-->
1. Tanah Indonesia dan Tanah Eropa
Sebelum berlakunya UU No.5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria, hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat (Tanah Adat) dan Hukum Barat (Tanah Barat/ Indonesia). Adanya “dualisme” ini sering menimbulkan kesulitan selain tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa Indonesia . Hukum kolonial ini menyatakan bahwa “semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan kepemilikannya, maka tanah itu adalah milik Negara”. Tanah-tanah milik orang Belanda memiliki kepastian hukum (tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal, dll), sedangkan tanah rakyat Indonesia asli yang hanya berdasarkan hukum adat tidak terjamin kepastiannya hukumnya (tanah ulayat, tanah bengkok, tanah gogol, dll).
2. Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Sejak berlakunya UU No.5 tahun 1960 yang lebih dikenal dengan UUPA, “dualisme” hukum pertanahan ini diubah menjadi suatu kesatuan hukum (unifikasi) bidang hukum agrarian di Negara kita. UUPA ini mengatur secara garis besar dan pokok-pokok hukum agrarian yang disusun dengan berbagai aturan pelaksanaan dan masih akan disusul dengan peraturan-peraturan yang baru lagi.
3. Peraturan Lama Yang Dicabut
1. Agrarische Wet (Stbld. 1870-55)
2. Domeinverklaring (Stbld. 1870-118)
3. Algemene Domeinverklaring (stbld. 1875-119a)
4. Domeinverklaring untuk Sumatra (Stbld. 1874-947)
5. Domeinverklaring untuk Karesidenan Menado (Stbld. 1877-55)
6. Domeinverklaring untuk residentie zuider en Oostafdeling van Borneo (Stnld. 188-58)
7. Koninklyk Besluit (Stnld. 1872-117) dan peraturan pelaksanaanya.
8. Buku ke-II Kitab Hukum Perdata Indonesia yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkansung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang hipotik.
Selain peraturan di atas, ada juga peraturan yang tidak disebutkan namun dianggap tidak berlaku lagi apabila bertentangan dengan jiwa UUPA.
4. Hak-Hak Atas Lahan
A. Pengertian
Hak Atas Lahan merupakan hak yang hanya mempergunakan lahannya saja, tidak termasuk benda-benda di dalam tanah seperti bahan-bahan mineral, minyak dan lain-lainnya. Benda-benda dalam tanah tersebut diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
Seseorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas lahan, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk meningkatkan kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut.
B. Fungsi Sosial
Penggunaan lahan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari hak tersebut sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan pemilik maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Adanya pembatasan luas bertujuan agar tidak merugikan kepentingan-kepentingan umum. Pembatasan luas ini telah diatur dalam Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
C. Macam-Macam Hak Atas Lahan
Menurut UUPA, digolongkan menjadi dua yaitu :
a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan.
b. Hak yang bersifat sementara dimaksud mengandung sifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA, maka dari itu hak tersebut diupayakan agar dapat hapus dalam waktu yang singkat. Hak tersebut yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
D. Pencabutan Hak Atas Lahan
Adanya pencabutan hak atas lahan menurut UUPA dengan alasan untuk kepentingan umum sebagaimana dalam Pasal 18 berikut ini :
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentinganm bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak yang diatur dengan Undang-undang”
Pencabutan hak tersebut tidak dicabut begitu saja tetapi diberikan ganti rugi yang layak. Untuk mengatur pencabutan hak tersebut, maka dibuatlah Undang-undang No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Undang-undang ini menyatakan bahwa yang berhak melakukan pencabutan hak adalah Presiden dan pencabutan tersebut dilakukan dalam keadaan memaksa, dan Presiden melakukannya setelah lebih dahulu mendengar Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri, karena sekarang Menteri Agraria tidak ada lagi dan yang ada adalah Direktorat Jendral Agraria yang termasuk dalam Departemen Dalam Negeri), Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan dengan kepentingan pencabutan hak tersebut.
Apabila seseorang merasa kurang puas dengan jumlah ganti rugi yang dibayar pemerintah karena Hak Atas Lahannya dicabut, maka dapat mengajukan suatu permintaan banding kepada Pengadilan Tinggi, hanya Pengadilan Tinggi yang akan memutuskan tentang jumlah ganti kerugian tersebut.
Menurut Instruksi Presiden RI No.9 tahun 1973, dinyatakan bahwa pencabutan hak dengan alasan kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum meliputi bidang Pertahanan, Pekerjaan Umum, Perlengkapan Umum, Jasa Umum, Keagamaan, Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya, Kesehatan, Olahraga, Keselamatan Umum terhadap bencana alam, Kesejahteraan Sosial, Makam/kuburan, Pariwisata dan rekreasi, dan usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
5. Hak Milik
- Pengertian
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi :
(1) Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6
Kata “turun-temurun” maksudnya Hak Milik itu dapat terus menerus diturunkan kepada ahli waris setiap pemegangnya. Sedangkan “terkuat dan penuh” dimaksudkan untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas lahan yang dipunyai orang Hak Miliklah yang “ter” (artinya : “paling”), jadi “paling kuat dan paling penuh”.
Akan tetapi walaupun telah diberikan kedudukan tingkat “paling“ yaitu merupakan “mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat”. Selain itu, “terkuat dan terpenuh” adalah terbatas dalam penggunaan lahannya saja, sedangkan untuk mengambil kekayaan alam yang terdapat di dalam/bawah tanah itu seperti bahan mineral, minyak dan lain-lainnya masih diperlukan hak lain antaranya hak pertambangan sesuai undang-undangn tentang pertambangan.
- Kepemilikan Hak Milik
Kepemilikannya yaitu warga negara Indonesia dan tunggal, dalam hal ini tidak dibedakan antara warga negara yang asli atau keturunan asing, yang penting warga negara Indonesia . Dan yang berkewarganegaraan rangkap tidak diperkenankan mempunyai Hak Milik. dari uraian di atas dapat dibedakan antara Hak Milik menurut UUPA dan Hak Eigendom menurut hukum tanah lama. Menurut hukum tanah lama, Hak Eigendom dapat dimiliki oleh setiap oarang, tidak memandang warga negara asing atau Indonesia, begitu pula semua badan hukum baik menurut hukum Indonesia maupun hukum asing.
- Kesempatan Satu Tahun
Orang asing atau yang berkewarganegaraan rangkap, apabila memperoleh suatu hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, diberi kesempatan tetap mempunyai Hak Miliknya itu satu tahun sejak dimiliki. Setelah satu tahun, maka Hak Milik itu wajib dilepaskannya, yaitu hak itu menjadi hapus dan lahannya dikuasai oleh negara. Kemudian ia diberi kesempatan pula untuk meminta kembali suatu hak lain yaitu kalau ia orang asing, dapat meminta Hak Pakai, sedangkan bagi yang berkewarganegaraan rangkap dapat memperoleh Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
Akan tetapi bila waktu satu tahun belum habis, ia dapat memindahkan Hak Miliknya kepada pihak lain, asal saja pihak lain itu memenuhi syarat untuk mempunyai Hak Milik. Kesempatan yang diberikan pada penjelasan di atas, didasarkan pada pertimbangan perikemanusiaan, sehingga seorang asing atau berkewarganegaraan rangkap tidak begitu saja kehilangan Hak Miliknya.
- Terjadinya dan Cara Mendapatkan Hak Milik
1) Cara pertama dengan “peralihan” berarti ada pihak yang kehilangan dan pihak lain mendapatkan suatu Hak Milik.
2) Cara kedua dengan menurut Hukum Adat, dengan penetapan pemerintah, dan karena undang-undang.
Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat yaitu dengan Hak Ulayat. Dalam Hukum Adat seseorang anggota masyarakat Hukum Adat mempunyai hak untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat itu dengan persetujuan Kepala Adat. Hutan yang dibuka itu, kemudian menjadi Hak Milik yang membukanya. Dalam pembukaan lahan tersebut ternyata mengakibatkan erosi, banjir, tanah longsor, dan rusaknya tanah karena pembukaan lahan secara sembarangan oleh karena itu perlu diatur oleh Pemerintah.
Terjadinya Hak Milik menurut Pemerintah yaitu pemerintah memberikan Hak Milik atas lahan yang secara langsung dikuasai berdasarkan atas permohonan. Hak Milik juga dapat diberikan terhadap perubahan dari suatu hak yang sudah ada, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Wewenang pemberian permoohonan Hak Milik dan hak-hak lainnya berada pada Menteri Dalam Negeri, kecuali dalam wewenangnya dilimpahkan kepada Gubernur yaitu terhadap permohonan dari para transmigran, petani dalam rangka Landreform. Wewenang Gubernur terbatas pada luas 20.000 m3 untuk lahan pertanian dan 2.000 m3 untuk lahan bangunan/perumahan.
Setelah diteliti, permohonan itu memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Lahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1973 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Milik Atas Lahan, maka permohonan akan dikabulkan artinya Hak Milik dikabulkan.
Selanjutnya, Hak Milik dapat terjadi karena ketentuan undang-undang yaitu konversi sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi (Kedua : Pasal I ayat 1 dan Pasal II ayat 1). Menurut ketentuan tersebut, beberapa hak atas lahan yang ada sebelum diundangkannya UUPA dan sejak mulai berlakunya UUPA, hak-hak dimaksud dapat dikonversi menjadi Hak Milik apabila hak itu memenuhi syarat untuk mempunyai Hak Milik menurut UUPA. Adapun lahan-lahan tersebut adalah : Hak Eigendom, Hak Agrarische Eigendom, Landrijen bezitsrecht, Pesini, Hak atas drue, Andarbeni, Yasan, dll.
- Pewarisan Hak Milik
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Lahan yang menerima warisan itu wajib meminta pendaftaranperalihan hak tersebut dalam waktu 6 bulan sejak tanggal meninggalnya orang yang semula mempunyai Hak Milik tersebut, tetapi waktu 6 bulan dapat diperpanjang oleh Menteri Dalam Negeri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya dengan suatu pertimbangan khusus.
Apabila lahan tersebut telah merupakan lahan yang telah dibukukan, maka yang harus diserahkan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, sertifikat hak lahan tersebut, disertai surat wasiat (kalau tidak ada, cukup membawa surat keterangan warisan dari instansi yang berwenang). Setelah dilakukan pencatatan dalam daftar buku lahan yang bersangkutan dan pada sertifikat, lalu sertifikat tersebut dikembalikan kepada pemegang Hak Milik yang baru. Pengembalian sertifikat tersebut dilakukan, setelah pemegang Hak Milik yang baru menyampaikan surat keterangan tentang pelunasan pajak tanah sampai pada saat meninggalnya pewaris.
Bila lahan yang diwariskan belum dibukukan, maka yang harus diserahkan oleh ahli waris tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yaitu surat-surat bukti hak yang disertai keterangan Kepala Desa yang membenarkan surat bukti hak tersebut dengan dikuatkan oleh Kepala Kecamatan. Setelah Kepala Kantor Pendaftaran Tanah membukukan peralihan hak itu dalam buku lahan yang bersangkutan, maka pada ahli waris tersebut diberikan suatu sertifikat sementara (Contoh Surat Keterangan Warisan).
- Jual Beli Hak Milik
Pengertian jual beli lahan menurut Hukum Adat yaitu suatu perbuatan hukum dimana pihak penjual menyerahkan lahan yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya pada waktu pembeli membayar harga (walaupun sebagian harga) lahan tersebut kepada penjual. Sejak saat itu, hak atas lahan telah beralih dari penjual kepada pembeli. Selain itu, dilakukan “perjanjian akan jual beli yaitu suatu permufakatan antara calon penjual dan calon pembeli. Permufakatan ini meliputi tentang lahan yang akan dijual, harganya, dan bilamana jual beli itu akan dilaksanakan dan biasanya disertai dengan panjer. Bila jual beli ditunda karena pembeli, maka panjer tersebut hilang. Sedangkan bila jual beli ditunda karena penjual, maka panjer tersebut diganti penjual menjadi dua kali lipat.
Pengertian jual beli lahan menurut Hukum Barat sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli merupakan suatu perjanjian, satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan lahan dan pihak lainnya untuk membayar harga-harga yang telah ditentukan. Akan tetapi, walaupun jual beli telah terjadi, hak atas lahan tersebut belum berpindah kepada pembeli. Untuk pemindahan hak tersebut masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain. Dari uraian di atas, jual beli lahan menurut Hukum Barat terdiri atas dua bagian yaitu perjanjian jual beli dan penyerahan haknya, yang keduanya terpisah satu sama lain. Sehingga, walaupun hal yang pertama telah selesai (ada akta notaris), tetapi kalau hal yang kedua belum dilakukan, maka status lahan tersebut masih tetap sebagai semula (Hak Milik Penjual).
Kedua pengertian di atas merupakan keadaan sebelum ada UUPA yaitu terjadinya dualisme. Pengertian jual beli lahan menurut UUPA dapat diuraikan calon pembeli dan penjual mufakat melaksanakan jual beli (lahan, harga, dll) kemudian datang kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Bila lahan tersbut belum dibukukan maka diharuskan kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa sebagai saksi untuk menjamin lahan tersebut merupakan Hak Milik penjual dan membawa keterangan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa lahan tersebut belum dibukukan. Bila lahan tersebut telah dibukukan, dihadiri 2 saksi (tidak harus Kepala Desa dan anggota Pemerintah Desa) dengan membawa sertifikat lahan dan tanda bukti Hak Milik. Bila PPAT telah cukup persyaratan, maka PPAT membuat Akta Jual Beli lahan. Penjual berkewajiban membayar honorarium o,5 % dari harga lahan kepada PPAT dan 1 % dari harga lahan untuk 2 saksi.
- Tukar Menukar Hak Milik
Tukar menukar hampir sama dengan jual beli yaitu pihak yang mempunyai hak milik atas lahan tersebut menyerahkan lahannya selama-lamanya dan sebagai gantinya ia menerima lahan yang lain atau barang lain dari orang yang menerima lahannya itu. Tukar menukar ini harus dihadapan PPAT dengan membawa satu akta tukar menukar.
- Penghibahan Hak Milik
Penghibahan Hak Milik atas lahan yaitu menyerahkan lahannya itu untuk selama-lamanya kepada seseorang secara cuma-cuma dan tidak bersyarat, sejak saat itu Hak Milik atas lahan telah berpindah kepada yang menerima hibah tersebut. Penghibahan ini harus dihadapan PPAT dengan membawa satu akta hibah dan kemudian didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran Tanah.
- Hibah-Wasiat Hak Milik
Yaitu suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang memberi lahan masih hidup tetapi dalam pelaksanaannya setelah yang memberi itu meninggal dunia. Selama orang yang memberi itu masih hidup, ia dapat menarik kembali (membatalkan) pemberiannya. Tidak perlu dihadapan PPAT karena hal ini merupakan soal pewarisan dan harus didaftarkan sebagaimana dalam Pewarisan Hak Milik.
- Pembebanan Hak Milik
Hak Milik merupakan “inti dan pokok“ dari semua hak sehingga terhadap Hak Milik tersebut dapat dibebani dengan berbagai hak. Hak-hak yang dapat dibebankan terhadap Hak Milik baik yang merupakan hak yang langsun dapat menggunakan lahannya maupun hak yang menanggung suatu hutang. Hak-hak yang termasuk hal yang pertama yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, dan Hak Menumpang. Sedangkan hak-hak yang termasuk pada hal yang kedua yaitu Hak Hipotik dan Hak Hubungan Kredit.
- Hapusnya Hak Milik
Suatu Hak Milik dapat hapus artinya hilang atau terlepas dari yang berhak diatasnya seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 27 UUPA apabila :
a. Lahannya jatuh kepada negara karena :
· Pencabutan hak, yang berhak melakukan pencabutan hak itu adalah presiden. UUPA menegaskan bahwa pencabutan hak untuk kepentingan umum.
· Penyerahan dengan sukarela kepada pemiliknya, karena ada pihak lain yang memerlukan lahan tetapi tidak mempunyai Hak Milik kaena tidak memenuhi syarat untuk mempunyai Hak Milik seperti badan hukum yang hanya dapat mempunyai Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan atau orang asing yang hanya boleh punya Hak Pakai saja. Orang yang mempunyai Hak Milik tersebut dapat melepaskan haknya dengan sukarela dengan mendapat penggantian kerugian yang sesuai dengan harga pasaran dari pihak yang menghendaki pasaran tersebut. Dengan “penglepasan” tersebut, maka lahan tersebut menjadi milik negara selanjutnya negara memberi lahan tersebut kepada pihak lain dengan hak lain.
· Ditelantarkan. Pemiliknya tidak sanggup mengurusnya atau menganggap lahan itu tidak berguna baginya.
· Jatuh kepada orang asing/kewarganegaraan rangkap/badan hukum.
b. Tanahnya musnah, seperti karena longsor atau di “makan” laut.
6. Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
A. Pengertian
Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak baru yang diciptakan oleh UUPA untuk memenuhi keperluan masyarakat modern.
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan lahan yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun, yang bila diperlukan bisa diperpanjang lagi dengan 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, luasnya paling sedikit 5 hektar. (Pasal 28 ayat 1,2 dan pasal 29 UUPA)
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas lahan yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang bila diperlukan dapat diperpanjang lagi 20 tahun. (Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUPA)
Hak Guna Usaha
|
Hak Guna Bangunan
| |
Tujuan Penggunaan
|
Untuk perusahaan pertaniana, perikanan atau peternakan.
|
Untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
|
Asal lahan
|
Hanya lahan yang dikuasai langsung oleh Negara.
|
Tidak ditentukan, dapat lahan Hak Milik perseorangan.
|
Batas Waktu
|
Paling lama 25 tahun / 35 tahun, bila perlu dapat diperpanjang lagi 25 tahun.
|
Paling lama 30 tahun, bila perlu dapat diperpanjang lagi 20 tahun.
|
Batas Luas
|
Paling sedikit 5 hektar.
|
Tidak ditentukan.
|
B. Kepemilikan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Kepemilikan HGU dan HGB lebih luas daripada kepemilikan Hak Milik. Jika Hak Milik hanya untuk Warga Negara Indonesia dan badan hukum tertentu, maka kepemilikan HGU dan HGB meliputi badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dan jika badan hukum tersebut hanya memiliki perwakilan di Indonesia namun kedudukannya tidak di Indonesia dan tidak berdasarkan hukum Indonesia, maka badan hukum tersebut tidak dapat memiliki Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.
Sehubungan dengan Penanaman Modal Asing sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 UU No. 1 tahun 1967, perusahaan asing diberi kesempatan untuk mendapatkan HGU dan HGB. Sesuai dengan pasal 5 (2) UUPA yang menyebutkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan hanya terbuka kemungkinan untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
C. Terjadinya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan terjadi karena 3 hal, yaitu :
Ø Terjadi karena penetapan Pemerintah, berasal dari lahan yang dikuasai langsung oleh Negara yang diberikan sebagai Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan kepada yang memerlukannya.
Ø Terjadi karena konversi, yang ditentukan oleh :
- Hak Erpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya UUPA, menjadi Hak Guna Usaha, untuk sisa waktunya, selama-lamanya 20 tahun;
- Hak-hak atas lahan seperti : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitsrecht, altijddurende erpacht, hak usaha atas bekas lahan partikulir dan hak-hak lainnya, apabila yang mempunyai hak itu tidak memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik, sejak mulai berlakunya UUPA, menjadi Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan sesuai dengan peruntukan lahannya.
- Hak Opstal dan Hak Erpacht untuk perumahan yang ada, sejak mulai berlakunya UUPA, menjadi Hak Guna Bangunan, selama sisanya, selama-lamanya 20 tahun.
Ø Terjadi karena perjanjian (untuk Hak Guna Bangunan) yang berasal dari Hak Milik. Seseorang yang mempunyai Hak Milik mengadakan suatu perjanjian dengan pihak lain yang menginginkan suatu Hak Guna Bangunan tidak dapat memiliki Hak Milik.
Hingga saat ini, pelaksanaan perjanjian untuk mengadakan Hak Guna Bangunan belum pernah ada, dan jalan yang biasa ditempuh adalah “pelepasan” ataupun “ pembebasan” Hak Milik.
D. Peralihan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Beralihnya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dalam artian pewarisan, sedangkan dalam pengertian “dialihkan” adalah berupa jual-beli, tukar menukar, hibah ataupun hibah-wasiat.
E. Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Sebagai Jaminan
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dapat pula dijadikan sebagai jaminan hutang dengan hak tanggungan. Yaitu hak hipotik dan hak hubungan kredit.
F. Hapusnya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Terhapusnya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ditentukan oleh pasal 34 dan pasal 40 UUPA, adalah dengan :
- Jangka waktunya berakhir;
Hal ini adalah penyebab hapusnya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang paling pasti. Karena telah ditetapkan jangka waktu tertentu. Dan walaupun dapat diperpanjang, tetap ada batas waktu pula.
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi;
Misalnya saja, suatu perkebunan yang diwajibkan membayar uang tahunan, secara berturut-turut beberapa tahun tidak memenuhi kewajibannya atau perkebunan tersebut diserahkan begitu saja kepada orang lain lebih dari satu tahun.
- Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
Terjadi apabila pemegang hak itu, menyerahkan hak itu dengan sukarela kepada Negara.
- Dicabut untuk kepentingan umum;
- Lahannya ditelantarkan;
- Lahannya musnah;
- Orang atau badan hukum yang mempunyai hak itu, tidak lagi memenuhi syarat untuk mempunyai hak tersebut. Misalnya ketika orang yang mempunyai hak itu menjadi warganegara asing atau badan hukumnya tidak dapat lagi digolongkan dalam badan hokum Indonesia .
7. Hak Pakai, Hak Sewa dan Hak Membuka Lahan/Memungut Hasil Hutan
A. Pengertian
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari lahan yang dikuasai langsung oleh Negara atau lahan milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik lahannya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan lahan, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (Pasal 41 UUPA)
Hak Sewa adalah seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas lahan, apabila ia berhak menggunakan lahan milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (Pasal 44 UUPA)
Persamaan antara kedua hak ini adalah waktu penggunaan lahan yang terbatas, tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan hak tanggungan serta dapat dilepaskan oleh pemegangnya.
Perbedaan Hak Pakai dan Hak Sewa
Hak Pakai
|
Hak Sewa
| |
Pembayaran
|
Tidak memakai pembayaran sewa
|
Memakai pembayaran sewa
|
Pengalihan
|
Dapat dialihkan
|
Tidak dapat dialihkan
|
Sumber : Sumber : Saleh, K. Wantjik, 1977
B. Terjadinya Hak Pakai dan Hak Sewa
Terjadinya hak pakai :
- Karena pemberian dari Pemerintah, yang mungkin berasal dari lahan yang langsung dikuasai oleh Negara atau berasal dari lahan yang tadinya dari Hak Milik yang dilepas/dibebaskan.
- Karena konversi, antara lain dari Hak Eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing yang dipakai untuk bangunan tempat tinggal/kantor Kepala Perwakilan Negara Asing itu di Indonesia, Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar yang pada saat berlakunya UUPA sudah habis waktunya, Hak Gogolan, Pikulen atau Sanggan yang tidak bersifat tetap sebagai yang dimaksud dalam pasal VII ayat 2 Ketentuan-ketentuan Konversi.
- Karena perjanjian, yang berasal dari Hak Milik. Diadakan berdasarkan suatu perjanjian antara yang mempunyai Hak Milik dengan pihak yang akan mendapat Hak Pakai itu. Perjanjian tersebut, dapat dilakukan dengan lisan atau tertulis, dengan suatu akta notaris atau akta di bawah tangan. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan pembuatan atau pembuktiannya dengan akta yang dibuat oleh PPAT, begitu juga tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftarannya.
Terjadinya hak sewa :
- Karena perjanjian, yakni perjanjian antara orang yang mempunyai Hak Milik dengan orang yang akan menyewa. Keadaannya sama dengan terjadinya Hak Pakai karena perjanjian.
C. Jangka Waktu dan Luas Lahan
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama lahannya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalm pelaksanaannya, Pemerintah memberikan Hak Pakai itu biasanya untuk 10 tahun. Karena UUPA tidak menetapkan jangka waktu dan batas luas untuk Hak Pakai dan Hak Sewa.
D. Kepemilikan
Yang berhak memiliki Hak Pakai maupun Hak Sewa adalah :
- Warganegara Indonesia
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
- Badan hukum yang didirikan menurut hokum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
- Badan-badan hokum asing, yang mempunyai perwakilan di Indonesia .
E. Hapusnya Hak Pakai dan Hak Sewa
Hak Pakai dan Hak Sewa akan terhapus apabila :
- Jangka waktu yang ditentukan telah berakhir
- Ketika jangka waktunya belum habis, jika salah satu persyaratan tentang siapa yang menjadi penyewa tidak lagi terpenuhi.
- Jika pemegang “melepaskan” atau “mencabut untuk kepentingan umum” juga “menelantarkan lahannya/musnah”
F. Hak Membuka Lahan dan Memungut Hasil Hutan
Hak membuka lahan dan memungut hasil hutan ini adalah hak yang berasal dari Hukum Adat sehubungan dengan adanya Hak Ulayat, yang telah diuraikan pada waktu menerangkan tentang Hak Ulayat yang masih diakui dalam Hukum Lahan kita sekarang ini.
Dengan pembukaan lahan saja, belumlah berarti yang membukanya lantas memperoleh hak atas lahan tersebut tetapi hak atas lahan tersebut haruslah ia benar-benar usahakan, baru kemudian dapat menjadi suatu hak. Begitu juga dengan memungut hasil hutan secara sah begitu saja tidaklah lantas dia memperoleh suatu hak, tetapi pemungutan hasil hutan itu ia lakukan bersamaan dengan pembukaan dan pengusahaan lahan itu secara nyata.
Tentang hal ini UUPA menyebutkan dalam pasal 46 sebagai berikut :
(1) Hak membuka lahan dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas lahan itu.
Dalam penjelasan pasal 46 di atas antara lain dikatakan bahwa hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hokum (masyarakat hokum adat) yang bersangkutan. Alasan untuk pengaturan dengan Peraturan Pemerintah itu, sudah diuraikan di bagian terdahulu.
Yang dapat mempunyai hak untuk membuka lahan dn memungut hasil hutan itu hanyalah warganegara Indonesia . Selain itu juga persyaratan tentang izin. Terutama izin dari Kepala Adat/Desa, dalam hal lahan yang akan dibuka itu tidak luas, tidak lebih dari 2 hektar. Jika lebih dari 2 hektar hingga 5 hektar diperlukan izin dari Bupati/Kepala Agraria Daerah, sedangkan apabila lebih dari 5 hektar harus ada izin dari Menteri Dalam Negeri / Direktur Jenderal Agraria.
8. Hak yang Bersifat Sementara dan Hak Lainnya
Hak dapat bersifat sementara karena hak yang dimaksud mengandung sifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA, maka dari itu hak tersebut diupayakan agar dapat hapus dalam waktu yang singkat. Hak-hak yang bersifat sementara adalah :
A. Hak Gadai
Hak Gadai Lahan (pertanian atau bangunan) adalah dalam pengertian yang berasal dari Hukum Adat, sebagai akibat adanya perbuatan hukum yang disebut “Jual Gadai”. Jual Gadai adalah penyerahan sebidang lahan oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik lahan dengan perjanjian bahwa lahan itu akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan uang yang diterimanya kepada orang yang memegang lahan tersebut.
Jadi, seorang yang memegang hak gadai itu dapat mempergunakan lahan yang dipegangnya, dan kapan penggadaian akan berakhir tergantung kepada kapan uang dikembalikan. Hak Gadai bukan sekedar menanggung suatu hutang tetapi pemegang hak tersebut dapat menguasai, mempergunakan lahan serta mengambil manfaat dari lahan tersebut.
Hak Gadai dapat dialihkan oleh pemegang gadai kepada pihak lain dengan persetujuan atau tidak daripada pemilik lahan. Juga dapat dibebani dengan hak sewa. Apabila pemegang gadai meninggal dunia, maka Hak Gadai itu beralih kepada ahli warisnya.
Yang dapat mempunyai Hak Gadai hanyalah Warga Negara Indonesia . Adanya ketentuan pasal 7 Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 mengenai Penetapan Luas Lahan Pertanian menyatakan bahwa setelah 7 tahun, Hak Gadai Lahan Pertanian akan hapus walaupun denga tidak ada tebusan.
B. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi Hasil berasal dari Hukum Adat, yang biasa disebut “Hukum Menggarap”, yakni hak seseorang untuk mengusahakan pertanian di atas lahan milik orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak berdasrkan persetujuan.
Dengan pertimbangan agar pembagian hasil lahannya adil dan terjamin kedudukan hokum yang banyak bagi para penggarap itu, dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik, maka telah diadakan Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
C. Hak Menumpang
Hak Menumpang juga berasal dari Hukum Adat, yakni suatu hak yang mengizinkan seseorang untuk mendirikan serta menempati rumah di atas lahan pekarangan orang lain, dengan tidak membayar kepada pemilik pekarangan tersebut.
Hak Menumpang ini sebenarnya aalah salah satu bentuk daripada Hak Pakai, tetapi sifatnya sangat lemah, karena setiap saat pemilik lahan pekarangan itu dapat mengambil kembali lahan pekarangannya.
D. Hak Sewa Pertanian
Hak Sewa Pertanian ini sebenarnya adalah Hak Sewa, tetapi dianggap sebagai salah satu hak yang bersifat sementara. Sehubungan dengan pasal 10 ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas lahan pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Hak lainnya adalah hak yang tidak diatur dalam UUPA, namun diatur dalam peraturan-peraturan yang lain. Hak-hak lainnya ini meliputi :
1. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah hak yang diberikan kepada Departemen, Direktorat Jenderal, Daerah Swatantra dan Badan-badan lain untuk merencanakan, menggunakan bagian-bagian dari lahan kepada pihak lain dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 tahun, menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan. Hak Pengelolaan diberikan kepada badan-badan pemerintah dan tidak untuk badan swasta atau perorangan.
2. Hak Pengusahaan Hutan
Hak Pengusahaan Hutan sebenarnya dapat disamakan dengan Hak Memungut Hasil Hutan, karena yang mempunyai Hak Pengusahaan Hutan berwenang untuk menebang kayu, mengangkut dan menjualnya. Bedanya, hak ini lebih produktif dan juga hak ini tidak diatur dalam UUPA.
3. Hak Pertambangan
Untuk pengambilan kekayaan alam telah diatur secara khusus dengan beberapa Undang-undang.
9. Hak Tanggungan
Pengertian Hak Tanggungan tidak terdapat di UUPA tetapi dijelaskan dalam Undang-undang (Pasal 51). Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai hak tanggungang tersebut dalam Pasal 51 tersebut belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hipotik tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband dalam S. 1908-542 yang telah diubah dengan S. 1937-190. Sehingga hak tanggungan tersebut yang berlaku sekarang yaitu Hipotik dan Hubungan Kredit.
A. Hipotik
Ketentuan-ketentuan tentang hipotik termuat dalam pasal 1162 s/d 1170, pasal 1173 s/d 1185, pasal 1189 s/d 1194, pasal 1198 s/d 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1164 KUH Perdata menyatakan bahwa yang dapat dibebani hipotik antara lain: benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, hak pakai hasil atas benda-bendatidak bergerak, hak postal, dan hak erfpacht. Dengan kata lain, yang dapat dibebani hak hipotik adalah lahan-lahan yang tunduk pada hukum Eropa. Pelaksanaannya adalah dengan pembuatan akta oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan Ordonisasi Balik Nama.
Kemudian keluar Peraturan Menteri Agraria No.15 tahun 1961 yang menyatakan bahwa hipotik dapat dibebankan kepada semua hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah dibukukan pada buku lahan menurut ketentuan Peraturan Pendaftaran (P.P> No. 10 tahun 1961) dengan tidak melihat asal hak tersebut. Peraturan ini menentukan bahwa untuk pembebanan hipotik harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Apabila lahan sudah memiliki sertifikat, akan diserahkan pada Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan bersamaan dengan akta pembebanan hipotik itu, namun jika belum, harus dibuat sertifikat lahannya dulu.
B. Hubungan Kredit
Kalau semula hipotik ditujukan bagi “tanah barat”, lain halnya dengan hubungan kredit yang ditujukan bagi “tanah adat”. Dengan Peraturan Menteri Agraria No.2 tahun 1960, dinyatakan bahwa hubungan kredit dapat dibebankan kepada hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha yang berasal dari konversi hak-hak selain dari yang untuk hipotik. Kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Agraria No. 15 tahun 1961 dinyatakan bahwa hubungan kredit dapat dibebankan pada semua hak, sehingga sejak itu tentang pemberian dan pendaftaran hubungan kredit sama dengan hipotik.
10. Pendaftaran, Akta, dan Sertifikat
A. Tujuan Pendaftaran
Menurut pasal 19 ayat 1 UUPA menyatakan, “untuk menjamin kepastian hokum oleh pemerintah diadakan pendaftaran lahan di seluruh wilayah RI menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Kepastian hukum yang dimaksud adalah meliputi kepastian mengenai:
· Letak, batas, dan luas lahan
· Status lahan dan prang yang berhak atas lahan
· Pemberian surat berupa sertifikat
B. Penyelenggaraan
Pelaksanaannya meliputi pengukuran, pemetaan, dan penyelenggaraan tata-usaha. Untuk menyelenggarakan tata-usaha pendaftaran lahan, Kantor Pendaftaran Tanah melakukan:
· Daftar Lahan
· Daftar Nama merupakan nama orang-orang yang mempunyai suatu hak atas lahan.
· Daftar Buku Lahan yaitu pendaftaran hak-hak atas lahan serta peralihan hak-hak tersebut.
· Daftar Surat Ukur yang menguraikan keadaan, letak, serta luas suat lahan yang menjadi objek suatu hak yan telah didaftar dalam daftar buku lahan.
C. Sistem Negatif
Dijelaskan oleh Boedi Harsono S.H. bahwa “system Positiv” menganggap apa yang tercantum di dalam buku pendaftaran lahan dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Namun dalam “system negative” keterangan yang tercantum memiliki kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang membuktikan sebaliknya. Maka pengadilanlah yang memutuskan alat pembuktian mana yang benar. Apabila keterangan dari pendaftaran lahanlah yang tidak benar, maka diadakan perubahan dan pembetulan seperlunya.
D. Apa Yang Harus Didaftar
Menurut pasal 23, 32, dan 38 UUPA, menyatakan bahwa hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, setiap peralihan, hapusnya, dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan. Selain itu, menurut Peraturan Menteri Agraria No.1 tahun 1966, “hak pakai (atas lahan negara) dan begitu juga hak pengelolaan, juga harus didaftarkan. Ini merupakan kewajiban bagi yang mempunyai hak-hak tersebut agar mereka mendapat kepastian hokum tentang hak-haknya itu.
E. Akta
Pasal 19 P.P. No.10 tahun 1961 memerintahkan “setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas lahan, memberikan sesuatu hak baru atas lahan, menggadaikan atau meminjam uang dengan hak atas lahan sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengansebuah akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjk oleh Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri). Akta tersebut bentuknya ditentukan oleh Menteri Agraria.”
Dari pasal tersebut perlu diuraikan hal-hal berikut:
A. Perbuatan-perbuatan yang harus dibuatkan aktanya adalah;
· Pemindahan hak (jual-beli, tukar-menukar, hibah)
· Pemberian suatu hak baru atas lahan
· Penggadaian (jual-gadai)
· Hak tanggungan (Hipotik dan Kredit)
B. Yang dapat diangkat sebagai Pejabat (PPAT) adalah:
· Notaris
· Pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap cukup mengerti tentang peraturan pendaftaran lahan dan peraturan kainnyayang bersangkutan dengan peralihan hak atas lahan
· Pegawai Pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat
· Orang-orang lain yang telah lulus ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria.
C. Bagaimana bentuk akta
Dengan Peraturan Menteri Agraria No.11 tahun 1961 telah ditentukan bahwa akta yakni Akta Jual-beli dan Akta Hibah, sedangkan untuk akta yang lainnya belum ditetapkan.
F. Sertifikat
Sertifikat adalah salinan buku lahan dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Suatu sertifikat tidak begitu saja diberikan kepada yang berhak, akan tetapi sertifikat tersebut diberikan kepada yang berhak apabila yang berhak memintanya karena memerlukannya. Mungkin saja orang yang berhak itu tidak memerlukannya, maka ia tidak memintanya. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut harus dikeluarkan biaya 1 % dari harga taksiran/umum dari lahan tersebut. Biaya 1 % tersebut, ½ % untuk biaya pengukuran dan pemetaan dan ½ % untuk pembuatan sertifikat tersebut (hak atas lahan). Kalau sertifikat untuk hipotik/hubungan kredit biayanya ¼ % dari besarnya pinjaman, tidak perlu dibayar biaya pengukuran dan pemetaan, karena tidak disertai surat ukur.
Proses dalam sertifikasi yaitu setelah dilaksanakan jual beli dengan akta PPAT, bila tidak ingin mengurus sendiri, cukup membawa salinan akta jual-beli sedangkan yang asli tetap pada PPAT untuk diteruskan pada Kantor Pendaftaran Tanah. Bila ingin mengurus sendiri pendaftaran dan memperoleh sertifikat, maka pembuat sertifikat memegang akta jual-beli yang asli beserta lampiran dan membawanya ke Kantor Pendaftaran Tanah (Seksi Pendaftaran Tanah/Pengurusan Hak) kemudian mengisi Surat Pemberitahuan. Seksi Pendaftaran Tanah/Pengurusan Hak akan melakukan pemetaan untuk membuat gambar situasi. Sementara itu, dibuatkan pengumuman yang ditempatkan pada Kantor Pendaftaran Tanah dan Kecamatan dalam jangka waktu dua bulan. Bila dalam dua bulan tersebut tidak ada yang mengajukan keberatan maka permohonan anda akan dapat dikabulkan dan dapat dikeluarkannya surat keputusan. Berdasarkan surat keputusan tersebut dibuatkan buku lahannya (nama pemilik lahan dan jenis haknya). Salinan buku lahan serta surat ukur lahan itu dengan dijilid menjadi satu kemudian diberi kertas sampul yang bentuknya ditentukan oleh Peraturan Menteri dinamakan sertifikat.
G. Sertifikat Sementara
Yang dimaksud dengan sertifikat sementara adalah sertifikat yang belum ada surat ukrnya (baru ada gambar situasinya saja). Walaupun sifatnya sementara, namun fungsi dan kekuatannya sama dengan sertifikat. Sertifikat sementara ini diberikan karena pembuatan surat ukur tidak dapat dibuat dengan segera oleh karena peta pendaftaran yang bersangkutan dengan bidang lahan itu belum dibuat.
0 comments
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.