat Tengger tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah menikah adalah neolokal yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu di lingkungan kerabat istri.
Upacara perkawinan masyarakat Tengger Dusun Ngadas dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun. Penentuan waktu tersebut disesuaikan dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan nasih berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari  lara  dan  pati. Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus diadakan upacara ngepras, yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun.
Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara yaitu akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.


9.      Upacara Kematian

Upacara kematian diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian.


10.  Upacara Barikan

Upacara Barikan diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger. Jika kejadian-kejadian alam tersebut memberi pertanda buruk, maka lima atau tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala) yang bakal datang. Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut menurut ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh warga berkumpul dipimpin oleh kepala desa dan dukun mereka. Sesaji sebagian ditinggal di kepala dan sebagian diletakkan di lading atau dipekarangan yang sebelumnya didoakan terlebih dahulu.desa. Biaya upacara barikan ditanggung oleh seluruh warga desa. 


11.  Upacara Liliwet

Upacara Liliwet adalah upacara untuk kesejahteraan keluarga. Upacara ini diadakan di setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian rumah termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat-tempat yang diberi mantra adalah dapur, pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan biasanya orang Tengger tidak memulai menggarap ladangnya.

Peletakan Elemen Permukiman

sumber www.javanologi.com

Faktor terbentuknya elemen permukiman di Dusun Ngadas diakibatkan oleh beberapa hal yaitu kemiringan lahan, kesuburan lahan, dan kebudayaan masyarakat Tengger Dusun Ngadas. Kemiringan lahan yang curam tidak akan dipilih masyarakat untuk bermukim. Permukiman masyarakat Tengger Dusun Ngadas walau berada di ketinggian 2100 dpl, peletakan elemen permukiman berada pada lahan yang relatif datar (tidak curam). Lahan di Dusun Ngadas merupakan lahan yang subur seluas 381 Ha yang berupa ladang tanaman palawija. Lahan yang subur merupakan sumber penghidupan bagi penduduk. Oleh karena itu, masyarakat mendirikan tempat tinggal mengelompok dan memusat dekat dengan sumber penghidupannya atau dekat dengan ladang. Kebudayaan masyarakat Tengger yang masih asli akan berpengaruh pada pola pemukiman kelompok tersebut. Mereka memilih mengelompok dan terisolir dari daerah lain agar kebudayaan yang dimiliki tidak mengalami perubahan karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar.
Sistem pengaturan ruang secara makro adalah pembagian ruang berdasarkan fungsi guna lahan yang terbentuk secara alami. Pengaturan terjadi pada ruang mikro, yaitu dalam bangunan ibadah atau bangunan rumah.
Permukiman ruang Dusun Ngadas tidak terdapat pembagian ruang permukiman secara khusus, akan tetapi menurut filosofi adapt setempat, sejarah masuknya agama mempengaruhi pola permukiman Dusun Ngadas. Awal masuknya agama ke Dusun Ngadas yaitu agama Budha-Hindu yang terakhir adalah Agama Islam. Penyebaran permukiman pertama di sekitar vihara, kemudian menyebar hingga ke lokasi yang lebih rendah dibandingkan di sekitar vihara. Lokasi Pura berada di bagian yang lebih rendah dari lokasi vihara. Penyebaran Agama Islam yang terakhir, sehingga lokasi masjid diletakkan di bagian bawah dari Vihara dan Pura. Akan tetapi penyebaran pola permukiman tersebut bisa jadi karena tidak mungkin dikembangkan permukiman di bagian yang lebih tinggi dari vihara. Hal tersebut karena tidak adanya lahan yang lebih layak daripada lahan yang berada lebih rendah dari vihara dan pura.
Peletakan elemen permukiman di Dusun Ngadas tidak ada penentuan orientasi lahan dalam mendirikan bangunan, akan tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi setempat. Elemen-elemen lain yang membentuk struktur ruang di Dusun Ngadas adalah perumahan sebagai penghuninya, fasilitas pelayanan seperti sarana pendidikan, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya, dan lahan usaha untuk agraris atau pengelolaan alam lainnya. Peletakan elemen permukiman, seperti perumahan, tempat peribadatan dan sarana lainnya, tidak terpisah, sedangkan untuk makam dan lahan agraris terpisah.
Dalam mengidentifikasi struktur ruang permukiman, maka dilakukan analisis guna lahan melalui survei primer penelusuran lokasi atau transek. Transek untuk Dusun Ngadas ditelusuri dengan mengikuti lintasan utama dari arah Selatan menuju arah Utara, dan dari arah Barat menuju arah Timur Dusun Ngadas. Transek Dusun Ngadas menjelaskan topografi, guna lahan, dan status kepemilikan lahan.

Peletakan elemen-elemen permukiman di Dusun Ngadas terbentuk secara alami berdasarkan bentang alam. Pembagian ruang di Dusun Ngadas sesuai dengan tata peletakan elemen ruang permukiman tradisional, yaitu
-          Kawasan permukiman. Peletakan permukiman pada lahan yang tidak memiliki lereng yang curam dan berdasarkan filosofinya, peletakan permukiman berdasarkan atas sejarah penyebaran agama-agama di Indonesia pada umumnya. Perkembangan rumah-rumah baru dan tambahan fasilitas umum pada lahan yang masih memungkinkan untuk dibangun bangunan baru.
-          Lahan usaha yaitu peruntukan lahan pertanian tanaman palawija yang berada di luar kawasan permukiman.

Read More

Follower